JAKARTA (IndoTelko) Pusat data kini menjadi primadona dalam lanskap konstruksi Asia Tenggara.
Di tengah tekanan ekonomi global dan ketidakpastian geopolitik, sektor ini justru mengalami lonjakan permintaan yang signifikan dan mendorong geliat investasi infrastruktur digital di kawasan, termasuk Indonesia.
Dalam laporan Global Construction Market Intelligence (GCMI) 2025 yang dirilis Turner & Townsend, tercatat bahwa pusat data telah melampaui sektor industri dan manufaktur sebagai pendorong utama pertumbuhan konstruksi.
Permintaan datang dari perusahaan hyperscaler, penyedia cloud, hingga korporasi besar yang mengejar transformasi digital dan kebutuhan kapasitas tinggi yang berkelanjutan.
"Komitmen Asia Tenggara terhadap transformasi digital dan keberlanjutan, ditambah tren nearshoring, benar-benar mengubah lanskap konstruksi. Pusat data kini menjadi salah satu sektor paling strategis untuk investasi," ujar Managing Director Turner & Townsend Asia Brian Shuptrine.
Indonesia: Momentum Positif Didorong Digitalisasi dan Kontraktor Lokal
Di Indonesia, geliat pembangunan pusat data menjadi salah satu motor utama pemulihan pasar konstruksi. Dengan biaya konstruksi rata-rata US$943 per meter persegi, Jakarta dinilai sebagai salah satu pasar paling kompetitif di Asia Tenggara. Laju kenaikan biaya sebesar 3% terbilang stabil di tengah peningkatan permintaan domestik.
"Kontraktor lokal kini mulai dipercaya menggarap proyek pusat data berskala besar. Ini indikasi positif meningkatnya kapabilitas dalam negeri," tulis laporan tersebut.
Namun, tantangan tetap ada, terutama ketergantungan pada material impor berkualitas tinggi yang dapat membatasi efisiensi biaya.
Singapura dan Malaysia: Biaya Tinggi, Aktivitas Tetap Kuat
Sementara di Singapura, biaya konstruksi tercatat mencapai US$3.104 per meter persegi, tertinggi di kawasan. Meski begitu, aktivitas tetap tinggi dengan nilai kontrak naik 60% dalam empat bulan pertama 2025 dibanding tahun lalu. Tantangan utama di Negeri Singa adalah keterbatasan tenaga kerja terampil di bidang MEP (mekanikal, elektrikal, perpipaan) dan tingginya biaya pengelolaan limbah.
Di Malaysia, pembangunan pusat data juga menjadi salah satu pendorong utama, seiring proyek-proyek publik seperti MRT3 dan LRT Penang. Namun, perluasan Sales and Service Tax (SST) terhadap layanan konstruksi menciptakan tekanan baru pada biaya proyek.
"Digitalisasi dan model kontrak kolaboratif menjadi solusi strategis untuk menjaga profitabilitas di tengah tantangan biaya dan tenaga kerja," jelas laporan Turner & Townsend.
Vietnam dan Kawasan Lain: Manfaatkan Surplus Material Tiongkok
Vietnam menjadi salah satu pasar yang berpotensi menarik lebih banyak investasi, terutama karena biaya konstruksi yang relatif rendah (Ho Chi Minh City: US$1.168/m², Hanoi: US$1.147/m²) dan pasokan tenaga kerja yang lebih stabil. Selain itu, surplus material dari Tiongkok akibat kebijakan perdagangan AS dinilai bisa mempercepat penyelesaian proyek di wilayah ini.
Namun, kekurangan tenaga kerja terampil tetap menjadi isu struktural. Survei mencatat 90,9% pasar Asia terdampak keterbatasan tenaga kerja MEP, termasuk Indonesia.
Transformasi: Dari Biaya Menuju Nilai Tambah
Menurut Managing Director Southeast Asia sekaligus Head of Real Estate Asia Turner & Townsend Sumit Mukherjee fokus industri kini mulai bergeser dari sekadar menekan biaya ke arah efisiensi, nilai tambah, dan keberlanjutan.
"Investasi pada pelatihan tenaga kerja lokal dan penguatan rantai pasok domestik menjadi kunci agar proyek bisa selesai tepat waktu dan dalam anggaran," jelasnya.
Outlook 2025
Dengan tingginya permintaan pusat data dan meningkatnya aktivitas konstruksi digital-ready di seluruh Asia Tenggara, kawasan ini dinilai semakin matang sebagai destinasi investasi digital global. Di tengah tantangan biaya dan ketenagakerjaan, strategi kolaboratif dan inovasi metode konstruksi menjadi faktor penentu keberhasilan.(ak)