Dalam era globalisasi yang semakin terhubung, sistem pembayaran menjadi medan baru bagi kontestasi ekonomi global.
Ketika Indonesia memperkuat kedaulatan sistem keuangannya melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), Amerika Serikat (AS) justru menganggapnya sebagai bentuk proteksionisme.
Hal ini terlihat saat pemerintah AS mengumumkan tarif resiprokal pada awal April lalu, penghitungan bea masuk impor (BMI) AS bukan hanya berdasarkan besaran BMI negara mitra dagangnya semata. Namun, juga memperhitungan hambatan perdagangan nontarif lainnya.
Salah satu sorotan AS adalah sistem pembayaran domestik negara mitra yang dinilai turut menghambat gerak perdagangan AS. Bagi Indonesia, kebijakan pembayaran yang memantik perhatian AS adalah QRIS.
Sejatinya, sebelum tarif resiprokal diumumkan oleh Presiden Trump, QRIS milik Indonesia telah mengusik AS sejak awal kemunculannya. Hal ini tertuang dalam laporan National Trade Estimate yang dirilis oleh United State Trade Representative (USTR) pada Maret 2025.
Melalui dokumen itu, AS menyebutkan bahwa Indonesia tidak melibatkan pemangku kepentingan internasional, termasuk AS, selama proses pembuatan kebijakan QRIS. Mulai dari sifat perubahannya, integrasi dengan sistem pembayaran yang sudah ada, hingga pandangan pihak lain terkait kebijakan QRIS.
Tak hanya dinilai menghambat perdagangan internasional, keberadaan QRIS menimbulkan kekhawatiran bagi pihak penyedia layanan pembayaran dan sektor keuangan AS. Sebab, dengan adanya QRIS, transaksi berbasis kartu yang menggunakan jaringan pembayaran milik AS seperti Visa dan Master Card berpotensi berkurang.
Pandangan ini tidak hanya mengabaikan konteks kebutuhan domestik Indonesia, tetapi juga memperlihatkan standar ganda yang kerap dimainkan oleh negara-negara maju dalam negosiasi perdagangan digital.
QRIS adalah sistem pembayaran berbasis kode QR yang dirancang untuk mempermudah transaksi keuangan di Indonesia. Menurut data Bank Indonesia, pada Januari 2025, volume transaksi QRIS mencapai Rp80,88 triliun, dengan 790,79 juta transaksi dan 36,57 juta merchant terdaftar. Pertumbuhan ini menunjukkan peningkatan sebesar 170,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara itu, GPN berfungsi sebagai gerbang pembayaran yang mengintegrasikan berbagai layanan transaksi keuangan domestik. Dengan biaya transaksi yang relatif rendah, sekitar 0,25% hingga 0,50%, GPN mendorong lebih banyak merchant untuk berpartisipasi dalam ekosistem pembayaran ini. Kedua sistem ini tidak hanya mengembangkan infrastruktur keuangan Indonesia tetapi juga mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam transaksi internasional.
Kedaulatan Ekonomi
Salah satu tujuan utama pengembangan QRIS dan GPN adalah memperkuat kedaulatan ekonomi Indonesia. Dengan sistem pembayaran yang kuat dan mandiri, Indonesia dapat lebih leluasa melakukan transaksi perdagangan, baik domestik maupun internasional, tanpa terlalu bergantung pada mata uang asing.
Ironisnya, ketika Indonesia membangun sistem domestik yang inklusif dan efisien, AS menudingnya sebagai hambatan dagang. Padahal, di dalam negerinya sendiri, AS memiliki sistem pembayaran yang sangat tertutup dan didominasi oleh dua raksasa global: Visa dan Mastercard. Negara-negara berkembang seperti Indonesia justru berusaha membebaskan diri dari dominasi ini demi kepentingan inklusi keuangan dan efisiensi nasional.
Dampak Positif
QRIS telah memberikan dampak signifikan bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Data menunjukkan bahwa 91% pengguna QRIS adalah pelaku UMKM, yang kini memiliki akses lebih baik ke transaksi digital. Dengan kemudahan ini, UMKM dapat beroperasi lebih efisien, mengurangi biaya transaksi, serta meningkatkan daya saing mereka di pasar.
Dengan pertumbuhan pesat dalam penggunaan QRIS dan GPN, ada potensi bagi perusahaan global seperti Visa dan Mastercard untuk memasuki pasar Indonesia. Namun, penting untuk dicatat bahwa desakan agar Visa dan Mastercard masuk ke ekosistem QRIS dan GPN tidak semata-mata soal efisiensi atau kolaborasi. Tekanan ini bisa mengarah pada dominasi asing atas infrastruktur vital, yang pada akhirnya melemahkan kontrol negara terhadap data transaksi domestik dan stabilitas sistem keuangan.
Negosiasi Dagang
Negosiasi dagang bukanlah proses yang mudah, terutama ketika ada ketidakpastian dan ketegangan antara kekuatan ekonomi yang berbeda. Di satu sisi, AS adalah mitra dagang penting bagi Indonesia, dengan investasi dan perdagangan yang saling menguntungkan. Di sisi lain, Indonesia harus tetap fleksibel dan tegas dalam mempertahankan kedaulatan ekonominya.
QRIS dan GPN bukanlah bentuk diskriminasi terhadap pelaku asing, melainkan platform terbuka yang tunduk pada regulasi nasional. Jika pelaku asing bersedia mengikuti standar lokal, tidak ada halangan bagi mereka untuk berpartisipasi. Namun, penolakan terhadap standar lokal tidak bisa dijadikan alasan untuk menekan kedaulatan negara melalui jalur diplomatik atau dagang.
Di tengah tantangan global yang terus berubah, Indonesia tidak bisa terus bergantung pada sistem asing yang tidak selalu menguntungkan. QRIS dan GPN adalah langkah strategis menuju sistem pembayaran yang lebih adil, inklusif, dan mandiri.
Kritik dari AS harus dilihat bukan sebagai rintangan, melainkan sebagai pengingat bahwa perjuangan menuju kedaulatan ekonomi selalu membutuhkan keberanian untuk berbeda.
@IndoTelko