telkomsel halo

PNBP Timbulkan Negara dalam Negara

11:43:36 | 01 May 2014
PNBP Timbulkan Negara dalam Negara
Ilustrasi (Dok)
JAKARTA (IndoTelko) - Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) bisa menimbulkan efek shadow state (negara bayangan) sehinggaharus diwaspadai karena membahayakan.

Hal itu terungkap dari sidang judicial review atau uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, di Mahkamah Konstitusi (MK), kemarin.

Judicial review diajukan oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII). Dalam gugatan uji materi UU PNBP ini, pemohon  menuntut pasal 2 dan 3 UU PNBP dicabut, karena dalam prakteknya berbagai pungutan yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementrian Komunikasi dan Informatika, didasarkan pada Peraturan Pemerintah. Bukan lewat undang-undang. Sehingga rawan untuk diselewengkan dan semena-mena.

Kali ini sidang mendengarkan saksi ahli dari Universitas Indonesia (UI) Prof DR Haula Rosdiana MSi.

Menurut Haula UU PNBP sudah harus diubah. Sebab, kelahirannya terjadi pada tahun 1997, ketika era Orde Baru yang sentralistik. UU yang mengatur kutipan ke masyarakat itu, justru lahir lebih dulu dari UUD 45 yang diamandemen tahun 2001. Jadi, justru UUD 45 itu jadinya mengakomodir UU PNBP. “Ini aneh,” kata Haula.

Dijelaskannya,  “shadow state” adalah negara dalam negara. Pasalnya,  PNBP secara praktis sama dengan pajak. Pungutan yang bersifat memaksa. Yang mana itu harus diatur oleh undang-undang.

Namun, kalau pajak sudah lengkap instrumennya, dimana ada keberatan pajak, kalau belum untung bisa tidak bayar pajak dulu karena dasarnya dari pendapatan bersih (net income), dan ada pengadilan pajak, dan ada pengawasannya yakni Ditjen pajak.

“Tapi, kalau PNBP tidak dilengkapi instrumen pendukung. Kalau tidak bayar PNBP tidak ada yang mengawasi kalau terjadi penyimpangan, tidak ada lembaga otoritasnya, dan kenapa diambil dari gross (pendapatan kotor) sehingga kalau perusahaan rugi pun harus bayar,” kata Haula.

Ditambahkannya, hal ini menimbulkan supply side tax policy (pajak berganda). Kalau pungutan itu selalu berpengaruh pada biaya penjualan perusahaan, apalagi ini wajib bayar. “Maka ujungnya berpengaruh pada harga yang dikenakan ke masyarakat,” kata Haula.

Adanya PNBP yang di dunia telekomunikasi menyangkut biaya hak pemakaian (BHP) jasa telekomunikasi dan universal service obligation (USO) sebesar 1,75% dari pendapatan kotor perusahaan, maka harga internet jadi makin mahal. Total PNBP tahun 2013 adalah Rp 332 triliun dan dari Telekomunikasi sebesar Rp 13,59 triliun.

Anehnya, lanjut Haula, meski banyak PNBP-PNBP di berbagai sektor industri yang diberlakukan tapi pertumbuhan pendapatan negara tidak naik signifikan. Termasuk PNBP di sektor telekomunikasi.

Disarankannya, karena PNBP itu pungutan yang bersifat memaksa,  jenis tarifnya harus diatur rinci dalam undang-undang.

Hal ini juga ditekankan oleh saksi ahli dari UII Yogya DR Ni’matul Huda. Ahli hukum tata negara ini mengatakan pasal 2 dan 3 UU PNBP yang diujikan telah merugikan atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak konstitusional Para Pemohon (anggota APJII dan FPI).

Kesalahan norma terutama ada pada Pasal 3 ayat (2) yang memberi pilihan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah. Mestinya berhenti sampai undang-undang.

Sementara Wakil dari pemerintah, Agus Haryadi, direktur litigasi Kemkumham mempertanyakan kalau setiap ada perubahan tarif harus mengubah undang-undang, berpotensi merepotkan karena harus dibahas di DPR dan dilakukan prolegnas dan sebagainya

Pertanyaan ini dijawab ringkas dan tangkas oleh Haula bahwa hal itu sudah menjadi amanah dari undang-undang, dimana setiap pungutan harus dibicarakan kepada rakyat melalui perwakilannya di DPR.

Ditambahkan Haula, bahwa pajak adalah bentuk intimacy (kedekatan) hubungan masyarakat dengan pemerintahnya. Selama masyarakat mau membayar pajak, berarti masuk mengakui pemerintah. Maka, pemerintah tidak bisa meninggalkan rakyatnya sebagai pembayar pajak.

Sementara ahli hukum pajak dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mustaqiem mengatakan, keberadaan PNBP sama dengan pajak, karena keduannya diatur dalam pasal yang sama, yaitu Pasal 23A UUD RI 1945 : ”Pajak  dan pungutan-pungutan lain yang bersifat memaksa untuk negara diatur dengan Undang-undang.”

“Oleh karena itu, penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan yang menempatkan beban kepada rakyat, juga harus didasarkan pada Undang-undang,”  katanya.

Mustakiem menambahkan, Pasal 3 ayat (2) UU PNBP merupakan produk  hukum yang ragu-ragu sehingga tidak selaras dengan kehendak Pasal 23A UUD RI 1945.  “Supaya  selaras dengan kehendak Pasal 23A UUD RI 1945 maka rumusan hukumnya harus berhenti pada kata yang berbunyi ditetapkan dengan Undang-undang”, tambahnya.

Ketua Umum APJII Semual A Pangerapan yang didampingi Sekjen APJII Sapto Anggoro selaku pemohon, mengatakan PNBP cenderung melahirkan sikap dan perilaku koruptif dalam tata hubungan pemerintah terhadap rakyat.

Bila UU PBNP ini tidak direvisi, dan mahkamah menolak judicial review yang dilakukan pemohon, maka hal ini menunjukkan ada upaya sitematik untuk memelihara tindak koruptif di bangsa ini.

Pemohon menyatakan, bahwa industri memang perlu membantu pembangunan dan memberikan sumbangan.

Namun demikian, upaya yang dilakukan harus konstitusional. Kalau menurut UUD 45 dinyatakan bahwa pungutan memaksa harus melalui undang-undang seperti diamanatkan di pasal 23A jelas pakai undang-undang.

“Lah kok pemerintah mengakali pakai peraturan pemerintah. Kok seenaknya sendiri. Mau ngutip rakyat tapi nggak mau ijin ke rakyat lewat DPR,” pungkasnya.(ak)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year