Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah menyusun aturan teknis dan membuka konsultasi publik sebagai bagian dari rencana lelang spektrum frekuensi 1,4 GHz.
Skema yang ditawarkan adalah model open access, di mana operator pemenang lelang wajib membuka jaringan mereka agar dapat dimanfaatkan oleh operator lain.
Tujuannya jelas yakni efisiensi investasi dan percepatan pemerataan layanan internet cepat, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Agenda besar dari semua ini adalah keinginan pemerintah menghadirkan layanan internet tetap (fixed broadband) berkecepatan 100 Mbps dengan harga langganan Rp100 ribu per bulan.
Namun di balik semangat regulasi ini, terdapat regulatory cost yang cukup signifikan, terutama bagi calon pemenang lelang.
Biaya untuk mendapatkan alokasi spektrum bukanlah hal sepele. Jika merujuk pada lelang spektrum sebelumnya, seperti pita 2,3 GHz yang dilepas dengan harga sekitar Rp144 miliar untuk 15 MHz di satu wilayah, maka spektrum 1,4 GHz yang akan dilepas dalam blok 20 MHz per wilayah berpotensi menelan biaya hingga Rp160,200 miliar per zona.
Itu pun belum termasuk biaya tahunan penggunaan spektrum dan belanja modal untuk membangun atau memperluas jaringan.
Kondisi akan menjadi lebih kompleks apabila pemenang lelang adalah pemain baru. Meskipun ada janji skema open access, dalam praktiknya belum semua wilayah menyediakan akses pasif yang benar-benar terbuka dan terjangkau.
Akibatnya, pemain baru tetap harus menanggung beban membangun infrastruktur dasar, termasuk backbone dan last-mile.
Biaya pembangunan jaringan tetap lokal (fiber atau BWA) bisa mencapai ratusan juta rupiah per kilometer di kota besar, angka yang tentu tidak ringan. Belum lagi investasi perangkat pelanggan (CPE) yang berkisar Rp400 ribu hingga Rp600 ribu per sambungan.
Dalam kondisi seperti ini, patut dipertanyakan mungkinkah sebuah layanan senilai 100 Mbps bisa dijual hanya dengan harga Rp100 ribu tanpa menimbulkan tekanan finansial pada penyedia layanan?
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengingatkan bahwa saat ini harga pasar untuk layanan 100 Mbps berada di kisaran Rp300 ribu - Rp400ribu.
Mayoritas pengguna internet di Indonesia bahkan masih berada pada kisaran kecepatan 10-50 Mbps, dengan tarif antara Rp100ribu hingga Rp300 ribu.
Artinya, menetapkan harga 100 Mbps di angka Rp100 ribu bukan sekadar soal efisiensi atau inovasi, tapi juga membutuhkan reformasi menyeluruh dalam ekosistem industri mulai dari regulasi sewa jaringan pasif, harmonisasi retribusi daerah, hingga konsolidasi pelaku usaha informal seperti RT/RW Net ke dalam sistem yang legal dan produktif.
Tanpa itu semua, harga rendah bisa jadi justru menjadi bumerang, mengancam kelangsungan usaha Penyedia Jasa Internet (PJI) resmi dan menimbulkan praktik persaingan tidak sehat.
Di sinilah kita bisa belajar dari negara-negara tetangga. Singapura misalnya, sukses menurunkan harga broadband melalui pembangunan National Broadband Network (NBN) yang dikelola oleh entitas infrastruktur nasional. Semua operator hanya menyewa kapasitas, dan bersaing di level layanan.
Di Malaysia, program “Pakej Perpaduan” memungkinkan kelompok B40 menikmati akses internet 100 Mbps dengan harga terjangkau, karena pemerintah turut memberikan subsidi dan memaksa operator berbagi infrastruktur.
Thailand, lewat NBTC, secara aktif menurunkan biaya akses infrastruktur pasif dan memberantas operator ilegal yang mendistorsi harga pasar.
Pelajaran dari tetangga di ASEAN jelas, harga murah bisa dicapai, tetapi bukan dengan menekan tarif semata. Diperlukan kombinasi kebijakan fiskal, intervensi infrastruktur, dan penguatan regulasi teknis agar semua pelaku bisa bersaing secara adil.
Lantas, apa yang bisa dilakukan dalam konteks Indonesia?
Pemerintah bisa mempertimbangkan pendekatan bertahap. Alih-alih menetapkan harga 100 Mbps langsung di Rp100 ribu untuk semua wilayah, mengawali dengan pilot project di kota atau kabupaten yang sudah memiliki infrastruktur matang akan lebih masuk akal.
Skema harga bertingkat juga bisa dipertimbangkan, misal Rp100 ribu untuk layanan 30-50 Mbps, lalu meningkat sesuai kebutuhan pengguna dan kemampuan jaringan.
Selain itu, pemerintah perlu membuka ruang bagi insentif fiskal atau subsidi silang bagi operator yang menyasar wilayah non-komersial.
Tak kalah penting, finalisasi aturan open access harus dibarengi dengan pengawasan implementasi di lapangan. Infrastruktur bersama tidak boleh hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar menjadi alat untuk efisiensi dan pemerataan.
Pada akhirnya, keterjangkauan bukan hanya soal angka. Akses digital yang adil dan berkelanjutan jauh lebih penting daripada sekadar menawarkan harga sensasional.
Pemerintah dan industri harus duduk bersama, membuka ruang kolaborasi, serta mengedepankan pendekatan berbasis ekosistem, untuk mewujudkan internet 100 Mbps dengan harga terjangkau.
@IndoTelko