telkomsel halo

Jangan obral data pribadi di dunia maya

04:45:00 | 11 May 2025
Jangan obral data pribadi di dunia maya
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) belum lama ini menyatakan membekukan sementara Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) layanan Worldcoin dan WorldID.

Langkah tersebut diambil setelah adanya laporan dari masyarakat mengenai aktivitas mencurigakan yang berhubungan dengan dua layanan kripto tersebut.

Hasil penelusuran awal menunjukkan bahwa PT. Terang Bulan Abadi sebagai pengelola WorldID belum terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dan tidak memiliki TDPSE sebagaimana diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, layanan Worldcoin tercatat menggunakan TDPSE atas nama badan hukum lain, yaitu PT. Sandina Abadi Nusantara.

Ketika Komdigi melakukan klarifikasi, ternyata platform ini telah mengumpulkan lebih dari 500.000 retina dan retina code dari pengguna di Indonesia.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Menteri Kominfo Nomor 10 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, setiap penyelenggara layanan digital wajib terdaftar secara sah dan bertanggung jawab atas operasional layanan kepada publik.

Worldcoin, yang kini dikenal sebagai “World”, adalah proyek identitas digital dan mata uang kripto yang didirikan oleh Sam Altman (CEO OpenAI) melalui perusahaan Tools for Humanity (TFH).

Proyek ini bertujuan untuk menyediakan bukti keunikan manusia (proof of personhood) di era kecerdasan buatan (AI) yang semakin berkembang, dengan menggunakan pemindaian iris mata melalui perangkat khusus bernama “Orb”.

Model Bisnis
Platform ini menjalankan model bisnis dimulai dengan verifikasi identitas digital melalui World ID yakni protokol identitas global yang memungkinkan individu membuktikan keunikan dan keberadaan mereka secara digital tanpa mengungkapkan informasi pribadi lainnya.

Verifikasi dilakukan melalui pemindaian iris menggunakan Orb, menghasilkan identitas digital berbasis blockchain yang disebut “IrisHash”. Identitas ini dapat digunakan untuk mengakses berbagai layanan digital dengan tingkat privasi yang tinggi.

Sebagai insentif, pengguna yang berhasil diverifikasi menerima token kripto bernama Worldcoin (WLD). Token ini dapat digunakan dalam ekosistem World atau ditukar dengan mata uang lain. Distribusi token ini terinspirasi dari konsep Universal Basic Income (UBI), dengan tujuan memberikan akses ekonomi yang lebih inklusif.

Sementara World App adalah dompet digital yang kompatibel dengan World ID, memungkinkan pengguna menyimpan dan mentransaksikan WLD serta mata uang kripto lainnya. Aplikasi ini juga mendukung integrasi dengan layanan pihak ketiga seperti Stripe dan Match Group, serta menyediakan fitur-fitur seperti pesan terenkripsi dan mini-aplikasi.

Worldcoin menjalin kemitraan dengan berbagai perusahaan untuk memperluas ekosistemnya. Contohnya, kerja sama dengan Visa untuk meluncurkan kartu debit yang memungkinkan konversi WLD ke mata uang fiat, serta integrasi dengan platform seperti Auth0 untuk otentikasi pengguna.

Worldcoin menghasilkan pendapatan melalui beberapa saluran mulai dari mengenakan biaya untuk setiap pertukaran mata uang dan transfer yang dilakukan di platform. Menawarkan fitur dan layanan keuangan premium dengan biaya berlangganan atau pembayaran satu kali.

Selanjutnya, menerima biaya dari institusi keuangan yang ingin menawarkan layanan mereka melalui platform Worldcoin. Terakhir, menjual data statistik yang telah dianonimkan dan diamankan kepada pihak ketiga seperti peneliti dan pemasar.

Hingga awal 2025, Worldcoin telah memiliki 26 juta pengguna terverifikasi melalui pemindaian iris di lebih dari 100 negara. Sebanyak 10 juta pengguna telah mengunduh dan menggunakan World App, dengan 2 juta pengguna aktif harian dan lebih dari 70 juta transaksi yang diproses. Kabarnya, pertumbuhan pengguna baru mencapai 800.000 per minggu, dengan 355.000 pengguna baru yang diverifikasi setiap minggu.

Tentu performa ini lumayan mengejutkan mengingat yang diberikan adalah data paling pribadi yakni biometrik. Ternyata, Worldcoin menawarkan token WLD secara cuma-cuma sebagai kompensasi bagi pengguna yang bersedia dipindai irismatanya. Di banyak negara berkembang, ini menjadi daya tarik besar. Misal, di Kenya, pengguna dilaporkan menerima token setara Rp 700.000Rp 800.000 setelah pendaftaran.

Selain itu, platform ini memposisikan diri ingin membantu membangun identitas digital global bagi mereka yang belum memiliki akses pada sistem identitas formal dan mempersiapkan distribusi Universal Basic Income (UBI) di masa depan dengan verifikasi “proof of personhood”.

Ada juga sekelompok orang merasa ini bagian dari tren Web3 dan crypto yang sedang booming dan ingin menjadi “early adopter” dari sistem ekonomi dan identitas masa depan.

Padahal, konsekuensi jangka panjang sangat berbahaya mengingat pengumpulan data biometrik seperti pemindaian iris menimbulkan kekhawatiran tentang penyalahgunaan data dan pelanggaran privasi. Apalagi, tidak adanya mekanisme “menghapus” data iris setelah dikumpulkan.

Fenomena ini seringkali membuat orang tidak terlalu kritis terhadap apa yang mereka korbankan (privasi biometrik) demi posisi awal dalam ekosistem baru.

Worldcoin bukanlah kasus tunggal, tetapi simbol dari praktik yang makin lumrah: data-for-access. Model ini memosisikan data pribadi sebagai harga masuk ke layanan digital, yang seringkali didesain untuk memikat kalangan yang rentan secara ekonomi. Tanpa regulasi dan pengawasan yang ketat, praktik seperti ini bisa berkembang menjadi bentuk baru eksploitasi digital.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), yang merupakan tonggak penting menuju kedaulatan digital nasional.

Namun hingga kini, petunjuk teknis pelaksanaannya belum tersedia. Tanpa landasan operasional yang jelas, undang-undang ini hanya menjadi janji kosong. Pemerintah harus segera bertindak dengan menerrbitkan aturan pelaksana, perketat pengawasan terhadap PSE global, dan dorong literasi publik agar rakyat tidak terus menjadi objek pengumpulan data oleh korporasi global.

Dalam pertarungan antara perlindungan dan eksploitasi data pribadi, pemerintah tidak bisa berdiri netral, karena diam artinya ikut menjual privasi rakyat sendiri.

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories