telkomsel halo

Kala solidaritas digital mengalahkan birokrasi

04:00:00 | 07 Dec 2025
Kala solidaritas digital mengalahkan birokrasi
Dalam setiap bencana di negeri ini, warga selalu datang lebih dulu, negara selalu menyusul. Di Indonesia, kecepatan menolong nyawa hari ini tidak diukur dari sirene mobil dinas, tetapi dari kecepatan unggahan Instagram. Satu video singkat bisa memobilisasi truk bantuan, selimut, obat-obatan, dan ratusan juta rupiah, sebelum rapat koordinasi pertama pemerintah selesai digelar.

Kisah dua aktivis media sosial, Ferry Irwandi dan Praz Teguh, adalah ilustrasi paling segar dari era baru solidaritas digital. Melalui platform Kitabisa, Ferry menggalang lebih dari Rp10 miliar hanya dalam satu hari. Praz, dengan komunitas pengikut yang jauh lebih kecil, berhasil menembus Rp1 miliar. Tidak ada perintah, tidak ada koordinasi birokrasi, tidak ada anggaran negara. Hanya satu unggahan, satu ajakan tulus untuk membantu sesama, dan resonansi emosional yang menyebar lebih cepat dari berita resmi pemerintah.

Fenomena ini bukan sekadar soal jumlah donasi yang fantastis, tetapi tentang pergeseran mendasar dalam kepercayaan publik. Masyarakat hari ini lebih percaya warganya sendiri ketimbang institusi formal. Apa modal utamanya? Transparansi real-time. Ferry dan Praz mengunggah dokumentasi penyaluran bantuan, mempublikasikan alokasi barang, dan hadir langsung di lokasi. Setiap story menjadi laporan publik, setiap video menjadi bukti kerja. Transparansi emosional ini adalah mata uang baru kepercayaan.

Ketika kepercayaan sudah terbentuk, publik tidak bertanya siapa mereka, tetapi kapan dan bagaimana mereka bisa ikut membantu. Model ini memecah jarak psikologis yang selama ini dimonopoli oleh negara: publik melihat langsung apa yang terjadi, bukan melalui konferensi pers.

Sebaliknya, publik tampak lelah pada birokrasi bantuan yang lambat, distribusi yang tidak merata, dan narasi pejabat yang defensif ketika dikritik. Hampir setiap kali bencana besar terjadi, alurnya sama: pemerintah bekerja, tetapi terasa terlambat. Bantuan tersendat karena koordinasi lintas lembaga yang tidak efisien. Pada saat negara masih menyusun daftar rapat dan menetapkan penanggung jawab, masyarakat sipil sudah menggalang dana, menyewa truk, dan tiba di lokasi terdampak.

Istilah “warga bantu warga” sering terdengar sebagai pujian. Padahal sesungguhnya, ia juga merupakan kritik sosial yang paling keras, namun disampaikan dengan sunyi. Ketika negara tidak menjadi instrumen pertama yang dipercaya dalam penanganan bencana, itu pertanda ada keretakan serius dalam hubungan negarawarga.

Kita sedang menyaksikan pergeseran legitimasi dimana bukan lagi ditentukan oleh jabatan, tetapi oleh kecepatan dan kedekatan. Crowdfunding menghadirkan struktur solidaritas baru: horizontal, cair, berbasis relasi emosional, dan nyata. Sebaliknya, pemerintah masih beroperasi dalam struktur vertikal: hierarkis, berjenjang, berbasis prosedur, dan formalitas.

Model crowdfunding memberi kendali yang besar kepada donatur. Publik bisa memilih program yang ingin mereka dukung, memantau perkembangan kampanye, melihat bukti penyaluran, bahkan mengevaluasi kampanye. Dalam perspektif ini, publik bukan sekadar penyumbang, tetapi pengawas. Ini dinamika kepercayaan yang selama ini hilang dalam sistem pengelolaan bencana oleh negara.

Namun, fenomena ini tentu tidak hadir tanpa risiko. Ketika donasi mencapai miliaran rupiah dalam hitungan jam, isu regulasi dan akuntabilitas menjadi relevan. Apakah kampanye penggalangan dana oleh figur publik masuk kategori objek pajak? Bagaimana bentuk perlindungan terhadap donatur jika terjadi penyelewengan dana? Apakah influencer yang mengelola donasi termasuk entitas filantropi, ataukah penggalang mandiri yang harus tunduk pada standar tertentu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut belum memiliki jawaban komprehensif dalam sistem regulasi Indonesia. UU Pengumpulan Uang dan Barang Nomor 9 Tahun 1961 dan PP 29/1980 masih membayangkan filantropi dalam bentuk yayasan, organisasi formal, dan lembaga sosial konvensional. Regulasi ini jelas tidak didesain untuk era “selebgram dan story IG”, ketika satu unggahan dapat menggerakkan masyarakat lebih cepat daripada surat keputusan.

Kitabisa memang memiliki mekanisme verifikasi dan mitigasi risiko. Namun ketika seorang influencer bisa mengelola donasi setara anggaran kecamatan hanya bermodalkan kepercayaan publik, dibutuhkan payung hukum yang lebih kokoh. Publik berhak atas kejelasan pertanggungjawaban, sementara penggalang dana berhak atas kepastian hukum agar tidak diperlakukan sebagai “wilayah abu-abu”. Kejelasan aturan bukan untuk membatasi solidaritas, tetapi untuk memastikan konsistensi dan akuntabilitas.

Di sisi lain, potensi tarik menarik pajak harus dipikirkan secara hati-hati. Mendorong filantropi ke ranah perpajakan tanpa akal sehat justru bisa menimbulkan ketakutan dan menghambat solidaritas. Namun dengan pendekatan yang tepat, negara bisa memperkuat sistem pelaporan dan mendorong tata kelola yang sehat, tanpa membebani aktor sosial yang ingin membantu.

Melihat fenomena ini bukan alasan bagi pemerintah untuk merasa tersaingi. Justru ini adalah kelas gratis manajemen bencana dari masyarakat. Masyarakat tidak sedang merebut peran negara. Mereka bergerak karena negara tidak cukup cepat. Mereka turun ke lapangan bukan untuk menggantikan institusi, tetapi untuk mengisi celah yang tidak bisa menunggu.

Jika pemerintah ingin kembali menjadi tumpuan pertama masyarakat dalam penanganan bencana, ada empat prinsip yang harus ditiru dari para penggalang dana digital yakni cepat, transparan, empatik, dan dekat. Negara perlu bergeser dari paradigma “mengendalikan” bantuan ke paradigma “memfasilitasi” bantuan. Bukan memonopoli kanal distribusi, tetapi mengorkestrasi kolaborasi dimana pemerintah sebagai koordinator utama, influencer dan organisasi sosial sebagai mitra, dan publik sebagai motor solidaritas.

Dalam konteks itu, pemerintah perlu tiga langkah besar yakni pertama, Transparansi real-time dalam distribusi bantuan, bukan sekadar laporan akhir yang terlambat.

Kedua, menghilangkan birokrasi yang menghambat penyelamatan nyawa, terutama koordinasi lintas lembaga. Ketiga, menyusun regulasi crowdfunding yang modern, berbasis perlindungan publik, bukan kecurigaan.

Fenomena Ferry Irwandi dan Praz Teguh bukan sekadar cerita keberhasilan Kitabisa atau tren filantropi digital. Ini adalah alarm sosial yang nyaring dimana publik bergerak karena negara tidak cukup cepat. Bukan karena mereka tidak percaya pada negara, tetapi karena mereka tidak mau menunggu sampai semua terlambat.

Bencana akan terus datang di negeri ring of fire ini. Pertanyaannya sederhana, apakah negara masih akan berada dalam mode rapat koordinasi, sementara warga kembali turun ke lapangan? Atau negara bersedia belajar dari warganya sendiri bahwa penyelamatan nyawa tidak bisa menunggu tanda tangan?

Solidaritas tidak boleh bergantung pada influencer. Tetapi transparansi dan kecepatan yang mereka tunjukkan adalah standar baru yang harus diadopsi negara. Pilihan akhirnya jelas yaitu meniru kecepatan warga, atau terus ditinggalkan.

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories