telkomsel halo

Kominfo tak bisa abaikan peran publik dalam penyusunan aturan

06:33:38 | 24 Okt 2016
Kominfo tak bisa abaikan peran publik dalam penyusunan aturan
Kamilov Sagala (kiri) dan Menkominfo Rudiantara usai menghadiri sebuah diskusi belum lama ini(dok)
JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) disarankan untuk mendengarkan saran yang diberikan Ombudsman Republik Indonesia terkait melibatkan peran publik dalam pembuatan suatu aturan.

"Kominfo itu jangan lupa sekarang era reformasi. Jangan merasa bisa berjalan seenaknya dalam membuat suatu aturan, dan ketika dikritik atau diberikan masukan terkesan phobia. Ombudsman itu sudah menjalani perannya sesuai perintah Undang-undang dalam mengawasi pemerintah meningkatkan pelayanan publik dan mencegah praktik maladministrasi dalam membuat aturan," ungkap Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala di Jakarta, Senin (24/10).

Sebelumnya, pada tanggal 18 Oktober2016, Ombudsman RI telah telah menyampaikan saran kepada Presiden RI untuk menunda pengesahan rancangan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.

Setelah mencermati dan menerima aduan dari masyarakat, Ombudsman RI menilai bahwa rencana revisi dua Peraturan Pemerintah tersebut diduga melanggar ketentuan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terutama Pasal 96 mengenai partisipasi masyarakat. Pada siaran pers Kementerian Komunikasi dan Informatika tanggal 16 Oktober 2016 disampaikan bahwa telah ada koordinasi dengan kementerian terkait. Namun demikian, tidak dijelaskan adanya upaya melibatkan masyarakat, khususnya operator telekomunikasi.

Rencana revisi dua PP tersebut yang memperbolehkan terjadinya praktik berbagi jaringan dan frekuensi juga akan bertentangan dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Ombudsman berpendapat perlu segera dilakukan perubahan Undang-Undang agar revisi PP tidak bertentangan dalam hal substansi.

Selain itu Ombudsman juga mensinyalir ada upaya untuk memberikan pembenaran bahwa pelaksanaan PP hasil revisi akan menghemat devisa negara hingga USD 200 Milyar (lebih kurang Rp. 2,644 triliun). Perhitungan ini cukup janggal, mengingat nilai tambah (PDB) sektor telekomunikasi Indonesia pada tahun 2015 hanya mencapai Rp. 406,9 triliun (BPS, 2016). Ombudsman menilai pernyataan tersebut tak disertai informasi cara perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga berpotensi menciptakan penyesatan informasi kepada publik.

Setelah mencermati, menelaah dan mempertimbangkan aduan dari berbagai pihak, Ombudsman RI berpendapat bahwa: revisi PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, berisiko cacat prosedur, cacat substansi dan tidak didukung dengan dasar perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan. (Baca: Ombudsman soal revisi PP)

"Kalau saya lihat memang tidak transparan Kominfo selama proses revisi kedua PP itu. Makin kacau cara berkomunikasinya ke publik dalam mejelaskan duduk permasalahan juga amburadul. Lihat saja itu soal isu penghematan devisa negara US$ 200 miliar, seminggu lebih itu diributkan sebelum keluar pernyataan Ombudsman pekan lalu. Yang dipertontonkan malah Menkominfo lempar ke Plt. Kepala Biro Humas Kominfo Noor Iza, dan merasa tak tahu menahu dengan angka itu," ketusnya.

Menurutnya, hal seperti itu tak seharusnya terjadi, karena pernyataan penghematan devisi itu keluar di Portal resmi Kominfo yang artinya itu adalah sikap resmi dari lembaga tersebut terhadap suatu masalah.

"Itu penyebutan angka US$ 200 miliar kan dari siaran pers resmi, kok sampai Menteri gak tahu pesan di siaran pers. Kalau begitu, siaran pers itu liar dong. Ini harus ada yang bertanggung jawab, kok bisa informasi keluarnya tanpa ada koordinasi. Kalau begini terus bukan Kominfo namanya, tetapi "No Info". Apalagi jika nanti perhitungan angka US$ 200 miliar itu memang tak masuk akal, bisa membuka peluang somasi karena mempermainkan publik," sergahnya.

Diharapkannya, Menkominfo Rudiantara untuk tak lagi beretorika dalam memimpin lembaganya agar semua pemangku kepentingan bisa merasakan kehadiran pemerintah dalam menjalankan usaha. "Peran Kominfo ini sangat strategis, Pak Rudi sering pula bicara Government Public Relations (GPR). Nah, dia harus lihat-lihat ke cermin, sudah jalan belum itu GPR di Kominfo," sindirnya. (Baca: Kominfo soal revisi PP)

Asal tahu saja, dalam beberapa kesempatan Rudiantara menyatakan ada perbedaan pekerjaan dari seorang Public Relations (PR) dulu dan sekarang. Rudiantara selalu mendorong adanya keterbukaan di lembaga pemerintah dan bahkan membuat program Tenaga Humas Pemerintah (THP) yang ditempatkan di kementrian untuk mendukung GPR.(id) 

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year