telkomsel halo

PP Postelsiar susah bersinar?

03:00:00 | 28 Mar 2021
PP Postelsiar susah bersinar?
Peraturan Pemerintah (PP) 46 tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran (Postelsiar) tak terasa telah berusia sebulan disahkan.

Aturan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja ini ternyata memiliki "cacat bawaan" yang harus dibereskan jika memang ingin dijadikan sebagai beleid penjawab tuntutan zaman bagi sektor telekomunikasi.

Setidaknya itu terlihat dalam webinar ‘Menuju Kompetisi yang Sehat di Industri ICT Pasca PP Postelsiar’ yang diselenggarakan oleh IndoTelko Forum pada Rabu (24/3) lalu.

Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih sebagai salah satu pembicara menyatakan setidaknya terdapat tiga celah yang berpotensi menimbulkan masalah kompetisi belum terselesaikan di PP Postelsiar.

Terutama jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menjadi pegangan KPPU dalam bekerja.

Isu pertama, kegagalan pasar. Hal ini merujuk pada Pasal 30 ayat 2 PP Postelsiar menyebutkan regulator dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dapat menetapkan tarif batas atas dan/atau tarif batas bawah penyelenggaraan telekomunikasi dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat.

Di pasal ini disebutkan Menteri dapat menetapkan tarif. Ini seperti menunjukkan telah terjadi kegagalan sehingga harus diintervensi regulator.

Hal yang mengkhawatirkan jika pasal ini dijalankan adalah kebijakan penetapan tarif oleh Menteri, hanya diambil berdasarkan sudut pandang operator yang merasa dirugikan dan tidak mampu berkompetisi dengan tarif yang dibuat oleh pesaingnya.

Isu kedua, perihal Level of Playing Field. dalam dunia bisnis, adalah tugas pemerintah menjamin konsep keadilan bagi para pelakunya dengan menerapkan seperangkat aturan yang berlaku sama untuk semua. Hanya dengan menciptakan level of playing field yang sama, maka persaingan usaha yang sehat bisa tercipta.

Upaya menciptakan hal tersebut sudah disinggung dalam Pasal 15 PP Postelsiar yang berbunyi pelaku usaha baik nasional maupun asing yang menjalankan kegiatan usaha melalui internet kepada pengguna di wilayah Indonesia dalam melakukan kerja sama usahanya dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan prinsip adil, wajar, dan non-diskriminatif, serta menjaga kualitas layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun pada praktiknya saat ini, operator telekomunikasi yang berinvestasi besar membangun jaringan internet justru tidak mendapatkan banyak manfaat dari perusahaan Over The Top (OTT) global yang menggunakan jaringan mereka untuk menjangkau penggunanya di Indonesia.

Isu ketiga, perihal kepentingan umum. PP Postelsiar kurang mengedepankan aspek Kepentingan Umum. Sebab Pasal 26 dan Pasal 80 beleid tersebut, hanya disebutkan pelaku usaha pemilik infrastruktur aktif bisa membuka akses pemanfaatan infrastruktur aktif berdasarkan kesepakatan kerja sama yang mempertimbangkan persaingan usaha yang sehat.

Kemudian pasal 50 dan Pasal 54 menyatakan pemegang izin penggunaan spektrum frekuensi radio dapat melakukan kerja sama penggunaan atau mengalihkan hak frekuensi kepada pihak lain berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat dan non-diskriminatif.

Padahal persaingan usaha itu ditujukan untuk memberi kemanfaatan bagi masyarakat. Jadi bukan hanya soal badan usaha yang berkompetisi saja, tetapi harus memberi manfaat bagi masyarakat.
   
Kontroversi
Tak hanya isi dari PP Postelsiar yang disoroti, sekarang banyak praktisi memberikan kritikan tajam terhadap aturan turunan dari PP itu yakni sejumlah Rancangan Peraturan Menteri (RPM) yang tengah masuk konsultasi publik.

Saat ini Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Ditjen PPI) Kominfo tengah lakukan konsultasi publik tentang Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Penyelenggaraan Telekomunikasi. Regulasi yang mengatur industri telekomunikasi ini terdiri dari 151 halaman dengan 242 pasal serta 19 lampiran petunjuk teknis. Konsultasi dimulai 25 hingga 28 Maret 2021.

Artinya, Kominfo menyuruh seluruh pelaku industri telekomunikasi membaca seluruh dokumen yang berjumlah 1019 halaman serta memberikan masukannya kurun waktu kurang dari 3 hari.

Sebelumnya Ditjen SDPPI Kominfo juga melakukan konsultasi publik tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. Konsultasi terhadap RPM pengaturan frekuensi ini juga terbilang singkat dari 23 hingga 30 Maret 2021.

Melihat peristiwa sejak kehadiran Undang-undang Cipta Kerja, terbitnya PP Postelsiar, dan menuju ke Peraturan Menteri, dikhawatirkan regulasi yang akan dijalankan nantinya hanya tambal sulam, dan ujungnya menjadi tumpukan kertas yang menjadi beban bagi pelaku usaha.

@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year