telkomsel halo

Implementasi UU Cipta Kerja

Pemerintah mesti fokus susun perizinan berusaha berbasis resiko

15:57:31 | 16 Mar 2021
Pemerintah mesti fokus susun perizinan berusaha berbasis resiko
Pengguna Ponsel (ilustrasi)
JAKARTA (IndoTelko) – Setelah menyelesaikan UU 11 tahun 2021 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya yang terdiri dari 45 Peraturan Pemerintah (PP) serta 4 Peraturan Presiden (Perpres), Kementrian diminta segera membuat aturan teknis tentang tata cara pelaksanaan UU Cipta Kerja. Peraturan teknis tersebut rencananya dituangkan dalam Rancangan Peraturan Menteri (RPM).

Di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian, saat ini beberapa Kementerian tengah menyusun RPM sebagai aturan teknis tentang tata cara pelaksanaan UU Cipta Kerja. Sesuai amanat PP 5 tahun 2021, peraturan pelaksana mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko wajib ditetapkan dalam kurun waktu 2 bulan sejak PP tersebut mulai berlaku.

Guna mencapai target itu, Kemenko Perkekonomian dan kementerian teknis lainnya perlu memfokuskan sumber daya. Menyelesaikan RPM dalam waktu dua bulan bukanlah hal yang mudah. Namun, tujuannya baik yaitu agar kemudahan dalam perizinan dan memulai kegiatan usaha dapat segera terwujud. Ini adalah esensi dari UU Cipta Kerja. Upaya yang dikoordinir Kemenko Perekonomian ini patut diapresiasi.

Dikatakan Direktur Eksekutif Koligium Jurist Institute, Ahmad Redi, merujuk pada PP 5 tahun 2021 sejatinya yang harus diprioritaskan adalah membuat perizinan berusaha berdasarkan risiko tinggi, menengah dan rendah. Jadi fokus Pemerintah dalam 2 bulan ini adalah membuat RPM Perizinan. Tidak boleh keluar dari itu. Sedangkan peraturan teknis lainnya tidak dibatasi waktunya namun tetap harus disusun secara komprehensif.

Dicontohkannya, penyusunan RPM yang tidak fokus terjadi di Kominfo. Bukannya fokus ke perizinan berusaha berbasis risiko sebagaimana diamanatkan PP 5 tahun 2021, Kominfo bahkan menargetkan untuk menyelesaikan semua substansi PP 46 tahun 2021 mengenai Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran dalam waktu 2 bulan. Hal ini tentu kontra produktif dan tidak sesuai dengan PP 5 tahun 2021.

Dikatakan Redi, agar Menteri Johnny Gerard Plate dapat mendukung penuh program Presiden Jokowi khususnya dalam mengembangkan ekonomi digital, ia menyarankan agar Kominfo dapat merujuk kepada UU 12 tahun 2011 dan PP 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko di sektor Postelsiar dengan memprioritaskan membuat RPP perizinan terlebih dahulu. Bukan malah membuat RPM 'Sapu Jagat' dalam waktu 2 bulan.

Ditambahkannya, seharusnya Kominfo bersama Kemenko Perekonomian dalam membuat RPM tak boleh menggampangkan permasalahan dengan membuat RPM "Sapu Jagat". Ia khawatir jika RPM Postelsiar dibuat seperti “Sapu Jagat”, akan merugikan banyak pihak. Mengingat kompleksnya permasalahan di setiap sektor industri termasuk telekomunikasi, maka penyusunan RPM harus bersifat detail dan komprehensif.

"Ini berbeda dengan UU Cipta Kerja. Memang UU Cipta Kerja dibuat secara cepat. Namun melibatkan banyak stakeholder seperti kementrian, lembaga, parlemen, akademisi dan masyarakat. Sehingga UU Cipta Kerja sangat transparan dan terbuka. Sedangkan RPM karena kewenangan menteri maka dibuat oleh Kominfo. Tanpa melibatkan kementerian dan stakeholders lain,"ungkap Redi yang juga sebagai salah satu anggota tim perumus UU Cipta Kerja.

Redi memberikan contoh, kerja sama antara OTT dan operator telekomunikasi harus diatur secara rinci dalam RPM turunan dari PP Postelsiar. Tujuannya agar Indonesia dapat menikmati keuntungan dari industri digital.

"Nantinya RPM yang dibuat Kominfo dapat menjawab kekhawatiran Presiden Jokowi yang tak ingin Indonesia jadi korban perdagangan digital. Sehingga nanti dalam membuat RPM mengenai kerja sama dengan OTT, Kemenkominfo juga harus mendapatkan masukan dari Kemenkeu. Tujuannya untuk mendapatkan pajak penghasilan dari perusahaan digital asing,"ungkap Redi.

Disamping itu, dalam PP Postelsiar juga banyak menyebutkan persaingan usaha yang sehat. Pengaturan mengenai persaingan usaha yang sehat di industri telekomunikasi juga perlu didetailkan di RPM turunannya.

Redi menceritakan, Kementerian lain seperti Kementrian ESDM dalam membuat aturan pelaksana UU Cipta Kerja, melalui beberapa tahapan. Mereka mengikuti UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan juga mengikuti PP 5 tahun 2021 dengan membuat RPM tentang perizinan di bidang ESDM. Bukan membuat RPM lainnya. Setelah selesai membuat RPM tentang perizinan berusaha, nantinya Kementrian ESDM juga akan membuat aturan teknis lainnya yang sesuai dengan amanah UU Cipta Kerja dan PP yang terkait dengan sektor ESDM.

Redi khawatir jika objektif dalam membuat regulasi Kominfo hanya kecepatan saja, namun tidak rinci serta tak komprehensif, maka yang dirugikan adalah Pemerintah, pelaku usaha serta masyarakat.

Ia menyarankan, Kominfo seharusnya dalam membuat RPM sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Prosesnya harus transparan, melibatkan partisipasi publik dan melakukan kajian yang mendalam. Sehingga produk perundang-undangan yang dikeluarkan tidak asal-asalan. (sg)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year