telkomsel halo

Ambivalensi Menata Industri

12:47:32 | 02 Feb 2014
Ambivalensi Menata Industri
Ilustrasi (Dok)
Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah operator seluler terbanyak di dunia jika dibandingkan dengan populasinya. Di Tanah Air, total ada 10 operator berkiprah dengan mengandalkan  teknologi GSM maupun CDMA.

Dalam catatan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) jika merujuk Laporan Kinerja Operasi (LKO) 2012 total pelanggan berbasis teknologi GSM di Indonesia sekitar 270,786 juta nomor. Jika dilihat dari jumlah pelanggan, Telkomsel menguasai 46% pangsa pasar, Indosat (225), XL (17%), Tri (10%), dan Axis (5%).

Sementara dari pendapatan pangsa pasar yang dikuasai Telkomsel sebesar 55%, Indosat (19%), XL (21%), Tri (3%), dan Axis (2%). Kondisi pasar GSM di Indonesia tidak fluktuatif. Tiga besar stabil menguasai pangsa pasar pendapatan sekitar 95%.

Pemerintah menyadari kondisi ini tak menguntungkan, tidak hanya bagi operator, tetapi juga pelanggan. Pasalnya, pada 2017 mendatang diperkirakan trafik data akan tumbuh lima kali lipat atau 200% setiap tahunnya. Sementara kemampuan operator untuk menambah kapasitas cuma 28% tiap tahunnya.

Rendahnya kemampuan operator untuk mengimbangi laju trafik ini salah satunya dipicu keterbatasan frekuensi. Saat ini alokasi frekuensi untuk mobile broadband sudah diduduki oleh semua pemain. Solusinya harus terjadi konsolidasi antar pemain dengan berharap adanya insentif dari pemerintah.

Kesadaran berkonsolidasi telah dilakukan oleh PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Axis Telekom Indonesia (Axis). XL melakukan penandatanganan Perjanjian Jual Beli Bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement/CSPA) dengan Saudi Telecom Company (STC) dan Teleglobal Investment B.V. (Teleglobal) untuk membeli  Axis pada September 2013 senilai US$ 865 juta.

Langkah XL ini banyak dipandang  sebagai aksi yang berani. Pasalnya, XL tak memilih jalur ala Smartfren dengan pola backdoor listing. XL memilih pola Indosat mengakuisisi Satelindo. Sepertinya manajemen XL tak mau mengambil resiko dengan aksi korporasi ini sehingga jalan berliku ditempuh.

Hal itu terlihat dengan meminta restu ke Kemenkominfo, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Saat ini posisi merger dan akuisisi ini menunggu rekomendasi dari KPPU pada akhir Maret nanti.

Ambivalensi
Hal yang menarik disimak  dalam konsolidasi yang dirancang XL terlihat adanya sikap ambivalensi  dari pemangku kepentingan di industri seluler. Hanya Kemenkominfo yang terlihat mendukung penuh konsolidasi ini, sementara di antara operator sendiri suara terpecah.

Pemicunya apalagi kalau bukan alokasi frekuensi yang dimiliki XL pasca mengakuisisi Axis dimana langsung setara dengan Telkomsel dan Indosat, bahkan pangsa pasarnya naik tipis diatas Indosat.

Jika dilihat secara jernih, bertambahnya frekuensi entitas baru XL-Axis adalah sesuatu yang wajar. Pasalnya, di luar uang triliunan rupiah yang dikeluarkan untuk menembus frekuensi, bukankah nantinya entitas baru ini harus tetap melayani sekitar 13,4 juta pelanggan lama Axis?

Bayangkan, jika frekuensi milik XL-Axis tak ditambah, terutama untuk 2G yang dilayani di 1.800 MHz. XL saja memiliki sekitar 58,1 juta pelanggan, ditambah pelanggan dari Axis, dengan 15 MHz kepemilikan frekuensi di 2G rasanya sulit melayani sekitar 71,5 juta pelanggan. Jangan lupa, penetrasi 3G di Indonesia baru sekitar 20%.

Secara realita, dengan jumlah pelanggan hanya sekitar 45% dari Telkomsel yang memliki 131,5 juta pelanggan, ternyata  trafik  XL lebih banyak 15% dari penguasa pasar tersbeut.

Berdasarkan laporan masing-masing perusahaan hingga akhir 2012, layanan 2G XL dengan spektrum 15 MHz, trafik pelanggan mencapai 106 miliar menit, atau sekitar 7,1 miliar menit per MHz. Jumlah ini lebih  dari trafik Telkomsel yang memiliki 30 MHz dengan trafik 185 miliar menit, atau rata-rata hanya 6,1 miliar menit per MHz.

Dari sisi pelanggan, Telkomsel dan XL sudah sama-sama berada di atas ambang batas ketentuan perlunya tambahan frekuensi dari International Telecommunication Union (ITU). Sesuai ketentuan ITU, penambahan alokasi spektrum frekuensi dimungkinkan bila jumlah pelanggan minimal 3 juta pelanggan per MHz.

Saat ini, di spektrum 2G, XL dengan 15 MHz memiliki total 46 juta pelanggan, atau rasio 3,1 juta pelanggan per MHz. Jumlah ini tidak terlalu terpaut jauh dengan Telkomsel yang memiliki 30 MHz dengan 125 juta pelanggan, atau rasio 3,9 juta pelanggan per MHz.

Sepertinya kondisi di atas yang menjadi alasan dari Menkominfo Tifatul Sembiring hanya menarik masing-masing frekuensi 3G milik XL dan Axis selebar 5 MHz kala mengeluarkan rekomendasi teknis untuk aksi korporasi ini. Kebijakan yang bijaksana di mata regulator tetapi menimbulkan polemik di antara operator.

Kondisi yang ironis sebenarnya mengingat suara-suara berkonsolidasi juga gencar disuarakan oleh para petinggi operator kala mengisi forum diskusi, tetapi ternyata tak mudah diimplementasikan di lapangan oleh para pelaku usaha sendiri.
 
@indoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year