telkomsel halo

Mesin sensor beroperasi, Indonesia jadikan internet `rumah kaca`?

10:56:42 | 03 Jan 2018
Mesin sensor beroperasi, Indonesia jadikan internet
JAKARTA (IndoTelko) - Langkah Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang mulai mengaktifkan mesin sensor konten internet menimbulkan kekhawatiran di masyarakat terutama untuk mengutarakan pendapat melalui media sosial.

"Ini (aktivasi mesin sensor) adalah kado pahit di awal tahun 2018 bagi netizen. Indonesia (Internet) menjadi Rumah Kaca. Apa yang kamu tulis di internet akan bisa dibaca oleh "Mata" (Mesin sensor) mereka," sesal Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi dalam pesan singkat (3/1).

Menurutnya, kehadiran mesin sensor yang dihaluskan menjadi mesin AIS oleh Kominfo masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah (PR), sehingga tak sewajarnya buru-buru diaktifkan. "PR terbesar adalah menjawab kekhawatiran masyarakat soal mesin itu digunakan untuk mengawasi gerak-gerik komunikasi mereka. Momentum mesin ini diaktivasi entah sengaja atau tidak sangat berdekatan dengan tahun politik. Semua keraguan itu harus bisa dijawab, soalnya ini uang rakyat lumayan besar dikeluarkan untuk membeli dan operasional mesin itu," tegasnya. (Baca: Aktivasi Mesin Sensor)
 
Peneliti dari Internet Development Institute (ID Institute) Muhammad Salahuddien mengatakan investasi untuk membeli dan mengoperasionalkan mesin sensor sangat mahal. "Sebagai perbandingan Yayasan Nawala sudah melakukan yang ditawarkan mesin itu 10 tahun lalu dengan tingkat akurasi nyaris sempurna, digunakan oleh 120 negara dan jutaan pengguna secara gratis. Investasi yang dikeluarkan Nawala itu hanya 10% dari mesin AIS," ulasnya. (Baca: Kontroversi Mesin Sensor)

Diingatkannya, konten di dunia maya bersifat dinamis. Sebuah konten yang bisa di crawl hari ini, minggu depan bisa berubah dan tak bisa dideteksi dengan cara yang sama."Ini kan proyek, kalau perlu teknik pencarian baru karena perubahan teknologi gimana? Kalau masalah menemukan ribuan atau jutaan konten melanggar itu mudah, pakai Google bisa. Susah itu verifikasi dan harus pakai manusia," katanya. (Baca: Ancaman Mesin Sensor)

Sebelumnya, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai penggunaan mesin crawling belum transparan. Masyarakat masih belum mengetahui sampai batas mana data yang bisa dikumpulkan dan dirahasiakan oleh siapa dan bagaimana cara pengumpulannya.

Dalam kajian ELSAM, belum adanya kebijakan yang cukup untuk memproteksi hak atas privasi warga negara, selain masalah centang perenang regulasi yang terkait dengan penapisan dan pemblokiran konten internet.

Sebagai catatan, sampai dengan saat ini setidaknya ada tiga undang-undang yang mengatur tentang penapisan dan pemblokiran konten internet: UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Pornografi, dan UU Hak Cipta. Sayangnya sampai dengan saat ini, ketiga aturan tersebut tidak mengatur dengan detail mengenai prosedur dalam penapisan/pemblokiran.

Dari 10 metode penapisan/pemblokiran konten internet, salah satu metode yang dikenal adalah metode surveillance.

Metode ini dilakukan dengan cara memonitor situs-situs yang dikunjungi pengguna. Jika pengguna tersebut mengakses konten terlarang, atau berusaha untuk mengaksesnya, lalu yang bersangkutan ditindak, baik secara legal maupun extralegal. Surveillance umumnya dipakai sebagai pelengkap filtering konvensional.

Surveillance bertujuan menimbulkan efek ketakutan karena membuat pengguna internet merasa dimata-matai sehingga tidak berani mengakses situs terlarang. Hal ini sebagaimana maksud dan tujuan dari mesin sensor internet tersebut, yang dimaksudkan untuk melakukan crawling atas konten-konten negatif yang ada di internet, untuk kemudian dilakukan penyensoran (filtering/blocking).

Kendati pemerintah membantah bahwa mesin tersebut dilengkapi dengan sistem Deep Packet Inspection (DPI), akan tetapi telah diketahui umum bahwa tindakan filtering atau blocking, akan selalu dibarengi dengan tindakan mass-surveillance.

"Sebab dalam proses tersebut, otoritas yang melalukan dapat melakukan pengumpulan data dan informasi dalam skala massif, yang pada level tertentu dapat dijuga dilakukan identifikasi terhadap pengguna tertentu. Lalu bagaimana memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan alat ini?" tulis pernyataan resmi ELSAM (18/10/17).

Kominfo sendiri mengatakan mesin AIS akan menggantikan dapur pemblokiran konten internet negatif dan tim Trust+.

Entah kenapa, Kominfo menyebut mesin yang penuh kontroversi itu sebagai pengais "crawling" konten negatif. Padahal, dalam tender disebut Peralatan dan Mesin Pengadaan Sistem Monitoring dan Perangkat Pengendali Situs Internet Bermuatan Negatif dengan nilai pagu sekitar Rp 211,8 miliar.(id)

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year