Fenomena demonstrasi di Indonesia selalu meninggalkan jejak panjang, bukan hanya di jalanan, tetapi juga dalam ruang demokrasi.
Gelombang protes terbaru yang melibatkan ribuan mahasiswa, pelajar, dan masyarakat di penghujung Agustus lalu kembali menampilkan pola lama, bentrokan dengan aparat, represi terhadap aktivis, hingga kriminalisasi berbasis konten digital.
Polri bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah melakukan patroli siber yang berujung pada pemblokiran 592 akun dan konten sejak 23 Agustus hingga 3 September 2025, dengan alasan menyebarkan provokasi dan ajakan anarkis. Polisi telah menetapkan 7 tersangka pemilik akun media sosial yang menyebarkan provokasi.
Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah penangkapan FL, seorang admin akun TikTok, yang dituduh memicu kerusuhan karena melakukan siaran langsung dan mengajak pelajar turun ke jalan. Penetapannya sebagai tersangka dalam waktu singkat menimbulkan kontroversi luas. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang ekspresi kini diperlakukan seakan-akan sebagai alat bukti untuk menjerat warga negara kritis.
Situasi makin kompleks setelah TikTok Indonesia sempat menangguhkan sementara fitur TikTok Live dengan dalih mencegah penyebaran konten provokatif.
Publik pun melihat dua wajah kekuasaan yakni di dunia nyata, aparat bergerak cepat dengan penangkapan, sementara di dunia digital, platform ikut membatasi ruang ekspresi.
Terus Berulang
Hal yang disayangkan adalah cara aparat penegak hukum menangani ekspresi masyarakat di ruang digital setiap kali demonstrasi besar terjadi. Pola yang sama selalu muncul, penangkapan aktivis, serangan siber, hingga framing demonstran sebagai provokator.
Praktik ini sekadar upaya mencari kambing hitam. Alih-alih fokus pada substansi protes, misalnya penolakan kebijakan DPR atau kritik terhadap ekonomi, aparat justru sibuk mencari individu yang bisa dituduh sebagai dalang kerusuhan.
Pola penanganan semacam ini tentu mengancam demokrasi. Aktivis atau mahasiswa yang kritis diposisikan sebagai ancaman negara, padahal mereka bagian penting dari mekanisme check and balance. Pola ini mengingatkan kita pada masa lalu ketika kritik selalu dibungkus tuduhan makar, subversif, atau penghasutan. Bedanya, kini ruang digital ikut dijadikan arena perburuan.
Jika menengok negara dengan demokrasi mapan, perbedaannya mencolok. Di Amerika Serikat, meski aparat kerap menggunakan kekerasan dalam demonstrasi besar seperti Black Lives Matter, mekanisme akuntabilitas tetap berjalan yakni investigasi hukum, pemantauan media, hingga reformasi kepolisian.
Di Jerman, polisi dilatih melakukan de-eskalasi dan tidak serta-merta menangkap warga yang melakukan live streaming. Penangkapan hanya dilakukan bila ada ajakan eksplisit untuk kekerasan. Sementara di Kanada dan Skandinavia, ruang sipil dijaga ketat dan aparat dibatasi secara hukum. Lembaga HAM independen benar-benar berfungsi sebagai penyeimbang.
Kuncinya adalah transparansi. Di negara demokratis, penyalahgunaan aparat tidak berhenti sebagai isu politik, tetapi diproses sebagai kasus hukum dengan konsekuensi nyata.
Otoritarianisme Digital
Kasus kriminalisasi live TikTok memperlihatkan gejala digital authoritarianism dimana pemerintah memanfaatkan teknologi dan platform digital untuk mengawasi, membatasi, bahkan menghukum warganya.
Penangguhan TikTok Live dan pemblokiran ratusan akun menjadi preseden berbahaya, karena transparansi publik tereduksi dan narasi resmi aparat makin dominan.
Namun, dimensi lain juga perlu disadari. Seperti dicatat Indonesia Cyber Security Forum, media sosial kini bukan hanya ruang represi, tapi juga arena monetisasi konflik. Algoritma platform mendorong konten provokatif karena menghasilkan klik dan keuntungan, sementara narasi kritis atau solusi konstruktif justru tenggelam. Dengan kata lain, demokrasi digital kita terhimpit dari dua arah yakni represi negara di satu sisi, dan komersialisasi kemarahan oleh platform di sisi lain.
Kuburan Demokrasi
Di balik hiruk pikuk kriminalisasi dan monetisasi, ada yang kerap terlupakan yakni nasib korban kekerasan aparat.
Jika stabilitas benar-benar menjadi tujuan pemerintah, investigasi transparan atas dugaan pelanggaran HAM aparat seharusnya menjadi prioritas, bukan memburu admin TikTok atau mahasiswa kritis.
Tanpa mekanisme akuntabilitas, korban akan terus berjatuhan sementara aparat menikmati impunitas. Ini bukan sekadar soal keadilan bagi korban, tetapi soal masa depan demokrasi. Negara yang membiarkan aparat bertindak tanpa konsekuensi sedang menyiapkan panggung bagi kekerasan berikutnya.
Sejarah dimulainya reformasi 1998 memberi pelajaran pahit dimana represi terhadap mahasiswa berakhir dengan tragedi. Puluhan nyawa melayang, ratusan hilang, dan luka kolektif itu belum pernah sembuh. Kini, pola serupa muncul kembali dengan wajah baru yakni represi digital, kriminalisasi konten, serangan doxing, monetisasi konflik, selain kekerasan aparat yang terus berulang.
Jika pola ini terus dibiarkan, jika investigasi terhadap kekerasan aparat terus diabaikan, dan jika literasi digital masyarakat tidak segera diperkuat, maka kita sedang berjalan mundur.
Demokrasi hanya tumbuh jika negara melindungi bukan mengancam dan platform bertanggung jawab bukan mengeksploitasi. Mengabaikan semua hal ini, Indonesia sedang menggali kuburnya sendiri sebagai negara demokrasi.
@IndoTelko