Di forum Council of Asian Shopping Centres Conference (CASC) yang berlangsung pada 26 September 2018 lalu di Bali, saya diundang sebagai salah satu pembicara untuk membahas mengenai dampak perkembangan teknologi terhadap melambatnya pertumbuhan bisnis ritel tradisional, terutama shopping mall di Asia dan Indonesia.
Menurut saya, fenomena ini menjadi topik yang menarik sekaligus menantang untuk dibahas. Apalagi belakangan marak beredar kabar soal penutupan berbagai gerai pakaian ternama di Indonesia.
Sebut saja beberapa ritel pakaian impor seperti Clarks, Banana Republic, GAP, dan New Look, yang menutup gerainya di awal tahun 2018.
Apa benar bisnis ritel di Indonesia saat ini kurang bersahabat?
Mari kita simak data yang dipublikasikan oleh Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) berikut ini.
Pada kuartal I (Januari-April) 2018, pertumbuhan ritel di Indonesia melambat sekitar 1%, dibandingkan angka pada kuartal yang sama di tahun sebelumnya yang mencapai 2,5%.
Pada kuartal II (Mei-Agustus) 2018, pertumbuhan penjualan ritel memang kembali naik hingga 20% berkat momentum Lebaran. Angka tersebut masih dinilai menurun, bila dibandingkan angka pertumbuhan pada Lebaran 2012 yang mencapai 38,7%.
Penyebab
Ada beberapa hal yang menyebabkan terpukulnya bisnis retail konvensional, baik itu di global maupun di Indonesia. Salah satu faktor utama yang dituding sebagai penyebabnya adalah munculnya disrupsi teknologi di bidang industri ritel.
Pelan tapi pasti, perkembangan teknologi mengubah cara konsumen secara global dalam berbelanja.
Hasil riset dari perusahaan multinasional di bidang konsultasi manajemen, Accenture, memperlihatkan bahwa 41% dari 6.000 konsumen di AS berbelanja dengan cara mengunjungi toko ritel lebih dahulu untuk mengecek atau mencoba barang yang dinginkan, lalu membelinya via online dengan harga paling murah.
Pertumbuhan eCommerce
Berbeda dengan ritel konvensional, bisnis online menunjukkan peningkatan yang signifikan, bahkan di Indonesia.
Menurut data yang dirilis di situs SWA, jumlah transaksi online meningkat dari 9,4% di tahun 2013 menjadi 11,6% di tahun 2015. Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan produk smartphone dengan harga terjangkau, dan juga akses data lebih murah.
Transaksi eCommerce ini terus meningkat di tahun 2016. Dari data yang dihimpun lembaga riset dan analisis, Statista, jumlahnya tercatat mencapai lebih dari Rp85 triliun, dan meningkat hingga lebih dari Rp100 triliun pada tahun 2017.
Diprediksi angka ini akan terus bertambah mencapai hampir Rp250 triliun di tahun 2022.
Makin banyaknya jumlah transaksi eCommerce, artinya makin bertambah pula konsumen yang memilih berbelanja secara online. Kondisi ini dapat dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pebisnis ritel konvensional untuk keluar dari keterpurukan.
Strategi
Toko ritel yang sukses bertahan di era digital saat ini adalah toko yang mampu menawarkan pengalaman belanja unik dan serba praktis, dengan mengandalkan teknologi terkini.
Mulai dari pemasaran produk secara online, layanan transaksi non-tunai melalui smartphone, sampai instalasi interaktif di dalam toko.
Salah satu contoh toko yang berhasil menghadirkan pengalaman belanja baru di era digital ini adalah Amazon Go.
Raksasa eCommerce dari Amerika Serikat ini memberikan pengalaman berbelanja praktis tanpa kasir – terutama di kawasan kantor, hanya dengan mengunduh aplikasi Amazon Go di smartphone.
Pelanggan tidak perlu lagi menunggu antrean panjang di kasir, karena pembayaran terkoneksi secara otomatis dengan aplikasi. Dengan begitu, pelanggan bisa langsung keluar toko membawa barang belanjaan.
Teknologi ini tentunya bisa membantu pelanggan di perkotaan untuk menghemat waktu berbelanja di tengah aktivitasnya yang padat.
Pebisnis ritel juga bisa mencontoh inovasi menarik yang dilakukan Alibaba Hema dengan minimarket canggihnya.
Perusahaan teknologi asal Tiongkok ini menawarkan konsep belanja praktis tanpa kasir yang pembayarannya menggunakan teknologi pemindaian wajah.
Selain berfungsi sebagai minimarket, di toko ritel modern ini pelanggan juga bisa mengambil langsung barang belanjaan yang sebelumnya dibeli secara online di Alibaba.com. Dengan cara ini, pelanggan bisa menghemat ongkos kirim dan mendapatkan barang belanjaan dalam waktu yang lebih cepat.
Pengalaman belanja yang baru dan serba praktis, juga dihadirkan JD.ID X-Mart di Indonesia, tepatnya di kawasan PIK Avenue, Jakarta.
Cukup menunjukkan barcode aplikasi JD di smartphone dan melakukan perekaman wajah di pintu masuk, secara otomatis barang-barang yang dipilih akan terbaca di smartphone melalui teknologi RFID.
Proses pembayaran pun dilakukan dalam hitungan detik dengan memindai wajah pelanggan. Penerapan teknologi digital yang bisa dibilang baru hadir di Indonesia ini, tentunya mampu menarik minat pelanggan untuk merasakan pengalaman belanja yang praktis, nyaman, dan seru di toko ritel.
Digitalisasi
Transformasi ritel konvensional ke digital seperti yang sudah dilakukan beberapa toko di atas, bisa jadi salah satu solusi untuk mendongkrak penjualan.
Ini saat yang tepat bagi toko ritel yang berada di pusat perbelanjaan dan juga tempat strategis lainnya untuk menghadirkan pengalaman belanja baru lewat penerapan teknologi digital.
Pertama, penggunaan teknologi Wifi Optimization. Ini pastinya jadi satu hal paling krusial yang dibutuhkan oleh toko ritel di era digital.
Wifi dengan koneksi yang cepat tentunya diperlukan pelanggan untuk mengakses internet, sehingga mereka merasa lebih nyaman saat berbelanja.
Namun selain itu, melalui koneksi wifi yang terjadi, pengelola retail juga dapat dengan mudah menganalisa dan mengenal kebiasaan belanja konsumen, apalagi jika digabungkan dengan aplikasi wifi instan dan digital proximity.
Kedua, penerapan teknologi Smart Retail. Untuk meningkatkan minat belanja di toko ritel, kenyamanan pelanggan jadi hal utama yang perlu diperhatikan.
Hal ini tentu bisa diwujudkan dengan memahami cara belanja pelanggan secara lebih detail. Melalui Smart Retail, Anda bisa memonitor dan menganalisa pelanggan dengan lebih baik, seperti menganalisa usia dan gender, aktivitas di dalam toko, dan mengukur kemampuan toko dalam menarik calon konsumen. Tujuannya agar konsumen merasa betah saat memilih dan membeli barang yang diinginkan.
Ketiga, Digital Marketing Platform. Pemasaran adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari bisnis ritel. Di era perkembangan teknologi saat ini, pemasaran bisa dieksplorasi ke dalam media digital yang lebih menarik minat pelanggan.
Contohnya pembuatan digital signage yang interaktif. Konten yang dihadirkan pun tidak melulu harus jualan, tapi bisa juga membuat konten informatif yang berkaitan dengan keseharian pelanggan. Teknologi ini dapat memberikan pelanggan informasi penting seputar produk, sekaligus juga menambah perspektif baru dan menghibur, dan informasi ini bisa selalu tepat sasaran tergantung lokasi, waktu, dan konsumen yang menyimaknya.
Jadi ada banyak sekali hal yang dapat dilakukan toko ritel dalam bertransformasi. Tidak semua toko akan menggunakan teknologi yang sama, dan bisa memilih seberapa jauh mereka mau bertransformasi dan berinvestasi dalam teknologi.
Mengelola toko ritel yang menerapkan teknologi digital, bisa jadi hal yang menantang bagi para pemilik bisnis ritel dan juga staf IT.
Infrastruktur dan operasional yang kompleks menuntut Anda untuk memanfaatkan layanan profesional dari provider. Sebagai salah satu provider di Indonesia, Telkomtelstra menawarkan solusi teknologi yang tepat untuk membantu memaksimalkan bisnis ritel Anda.
Melalui perencanaan, implementasi, dan pengelolaan IT yang terintegrasi, kami siap membantu proses transformasi toko ritel Anda ke era digital.(*)
Ditulis oleh Erik Meijer, Presiden Direktur Telkomtelstra