Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) resmi menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos Komersial.
Kebijakan ini bagian dari strategi nasional untuk membangun sistem logistik yang lebih efisien, adil, dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Regulasi ini menjadi landasan pembaruan menyeluruh terhadap ekosistem pos dan kurir yang semakin vital dalam mendukung pertumbuhan ekonomi digital dan konektivitas nasional.
Komdigi menyatakan bahwa regulasi ini merupakan pelaksanaan langsung dari arahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya memperkuat jalur distribusi nasional. Industri pos dan logistik bukan hanya sarana pengantaran barang, tetapi bagian dari infrastruktur ekonomi dan sosial bangsa.
Komdigi mengharapkan dampak langsung dari regulasi ini akan terasa di seluruh lini industri pos, kurir, dan logistik. Dengan adanya standar minimum waktu pengiriman, seluruh wilayah termasuk daerah tertinggal dan terpencil akan mendapatkan jaminan layanan yang setara.
Komdigi menyatakan kontribusi industri logistik terhadap perekonomian nasional semakin nyata. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor transportasi dan pergudangan termasuk pos dan kurir tumbuh sebesar 9,01% secara tahunan pada triwulan I 2025.
Sektor ini juga menyerap lebih dari enam juta tenaga kerja, menunjukkan peran strategisnya dalam mendukung ekonomi rakyat dan memperkuat ketahanan nasional.
Wajah eCommerce
Aturan ini hadir di tengah geliat sektor eCommerce dan logistik yang selama dua tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan signifikan, sekaligus menjadi salah satu penggerak utama ekonomi digital Indonesia.
Berdasarkan data Bank Indonesia dan Kementerian Perdagangan, nilai transaksi eCommerce nasional pada tahun 2023 tercatat sebesar Rp453,75 triliun. Meskipun turun sedikit dibanding tahun sebelumnya, volume transaksinya justru meningkat menjadi 3,71 miliar kali.
Tahun 2024 diproyeksikan kembali tumbuh dengan nilai transaksi mencapai Rp487 triliun, dan tahun ini berpotensi menembus Rp503 triliun. Di saat bersamaan, sektor transportasi dan pergudangan menjadi penyumbang pertumbuhan tertinggi terhadap PDB nasional, menandakan betapa eratnya kaitan antara layanan logistik dan daya saing ekonomi digital Indonesia.
Permenkomdigi No. 8/2025 mencoba mengatur ulang lanskap layanan pos komersial secara lebih strategis. Ada semangat pemerataan layanan melalui kewajiban perluasan jangkauan ke setidaknya 50% provinsi dalam waktu 18 bulan.
Pemerintah juga mendorong transparansi struktur tarif, dengan rumus biaya pokok plus margin wajar, tanpa campur tangan tarif oleh negara. Selain itu, regulasi ini juga memperketat batasan promosi pengiriman gratis oleh platform digital, hanya memperbolehkan maksimal tiga hari promo per bulan, dan melarang harga diskon berada di bawah ongkos produksi.
Sekilas, pendekatan ini mencerminkan keberpihakan pada praktik usaha yang sehat. Ada kehendak untuk mencegah praktik predatory pricing yang kerap dimainkan oleh platform besar demi mendominasi pasar. Struktur tarif yang lebih transparan juga berpotensi memperkuat daya tawar penyedia logistik nasional, terutama pelaku menengah dan kecil, yang selama ini kesulitan bersaing dalam iklim perang harga.
Namun, perubahan regulasi ini juga akan berdampak pada model bisnis pelaku eCommerce. Dengan adanya batasan promosi ongkir dan larangan diskon di bawah ongkos produksi, pelaku bisnis harus beradaptasi secara strategis. Pasalnya, pembatasan terhadap promosi bebas ongkir menyentuh titik rawan dalam strategi pertumbuhan eCommerce.
Di negara dengan tingkat literasi digital yang masih berkembang seperti Indonesia, insentif semacam ini terbukti efektif mendorong adopsi belanja daring, terutama dari konsumen di wilayah non-metro. Tanpa insentif itu, minat konsumen baru bisa terhambat, dan retensi pelanggan menjadi lebih mahal. Belum lagi tekanan terhadap UMKM yang sangat bergantung pada daya saing ongkir untuk menjangkau pasar lintas daerah.
Diperkirakan strategi promosi yang selama ini bergantung pada ongkir gratis dan diskon besar akan bergeser menuju inovasi produk, peningkatan layanan, dan diferensiasi merek. Pelaku eCommerce perlu mencari cara baru untuk menarik pelanggan, seperti mengembangkan layanan bernilai tambah, membangun loyalitas melalui pengalaman berbelanja, atau berkolaborasi dengan pelaku logistik lokal yang lebih efisien.
Selain itu, regulasi ini bisa memicu munculnya model bisnis baru dan inovatif. Kita mungkin akan melihat peningkatan kemitraan strategis antara platform eCommerce dan pelaku logistik lokal, pengembangan layanan pengantaran yang lebih personal dan fleksibel, serta pengelolaan gudang mini di daerah non-metro. UMKM yang selama ini sangat bergantung pada insentif ongkir gratis harus bertransformasi, mengandalkan kualitas produk dan branding untuk bersaing.
Kalau menengok ke luar, pendekatan Indonesia kali ini agak berbeda dari yang dilakukan Singapura dan Tiongkok.
Di Singapura, pemerintah mendorong efisiensi logistik dengan membangun infrastruktur parcel locker terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai penyedia layanan.
Sementara di Tiongkok, pemerintah tidak membatasi promosi ongkir, melainkan memperluas inklusi digital lewat integrasi toko-toko desa ke dalam ekosistem eCommerce, seperti melalui platform Ule.
Kesimpulannya, kedua negara itu mengambil jalur fasilitasi, bukan restriksi, dalam membentuk ekosistem digital yang efisien namun tetap pro-rakyat.
Regulasi Indonesia tentu memiliki konteks tersendiri. Tetapi perlu diingat, eCommerce dan logistik adalah dua sisi mata uang dalam ekonomi digital. Intervensi terhadap salah satu sisi, apalagi yang menyangkut perilaku konsumen, tidak boleh dilakukan tanpa kalkulasi menyeluruh.
Jika tidak disertai insentif terhadap inovasi teknologi, penguatan kapasitas pelaku logistik, serta pengembangan infrastruktur bersama yang efisien, maka regulasi anyar ini berisiko memperlambat laju pertumbuhan digital yang selama ini telah memberi dampak positif bagi UMKM dan konsumen akar rumput.
Regulasi yang baik adalah yang tidak hanya tertib secara administratif, tetapi juga responsif terhadap perilaku konsumen dan kompetitif secara global.
Dalam ekonomi digital, mengatur berarti juga mendengarkan. Dan mendengarkan berarti memahami bahwa ekosistem ini dibentuk bukan hanya oleh data dan perangkat hukum, tetapi oleh jutaan pelaku kecil dan pembeli daring yang menjadikan teknologi sebagai harapan baru ekonomi mereka.
@IndoTelko