JAKARTA (IndoTelko) - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyiapkan kebijakan strategis untuk memperluas skema perpajakan atas aset kripto, menyusul berkembangnya penggunaan kripto dari sekadar komoditas menjadi instrumen finansial yang lebih kompleks. Langkah ini dinilai akan memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri sekaligus memperkuat fondasi pertumbuhan ekosistem keuangan digital nasional.
Hingga saat ini, pengenaan pajak atas transaksi kripto mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 63/PMK.03/2022 yang mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. Ketentuan tersebut berlaku selama kripto masih diklasifikasikan sebagai komoditas digital. Namun seiring dengan perubahan karakter penggunaan aset kripto di masyarakat, Kemenkeu mulai membuka ruang untuk pendekatan baru yang lebih sesuai dengan fungsi kripto sebagai alat investasi dan layanan keuangan terstruktur.
CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, menyambut baik rencana ini. Menurutnya, perubahan regulasi akan membawa kejelasan bagi pelaku usaha dan investor dalam menjalankan aktivitas berbasis aset digital. “Pengelompokan kripto sebagai instrumen finansial memberikan dasar hukum yang lebih kuat. Ini menjadi fondasi penting untuk mendorong inovasi di sektor keuangan digital,” ujarnya.
Calvin menambahkan bahwa pendekatan ini juga selaras dengan pergeseran otoritas pengawasan. Sejak awal 2025, pengawasan perdagangan aset kripto secara resmi telah berpindah dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perpindahan ini mencerminkan pandangan baru pemerintah terhadap kripto, yang kini dianggap sebagai bagian dari sistem keuangan dan bukan semata-mata barang dagangan digital.
Berdasarkan data Kemenkeu, penerimaan negara dari pajak transaksi kripto pada kuartal I 2025 (JanuariMaret) tercatat mencapai Rp1,21 triliun. Capaian ini menunjukkan tingginya partisipasi masyarakat terhadap aset digital. Dengan rencana pengelompokan kripto sebagai instrumen finansial, pemerintah membuka ruang untuk penerapan pajak yang lebih luas, termasuk pada aktivitas pengelolaan portofolio kripto, layanan derivatif, dan produk investasi digital lainnya.
Pelaku industri berharap agar skema perpajakan yang baru nantinya dapat disejajarkan dengan perlakuan pajak di pasar modal. Menurut Calvin, transaksi kripto seharusnya dikenakan pajak final yang lebih ringan, seperti halnya transaksi saham. “Kesetaraan perlakuan pajak penting untuk menjaga daya saing industri kripto Indonesia, terutama dalam kompetisi global yang semakin ketat,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa regulasi yang adil dan proporsional akan menciptakan iklim usaha yang sehat serta mendorong pertumbuhan ekosistem aset digital secara berkelanjutan di Indonesia.(ak)