telkomsel halo

78% AI nativesdi Indonesia inginkan layanan AI yang lebih cepat dan efisien

08:18:00 | 13 Nov 2025
78% AI nativesdi Indonesia inginkan layanan AI yang lebih cepat dan efisien
JAKARTA (IndoTelko) - Riset terbaru dari Zoom mengungkap kemunculan generasi baru di Asia Pasifik yang disebut AI natives — yaitu anak muda berusia 18 hingga 24 tahun yang tumbuh di era kecerdasan buatan (AI) dan kini aktif menggunakannya dalam keseharian mereka.

Di Indonesia, kelompok ini menjadi yang paling cepat dalam membentuk trendan ekspektasi terhadap pengalaman digital berbasis AI, di mana mereka mengharapkan layanan yang lebih cepat, pintar, namun tetap terkesan hangat dan manusiawi.

Riset ini dilakukan oleh Kantar untuk Zoom yang melibatkan 2.551 responden berusia 1845 tahun di delapan negara di wilayah Asia Pasifik: Indonesia, Australia, Hong Kong, India, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Studi ini membandingkan pandangan antara golongan AI natives dan non-AI natives terhadap pengalaman pelanggan (customer experience/CX) dan pengalaman karyawan (employee experience/EX), peran AI dalam keseharian mereka, serta pandangan mereka terhadap masa depan teknologi ini.

Hasil riset menunjukkan bahwa 78% AI natives di Indonesia menginginkan layanan AI yang lebih cepat dan efisien, termasuk mempersingkat waktu tunggu dan memperoleh respon secara instan. Angka ini menjadi yang tertinggi di Asia Pasifik. Namun, meski sudah terbiasa menggunakan AI, 70% dari mereka tetapi ingin bisa meneruskan keluhan mereka ke agen manusia, di mana 68% AI natives berharap para agen tersebut sudah lebih dulu memahami konteks masalah tanpa mereka perlu mengulang cerita dari awal.

Sedangkan, golongan non-AI natives di Indonesia juga mulai terbuka terhadap penggunaan AI untuk meningkatkan produktivitas kerja. Sebanyak 83% dari mereka menyatakan ketertarikan untuk menggunakan AI di tempat kerja. Di sisi lain, AI natives justru cenderung lebih berhati-hati, karena sejumlah 68% dari mereka sangat memerhatikan keamanan dan privasi data.

Menurut Head of Asia, Zoom Lucas Lu, AI kini membentuk cara baru untuk berinteraksi — baik sebagai pelanggan maupun karyawan. Temuan kami menunjukkan bahwa organisasi perlu memahami perbedaan cara berpikir antara AI natives dan non-AI natives.

“Generasi muda di Indonesia, misalnya, menegaskan bahwa koneksi manusia tetap tak tergantikan. Di era AI ini, loyalitas pelanggan dan karyawan akan sangat ditentukan oleh bagaimana perusahaan menyeimbangkan efisiensi teknologi dengan sentuhan manusia, yang ke depannya akan membawa kepercayaan pelanggan dan karyawan pada perusahaan,” jelasnya.

AI natives dan non-AI natives di Asia Pasifik sama-sama melihatAI sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari mereka. Di Indonesia, hanya 2% responden yang mengatakan bahwa mereka belum menggunakan AI di tempat kerja.

Sebagian besar karyawan juga menilai bahwa penting bagi perusahaan untuk menyediakan akses pada perangkat kerja berbasis AI. Sebanyak 83% responden Indonesia percaya bahwa kemampuan menggunakan AI akan menjadi keunggulan mereka ketika bersaing di dunia kerja.

Ketika ditanya tentang harapan terhadap perangkat berbasis AI, baik AI natives maupun non-AI natives di Indonesia memiliki pandangan serupa: AI harus membantu mereka menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat dan efisien (61% dari AI natives, 68% dari non-AI natives) dan berperan sebagai asisten kerjayang lebih cerdas (62% AI natives dan 67% non-AI natives). Artinya, tidak cukup jika perusahaan hanya menyediakan akses pada perangkat berbasis AI — perusahaan juga tetap perlu memastikan bahwa teknologi yang digunakan benar-benar membantu kinerja karyawan lintas generasi.

Namun AI natives cenderung lebih kritis dan menuntut hasil yang nyata dari penggunaan AI. Oleh karena itu, perusahaan perlu membantu meningkatkan pemahaman dan rasa percaya terhadap perangkat berbasis AI bagi seluruh golongan karyawan, sekaligus memenuhi ekspektasi tinggi dari generasi yang lebih melek teknologi ini.

Dalam hal pengalaman pelanggan, AI natives di Indonesia cenderung tidak langsung berhenti menggunakan suatu brand setelah memperoleh pengalaman buruk (42%), tetapi mereka lebih sering mengekspresikan kekecewaan tersebut ke publik(62%), baik melalui percakapan personal maupun media sosial.

Beberapa contoh pengalaman buruk terhadap layanan suatu brand adalah ketika para pengguna ini menemukan perbedaan rekomendasi konten pada perangkat berbeda, meski akun yang mereka gunakan sama; atau mendapat respon berbeda dari kanal chat, email, dan telepon untuk masalah yang sama. Meskipun hanya 52% yang merasa pengalaman buruk ini memengaruhi loyalitas mereka terhadap suatu brand, kebiasaan mereka dalam membagikan pengalaman negatif ke orang lain bisa berdampak besar terhadap reputasi brand.

Untuk menghindari hal tersebut, brand perlu memahami apa yang benar-benar diinginkan pelanggan. Bagi golongan AI natives Indonesia, komunikasi yang jelas dan transparan (68%), praktis (57%), dan respon yang cepat (55%) adalah kunci utama. Ketidakmampuan brand dalam memberikan solusi dengan cepat menjadi alasan terbesar yang memengaruhi loyalitas mereka(60%), jauh di atas rata-rata AI natives di Asia Pasifik (44%). Hal yang sama juga diungkapkan oleh golongan non-AI natives, yang menyatakan bahwa kecepatan memperoleh respon (65%) menjadi faktor utama loyalitas mereka terhadap suatu brand.

Semua temuan ini menunjukkan bagaimana perusahaan perlu mengambil langkah lebih jauh dengan AI. Tak sekadar“mengadopsi AI”, perusahaan juga perlu merancang penggunaan AI agar dapat memberikan pengalaman yang cepat, mudah, dan transparan, sembari tetap menjaga adanya sentuhan manusia untuk membangun kepercayaan.

GCG BUMN
Langkah selanjutnyapun jelas: gunakan AI bukan hanya untuk otomatisasi, tetapi juga untuk membangun hubungan yang lebih relevan, terpercaya, dan bermakna dengan generasi muda yang menginginkan teknologi cerdas dan tetap berempati. (mas)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories