telkomsel halo

3 alasan ini bikin Netflix masih kontroversi di Indonesia

05:19:00 | 16 Jan 2020
3 alasan ini bikin Netflix masih kontroversi di Indonesia
JAKARTA (IndoTelko) - Netflix telah menjadi perbincangan lagi setelah mereka mengumumkan kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud). Kerja sama ini menuai pro kontra di dunia maya.

Di satu sisi, banyak yang mendukung langkah  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim karena banyak peluang mendapatkan hiburan yang berkualitas. Namun di sisi lain, langkah tersebut dianggap mengangkangi pemerintah yang masih menekan Netflix untuk membuka kantor dan membayar pajak ke Indonesia.

Netflix sendiri awalnya merupakan perusahaan penyewaan DVD yang muncul sejak 1997. Seiring dengan berkembangnya teknologi, Netflix pun berubah menjadi layanan streaming film. Koleksinya banyak, mungkin hasil digitalisasi cakram DVD yang mereka miliki sebelumnya. Termasuk film bertema Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), Pornografi dan SARA.

Inilah yang kemudian kerap menjadi kontroversi. Film-film di Netflix selalu menjadi perdebatan, apalagi yang original buatan mereka.

IndoTelko merangkum dari perbincangan netizen setidaknya ada 3 hal yang membuat mereka masih terhalang kehadirannya di Indonesia.

1. Konten Kontroversial
Yang paling kentara dari konten-konten Netflix adalah tampilannya yang jauh dari sensor. Misalnya adegan berdarah-darah yang diperlihatkan dengan jelas, dan kerap mempertontonkan adegan-adegan vulgar dan seksi mengarah ke pornografi. Memang Netflix memiliki fitur parental control, namun tetap saja konten-konten tersebut bisa diakses dengan mudah oleh siapa saja.

Selain tak ada sensor adegan berdarah dan pornografi, Netflix kerap membuat serial original yang penuh kontroversi.

Yang sangat heboh kala itu adalah The First Temptation of Christ yang menuai penolakan lewat tanda tangan 11,8 juta orang di petisi change.org.

Terbaru adalah film bertajuk Messiah yang bercerita tentang kedatangan Imam Mahdi tepat saat perang Suriah berkecamuk. Film original itu dinilai provokatif, antikristus, dan mengarah ke propaganda anti-Islam.

Semua ini bertentangan dengan kebijakan di Indonesia yang dengan tegas melarang beredarnya konten berbau SARA, LGBT dan Pornografi.

2. Tak ada sistem flagging
Saking banyaknya konten yang membuat was-was para orang tua dan jauh dari sensor, Netflix tidak menyediakan platform untuk melaporkan konten-konten yang tak pantas tersebut sehingga kecil kemungkinan konten tersebut diturunkan dari Netflix.

Ini berbeda dengan apa yang ada di Youtube atau platform streaming lain. Mereka menyediakan tombol untuk melaporkan konten yang tidak pantas. Bahkan sekali dilaporkan ke Kominfo dan diramaikan oleh pemberitaan media, dalam hitungan jam, konten yang tak pantas itu langsung diturunkan dari Youtube. Tidak demikian dengan Netflix.

3. Pajak
Netflix memang tidak menjual barang yang kelihatan wujud fisiknya. Namun itulah tren di masa depan, layanan akan serba digital, termasuk video streaming. Inilah yang masih membingungkan pemerintah untuk menagih pajak bagi penyedia layanan macam Netflix.

Menurut data Nakono pada 2019 jumlah pelanggan Netflix telah mencapai 482 ribu sedangkan tahun 2020 ini akan mencapai hampir 1 juta pelanggan. Dengan harga Rp139 ribu untuk paket standar, itu artinya, Netflix akan mengantongi sekitar Rp139 miliar per bulan. Total tahun ini, Netflix akan membawa uang dari Indonesia sampai Rp1,66 triliun. Hampir sama dengan prediksi riset Nakono.

Lalu nikmat mana lagi yang kau dustakan?

4. Badan Usaha Tetap
Sebagai perusahaan yang meraup untung dari warga Indonesia, sudah sewajarnya jika pemerintah meminta kesediaan Netflix untuk berkantor di negara ini. Ini sesuai dengan PP Perdagangan Melalui Sistem Elektronik di mana ada kewajiban memajukan dan menyediakan tempat bagi produk lokal.

Wajar saja jika Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi berteriak lantang mengingatkan Mas Menteri Nadiem perihal pentingnya menjaga wibawa bangsa di era digital.

"Mas Nadiem harus diingatkan kalau sekarang adalah pejabat publik, bukan lagi pengusaha. Sebagai pejabat publik ada regulasi yang harus ditegakkan dan wibawa bangsa dijaga. Saya melihat aksinya dengan Netflix itu seperti tak berkoordinasi dengan Menkominfo, Menkeu, atau Menparekraf yang menginginkan Netflix penuhi dulu kewajiban sebelum berbisnis di Indonesia," tegasnya belum lama ini.

Menurut Heru, kontroversi seputar keberadaan Netflix di Indonesia dianggap bisa menjadi pintu masuk untuk mengatur kembali semua Over The Top (OTT) di tanah air. Apa iya? (sr)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year