telkomsel halo

UU ITE menjadi anti demokrasi, warganet minta perubahan

11:27:00 | 06 Feb 2019
UU ITE menjadi anti demokrasi, warganet minta perubahan
Pengguna smartphone tengah mengakses media sosial. UU ITE dianggap hantu kebebasan berekspresi di era digital.(dok)
JAKARTA (IndoTelko) - Para pengguna internet (warganet) mulai khawatir dengan sepak terjang UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No. 11/2008 (UU ITE) yang menjelma sebagai musuh demokrasi di era digital.

Sebuah petisi online pun digagas Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Ketua DPR dan para Wakil Ketua DPR RI, serta Menkominfo Rudiantara.

Dalam petisi itu diingtkan kelahiran UU ITE dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum akan informasi dan transaksi elektronik. Kejahatan siber yang sebelumnya begitu marak seperti hacking, cracking, carding, diharapkan dapat terjawab dengan kehadiran UU ini.

Namun dalam perjalanannya, UU ini laksana senjata sapujagad yang dapat dipakai untuk mempidanakan seseorang dengan menggunakan, khususnya, Pasal 27 ayat 3 terkait muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. 

Dan meski UU ITE No.11/2008 kemudian direvisi menjadi UU ITE No.19/2016, penggunaan pasal pencemaran nama baik tidak juga berkurang. Yang menarik, karena sanksi terhadap Pasal 27 ayat (3) ancaman hukuman dikurangi menjadi maksimal 4 tahun (sebelumnya 6 tahun) sehingga tidak bisa langsung ditahan, kini beralih dengan menggunakan Pasal 28, baik ayat 1 maupun ayat 2, dimana ancaman hukuman adalah 6 tahun, sehingga bisa dilakukan penahanan.

Revisi sebagian yang dilakukan dari UU ITE No.11/2008 ke No.19/20016 menyebabkan pasal 28 ini tidak mendapat perhatian serius. (Baca: Kontroversi UU ITE)

Dengan isu sebagai penyebaran ujaran kebencian atau hoaks orang bisa dengan mudah dibidik dengan pasal ini. Padahal, Pasal 28 ayat (1) sendiri adalah penyebaran berita bohong dan menyesatkan terkait kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, dan ayat (2) menyangkut ujaran kebencian yang berdasar SARA. Yang dalam prakteknya, bisa dikenakan pada siapapun yang dianggap menyebarkan berita bohong meski tidak terkait dengan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik serta berhadapan dengan hukum karena dianggap menyebarkan ujaran kebencian, meski tidak menyangkut SARA.

"Karena ada indikasi UU ini menjadi UU yang dapat dipakai untuk semua hal, yang ujungnya dikategorikan menyebarkan fitnah, ujaran kebencian atau berita bohong, yang dikhawatirkan tidak berdasar dan muaranya adalah pembatasan kritik, kebebasan berbicara dan pengungkapan kebenaran, seperti terjadi dalam beberapa waktu terkahir ini, maka UU ITE agar tidak menjadi "penjara" demokrasi, pembungkam kritik dan kebenaran, serta disalahgunakan untuk membenarkan yang salah dan mensalahkan yang benar, revisi total harus dilakukan. Bahkan, agar tidak memakan rakyatnya sendiri, UU ini harus dibatalkan sampai revisi total UU ITE diselesaikan," tulis Heru.

Sebelumnya, dalam Diskusi ILC TV One Selasa (5/2), Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Samuel Abrijani Pangerapan mengakui pelaksanaan dari UU ITE memang harus dibenahi di lapangan. "Tetapi kalau tidak ada aturan ini berbahaya, jangan sampai digital itu disalahgunakan. Kalau pelaksanaannya diawasi kita terbuka, mari bersama membahas isu itu," katanya.

Mantan Anggota Panja UU ITE Fahri Hamzah mengungkapkan kala menyusun UU ITE semangatnya mengatasi penipuan yang memanfaatkan ranah elektroni. "Saya tak menyangka dalam implementasinya ada celah merontokkan kemerdekaan berpendapat," sesalnya.

Penggiat HAM Harris menyayangkan UU ITE yang seharusnya mengurus isu-isu eCommerce dimana dikuasai asing tak dioptimalkan, tetapi lebih banyak digunakan untuk pembungkaman berpendapat. "90% dari isi UU ITE itu soal transaksi eCommerce yang dominan oleh asing. Soal hate speech dan sejenisnya itu 10%, tetapi energi kita habis menegakkan yang 10% ini," sesalnya.

Menurut Pengamat Hukum Pidana Andi Hamzah UU ITE adalah UU adminsitrasi. Secara universal UU Administrasi tak boleh memberikan hukuman berat, maksimal hanya setahun kurungan. "Pidana disana bukan menghukum, tetapi agar orang menaati aturan," tegasnya.(id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year