telkomsel halo

Kolom Opini

Menebak arah konsolidasi di industri seluler

11:08:21 | 16 Okt 2019
Menebak arah konsolidasi di industri seluler
Kabar suntikan modal dari Hutchison Asia Telecom dan PT Tiga Telekomunikasi kepada operator Hutchison 3 Indonesia (Tri) sebesar Rp47 triliun beberapa waktu lalu kembali memunculkan isu lama yaitu akan adanya konsolidasi berupa merger-akuisisi oleh operator di Indonesia.

Wacana perlunya operator berkonsolidasi sebenarnya sudah lama didorong oleh Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara untuk meningkatkan skala ekonomi, efesiensi, serta menjadikan industri lebih sehat.

Konsolidasi akan menjadikan sumberdaya frekuens yang dimiliki operator lebih besar sehingga kecepatan dan kualitas layanan lebih baik. Meski ada efek ketersediaan pilihan operator yang sesuai bagi masyarakat akan terbatas dan harga yang murah kemungkinan tidak dapat dinikmati lagi.

Dalam riset Evaluating Market Consolidation In Mobile Communications yang meneliti pada 33 negara dalam rentang 2002 hingga 2014 hubungan antara struktur pasar dengan harga dan investasi di operator telekomunikasi menyimpulkan kondsolidasi operator memunculkan trade off yaitu harga ke end user yang cenderung meningkat namun di sisi investasi operator juga meningkat.

Pada tahun 2013 XL melakukan aksi korporasi mengakuisisi Axis dengan nilai pembelian US$865 juta.

Pasca akuisisi, XL mendapatkan frekuensi 1800 Mhz kapasitas 15 Mhz sehingga XL yang tadinya hanya memiliki kapasitas 7.5 Mhz di frekeunsi 1800 Mhz menjadi 22.5 Mhz, namun untuk frekuensi 2100 Mhz 5 Mhz harus dikembalikan ke pemerintah.

Kemudian awal tahun 2019 muncul rumor rencana merger Indosat dengan Smartfren yang ketika itu melonjakan harga saham emiten yang berkode FREN hampir empat kali lipat dari Rp75 menjadi Rp348  dan kemudian terkoreksi karena tidak kunjung terwujud.

Masih di tahun 2019 wacana non cash merger antara MTI (Axiata) dan Telenor juga dikabarkan batal dikarenakan kompleksitas kedua perusahaan tersebut dimana akan melibatkan 14 entitas perusahaan yang tersebar di 9 negara. Salah satu yang menjadi kendala adalah regulasi di Indonesia, namun jika XL Axiata tidak diikutsertakan dalam transaksi maka kontrol Axiata pada entitas baru akan berkurang significan, karena XL merupakan kontributor terbesar bagi holding Axiata yaitu sekitar 30%.

Kendala Regulasi
salah satu keengganan operator untuk melakukan konsolidasi yaitu adanya ketidakpastian kepemilikan frekuensi pasca merger-akuisisi, harus dikembalikan ke pemerintah atau menjadi milik entitas baru.

Jika merujuk UU 36 Telekomunikasi 1999 bahwa frekuensi adalah milik negara dan merupakan sumber daya yang terbatas. Sehingga, pemanfaatannya harus benar- benar untuk kepentingan dan kesejahteraan masayarakat.

Akibatnya, apabila satu operator diakuisisi oleh operator lain, maka operator yang diakuisi tersebut harus menyerahkan kembali frekuensi tersebut kepada negara. Sehingga operator yang membeli atau mengakuisisi opertator lain tersebut, hanya membeli perusahaan kosong tanpa frekuensi.

Dalam draft aturan mengenai kepemilikan pasca konsolidasi industri telekomunikasi yang sedang dirancang mengerucut pada tiga skema, pertama, frekuensi seluruhnya dikembalikan ke operator. Kedua, sebagian dari frekuensi ditarik kemudian dilelang dan ketiga yakni sebagian ditarik kemudian ditahan dulu sembari menunggu evaluasi Kominfo.

Dalam aksi akuisisi Axis oleh XL skema yang kedua yang terjadi yaitu Frekuensi 1800 Mhz kapasitas 15 Mhz dikembalikan ke XL, sedangkan frekuensi 2100 kapasitas 5 Mhz dilelang dan kemudian dimenangkan oleh Indosat.

Menebak Hutch
Sekarang kembali melihat aksi suntikan dana jumbo dari pemilik Tri. Jika kita melihat pilihan untuk akuisisi maka paling tidak ada tiga operator yaitu XL Axiata, Indosat Oredoo, dan SmarFren.

Jika melihat jumlah BTS, XL lebih unggul dibanding kandidat yang lain, namun secara jumlah pelanggan XL masih terpaut tipis dibawah Indosat. Keunggulan jumlah BTS ini sejalan dengan coverage XL yang lebih luas dengan coverage 400 kota dan 92% dari populasi, sementara Indosat coverage 80% populasi dan Smartfren hanya 200 kota.

Bicara kapasitas frekuensi, saat ini Telkomsel memiliki 82.5 Mhz, Indosat (47.5 Mhz), XL (45 Mhz), Smartfren (40 Mhz), dan Tri (25 Mhz). Telkomsel memiliki kapasitas paling besar bahkan dua kali lipatnya rata-rata operator lainnya. Sementara Tri memiliki kapasitas frekuensi terkecil.

Apabila kabar yang santer terdengar terjadi, yaitu Tri melakukan akuisi pada XL Axiata maka entitas baru ini akan memiliki 70 Mhz sehingga akan ada dua operator yang memiliki sumber daya frekeunsi berimbang yaitu Hutch dan Telkomsel.

Enterprise Value
Tidak bisa dipungkiri operator dominan saat ini adalah Telkomsel, dalam hal ini jika menggunakan ukuran Enterprise Value (EV) induk perusahaannya yaitu Telkom maka seluruh operator jika digabungkan hanya merepresantasikan sekitar 30-an% dari EV Telkom.

Kapitalisasi pasar XL saat ini Rp35 triliun dimana dalam proses akuisisi biasanya memerlukan 20%-30% premium to market price maka Tri harus merogoh kocek sekitar Rp42 hingga RP45 triliun untuk dapat membeli XL.

Ini artinya dana injeksi yang didapat dari perusahaan induk cukup untuk melakukan aksi korporasi. Pilihan terbaik tentu Axiata tetap menyisakan kontrol terhadap entitas Tri yang baru, sehingga masih ada head room untuk menggenjot ekspansi di luar Jawa mengejar ketertinggalan dengan pemimpin pasar.

Tapi, bener gak sih Tri akan akuisisi XL? Kita lihat saja nanti.(*)

Ditulis oleh Zaid Muttaqien, Praktisi di salah satu operator seluler

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year