Mulai 1 Agustus 2025, pemerintah Indonesia resmi memberlakukan aturan baru perpajakan kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025.
Regulasi ini menggantikan dua aturan sebelumnya, PMK 68/2022 dan PMK 81/2024, dan membawa sejumlah perubahan yang langsung berdampak pada investor ritel maupun penyelenggara platform kripto lokal.
Salah satu perubahan yang sempat memberi secercah harapan adalah dihapusnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan aset kripto.
Dalam aturan sebelumnya, kripto diperlakukan sebagai barang kena pajak tak berwujud.
Kini, statusnya dinaikkan menjadi instrumen keuangan sekelas obligasi dan karenanya dibebaskan dari PPN. Ini adalah sinyal bahwa negara mulai memahami karakter unik aset digital.
Namun euforia itu tak berlangsung lama. Sebab, pada saat yang sama, pemerintah menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi aset kripto menjadi 0,21% dari nilai transaksi.
Ini lebih tinggi dari tarif sebelumnya yang berkisar antara 0,1% hingga 0,2%. Bahkan, jasa verifikasi transaksi oleh para penambang dan penyedia infrastruktur tetap dikenai PPN, dengan metode perhitungan yang makin rumit dan berisiko menambah beban efektif.
Lebih ironis lagi, langkah ini diambil saat negara-negara lain tengah berlomba memberi kepastian hukum dan insentif untuk memperkuat ekosistem aset digital mereka.
Di Amerika Serikat, misalnya, hanya beberapa pekan sebelum Indonesia mengetatkan pungutan fiskal kripto, Presiden Donald Trump menandatangani GENIUS Act, sebuah regulasi yang membuka jalan bagi stablecoin seperti USDC dan USDT untuk beroperasi secara legal dan aman.
AS bahkan menyediakan dua jalur lisensi, federal dan negara bagian, dengan pendekatan yang jelas, transparan, dan pro inovasi.
Tak heran jika kini banyak proyek Web3 dan stablecoin memilih mendirikan entitasnya di Delaware, Zug, atau bahkan Singapura, bukan Jakarta.
Sementara itu, Indonesia tampak masih terpaku pada pendekatan fiskal semata. Ketika negara lain membuka pagar untuk mengundang pertumbuhan ekonomi digital, kita justru sibuk menambah lapisan pungutan yang belum tentu menjawab kebutuhan ekosistem.
Pemerintah seolah tergesa ingin memaksimalkan penerimaan jangka pendek dari sektor kripto, tanpa cukup mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap pelaku usaha dalam negeri.
Memang, penerimaan pajak dari kripto memang menjanjikan, tapi masih sangat rentan. Sejak pungutan dimulai pada 2022 hingga Maret 2025, kontribusinya baru mencapai Rp1,2 triliun.
Tahun 2024 saja menyumbang Rp620 miliar. Namun angka-angka ini sangat dipengaruhi oleh “cuaca pasar”.
Saat harga Bitcoin dan altcoin melonjak, pajak ikut naik. Tapi ketika pasar lesu, basis pajak bisa menghilang seketika. Bergantung pada volatilitas kripto untuk pemasukan negara jelas bukan strategi berkelanjutan.
Bagi investor ritel, beban pajak atas setiap transaksi bisa menjadi penghalang baru. Dalam pasar yang dikenal dengan fluktuasi harga tinggi dan margin tipis, pungutan fiskal yang tidak menyesuaikan kondisi pasar justru berpotensi mengikis keuntungan secara tidak proporsional.
Lebih jauh lagi, pelaku usaha lokal, terutama exchange dalam negeri, kini menghadapi beban ganda.
Di satu sisi mereka diwajibkan memungut, menyetor, dan melaporkan pajak dari jutaan transaksi. Di sisi lain, mereka harus bersaing dengan platform asing yang tak tunduk pada aturan fiskal Indonesia, tapi tetap bisa diakses oleh pengguna lokal. Ini menciptakan ketimpangan kompetisi yang semakin merugikan pemain domestik.
Tak hanya itu, tanpa edukasi massal dan perlindungan konsumen yang memadai, kebijakan fiskal yang agresif malah bisa memperbesar pasar gelap dan praktik penghindaran pajak. Jika pengguna merasa dipersulit, mereka bisa dengan mudah memindahkan aktivitasnya ke platform luar negeri yang lebih longgar.
Sudah waktunya Indonesia mengevaluasi ulang pendekatannya terhadap regulasi aset digital.
Pajak tentu penting. Tapi ia seharusnya jadi bagian dari strategi yang lebih besar—yang mencakup dorongan inovasi, edukasi publik, insentif riset teknologi, dan perlindungan konsumen.
Regulasi fiskal yang terlalu kaku justru bisa melemahkan kedaulatan ekonomi digital. Indonesia bisa kehilangan potensi penerimaan jangka panjang, kehilangan daya saing regional, bahkan kehilangan tempat dalam peta inovasi global.
Jika satu-satunya bahasa yang kita gunakan untuk berbicara dengan teknologi baru adalah pungutan pajak, maka pesan yang tersampaikan adalah jelas, inovasi tidak disambut hangat di negeri ini.
@IndoTelko