Sepanjang bulan Ramadan lalu industri telekomunikasi nasional dihebohkan dengan pemberitaan tentang aksi kampanye negatif dari salah satu operator terhadap pemain dominan.
Seiring perjalanan waktu, pertempuran bergeser dari isu kampanye tarif murah ke perperangan sesungguhnya yakni revisi aturan penyelenggaraan telekomunikasi dan frekuensi.
Aturan yang akan direvisi adalah Peraturan Pemerintah (PP) No 52 tahun 2000 mengatur tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53 tahun 2000 tentan frekuensi dan orbit satelit.
Revisi dari kedua aturan ini diyakini banyak pihak akan mengubah lanskap dari industri telekomunikasi karena munculnya model bisnis Mobile Virtual Network Operator (MVNO) dan berbagi jaringan aktif (Network Sharing).
Network Sharing
Dalam praktik di dunia internasional, Active network sharing adalah mekanisme penggunaan bersama infrastruktur aktif telekomunikasi antaroperator telekomunikasi.
Ada lima model network sharing, yakni CME Sharing, multi operator radio access network (MORAN), multi operator core network (MOCN), Roaming, dan mobile virtual network operator (MVNO).
Di industri seluler nasional, dua operator yang sudah mengadopsi network sharing untuk 4G adalah Indosat Ooredoo dan XL Axiata dengan konsep MORAN. MORAN adalah operator bisa berbagi BTS, tapi tetap menggunakan spektrum masing-masing.
Di sejumlah pemberitaan di media massa dikabarkan keduanya menginginkan kerjasama ditingkatkan menjadi MOCN dimana tak hanya berbagi BTS, tapi juga spektrum dimanfaatkan secara bersama.
Kolaborasi yang lumayan dahsyat nantinya mengingat alokasi frekuensi yang dimiliki keduanya sehingga wajar muncul potensi monopoli baru di sisi kepemilikan sumber daya alam terbatas.
Kebijakan Network sharing, secara normatif dapat memberikan efisiensi bagi penyelenggara jaringan telekomunikasi, namun dalam implementasinya, berbagai regulator di dunia mengimplementasikan beleid ini secara hati hati karena walau berdampak positif, implementasinya juga memiliki sisi negatif bagi pemerintah , masyarakat dan operator.
Efisiensi yang digadang-gadangkan diperoleh penyelenggara jaringan telekomunikasi karena berbagi jaringan pun perlu diukur juga kemanfaatannya secara menyeluruh terhadap kepentingan pemerintah dan kepentingan konsumen, tidak hanya diukur berdasarkan aspek efisiensinya yang merupakan kepentingan industri saja.
Bagi pemerintah, implementasi kebijakan infrastruktur sharing berarti berkurangnya investasi asing dalam pembangunan jaringan telekomunikasi. Tetapi, dampaknya pengurangan ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat dan industri lokal pendukung yang terlibat dalam pembangunan jaringan telekomunikasi di seluruh wilayah indonesia seperti UKM, kontraktor, konsultan serta industri perangkat dalam negeri seperti industri menara dan baterai yang seluruhnya dikategorikan dalam Pengurangan tingkat komponen dalam negeri atau TKDN yang sejatinya menjadi fokus pemerintahan Presiden Jokowi saat ini.
Belum lagi berkurangnya ketahanan jaringan telekomunikasi nasional terhadap bencana akibat adanya berkurangnya jaringan operator yang tersedia ketika bencana terjadi.
Dari sudut kepentingan masyarakat, tarif layanan telekomunikasi saat ini sudah sangat terjangkau, karena tarif operator saat ini merupakan tarif termurah diantara negara-negara Asean walaupun kondisi negara Indonesia yang sangat luas dengan kondisi sarana dan prasarana yamg dibutuhkan operator dalam membangun jaringan, seperti ketersediaan listrik dan ketersediaan jalan akses. Jika menggunakan praktik bisnis ala kuliahan, tarif yang diberikan seharusnya lebih tinggi dari yang ada sekarang.
Tetapi kenyataannnya, tarif layanan saat ini terjangkau dan membuktikan bahwa industri telekomunikasi di Indonesia sudah cukup efisien sehingga mampu memberikan tarif layanan yang termurah bagi pelanggan atau masyarakat dan oleh karena itu, kualitas layanan operator dan ketersediaan jaringan telekomunikasi yang berkelanjutan menjadi kebutuhan utama masyarakat saat ini.
Implementasi kebijakan network sharing dapat mengakibatkan peningkatan resiko ketidak berlangsungnya layanan ketika terjadi bencana dan tidak dimilikinya kontrol penuh oleh masing-masing operator atas jaringan yang dikelolanya akibat adanya sharing jaringan bersama operator lain.
Kondisi ini pada akhirnya berdampak bagi penurunan kualitas layanan yang diterima masyarakat dan ragam layanan yang seharusnya menjadi aspek yang dinilai masyarakat yang merupakan bagian aspek dikompetisikan operator selama ini.
Selain itu, terkait aspek perlindungan kerahasiaan data pelanggan, penggunaan jaringan secara bersama dapat mengakibatkan kerentanan data pelanggan masing masing operator yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Konsistensi
Dari sudut kepentingan industri, jaminan tersedianya iklim usaha kondusif yang memberikan kepastian berusaha secara adil melalui pengaturan kebijakan yang transparan dalam rangka menjamin terciptanya persaingan usaha yang sehat menjadi kebutuhan para pelaku usaha.
Hal ini agar investasi yang ditanamkan dalam pembangunan jaringan telekomunikasi dapat terus berkembang melalui prinsip perlakuan regulasi yang sama (equal treatment) bagi seluruh pelaku usaha karena pembangunan jaringan dalam regulasi eksiting sudah memiliki aturan main yang telah disepakati sejak awal oleh semua penyelenggara diberikan lisensi oleh pemerintah yaitu ketika operator diberikan hak pemanfaatan spektrum frekuensi sebagai sumber daya terbatas yang dimiliki oleh negara, setiap operator diberikan kewajiban oleh pemerintah untuk dapat membangun jaringan telekomunikasi diseluruh wilayah Indonesia.
Berpegang pada kesepatan di regulasi, pembangunan jaringan operator akan menjadi faktor yang sangat penting dalam keputusan strategi berkompetisi operator. Kebijakan network sharing akan mengubah kesepakatan yang telah disepakati sehingga memerlukan evaluasi secara komprehensif dalam hal sejauh mana dampak kebijakan ini terhadap kompetisi tanpa menafikan efisiensi yang dapat diperoleh operator.
Berbagai regulator industri di dunia, di setiap negara memiliki strategi implementasi yang berbeda-beda diseuaikan dengan kebutuhan pemerintah masing-masing negara. Hal ini terjadi karena di beberapa negara setelah dikaji, kebijakan network sharing akan memiliki dampak buruk bagi kompetisi.
Untuk konteks indonesia , diperbolehkannya penggunaan jaringan secara bersama atau network sharing dapat dianggap sebagai kebijakan tidak fair yang tidak menjamin terjadinya equal treatment atau kesetaraan regulasi bagi boperator dalam berkompetisi.
Operator yang telah terlanjur membangun jaringan lebih cepat dari operator lainnya akan menganggap beleid ini sebagai kebijakan yang ditujukan hanya untuk menguntungkan operator tertentu untuk menikmati efisiensi yang tidak pernah dirasakan oleh operator yang sejak awal strategi kompetisinya adalah secara agresif melakukan pembangunan jaringan secepat mungkin di seluruh Indonesia atau dengan kata lain Pemerintah membuat kebijakan yang memberikan perlakuan yang tidak sama dalam berkompetisi.
Kerugian operator ketika melakukan pembangunan jaringan di wilayah baru yang tidak menguntungkan dengan segala resiko bisnis yang dihadapi untuk memperoleh pelanggan seharusnya menjadi faktor penting yang harus dijamin regulator untuk terjadi yaitu adanya perlakuan yang sama bagi seluruh operator dalam memenuhi kewajibannya atas lisensi yang diberikan kepada operator atas dialokasikannya sumber daya terbatas berupa spektrum frekuensi sehingga tercipta kompetisi yang fair melalui equal level playing field.
Dalam menjalankan kewajiban lisensi memanfaatkan spektrum frekuensi yang merupakan sumber daya sangat terbatas yang perlu menjadi perhatian pemerintah untuk dimanfaatkan sebanyak banyaknya kepentingan rakyat.
Di berbagai negara, kebijakan network sharing, pada akhirnya diimplementasikan sebagai kebijakan insentif pemerintah yang didorong untuk dilakukan semua operator dalam membangun jaringan di wilayah-wilayah pedesaan atau rural area dimana belum ada satu operator pun yang membangun jaringannya sehingga diperlukan intervensi pemerintah dan bukan ditujukan bagi pembangunan jaringan operator di kota-kota besar.
Untuk konteks indonesia, pemerintah perlu mengkaji apakah diperlukan intervensi regulasi berupa kebijakan network sharing untuk target pencapaian rencana pita lebar Indonesia jika memang ingin pemeretaan bagi akses broadband.
Terbelah
Saat ini di industri telekominikasi selain kedua PP di atas, revisi perhitungan biaya interkoneksi juga membuat operator terbelah.
Biaya interkoneksi terkait penetapan pembayaran biaya pengunaan jaringan operator yang digunakan operator lain ketika pelanggan operator melakukan telepon ke pelanggan beda operator
Isu dalam interkoneksi adalah bahwa pemerintah seharusnya tidak memberlakukan biaya interkoneksi yang sama karena biaya jaringan setiap operator yang digunakan dalam berinterkoneksi tidaklah sama karena adanya perbedaan biaya investasi oleh operator.
Perlakuan biaya interkoneksi yang sama sesuai rencana kebijakan antar operator akan menguntungkan bagi operator yang tidak membangun karena dibayar lebih dari investasi yang dikeluarkan atau sama saja dengan memberikan keuntungan kepada operator tersebut.
Bagi operator yang visinya agresif membangun jaringan, rencana revisi biaya interkoneksi ini sebagai bentuk kebijakan yang tidak adil sehingga dapat memngganggu kompetisi yang sehat.
Sangkarut revisi regulasi inilah yang dianggap mengganggu kompetisi. Sebenarnya, permasalahan ini tidak perlu terjadi apabila Menkominfo mampu mencermati permasalahan industri secara tepat
Adanya perbedaan kewajiban pembangunan menjadi akar utama permasalahan mengapa industri telekomunikasi sulit untuk tumbuh.
Anggapan terjadi monopoli dimana suatu operator mendominasi wilayah di luar Jawa lebih diakibatkan tidak adanya regulasi yang mengatur equal level playing field sehingga muncul asumsi ini.
Polemik yang terjadi karena kegagalan Menkominfo membaca permasalahan dan mengatasinya bagi kepentingan industri. Ibarat seorang dokter, Menkominfo belum mendapat analisa dari laboratorium tentang sebuah penyakit, namun tindakan sudah diambil. (
Baca juga:
Misteri revisi aturan telekomunikasi)
Jika sangkarut revisi regulasi yang krusial ini tak diluruskan, dipastikan kondisi industri seluler bukannya membaik, tetapi memasuki stadium memburuk. (
Baca juga:
Network sharing munculkan monopoli)
Dipastikan jika revisi regulasi tetap berjalan akan muncul perbedaan harga pokok produksi operator sehingga berdampak lebih jauh kepada kompetisi yang tidak sehat. Atau ini yang diinginkan oleh Menkominfo?
Ditulis oleh M Ridwan Effendi, Dosen di ITB