telkomsel halo

Surge mulai berlari dengan frekuensi 1,4 GHz

05:00:00 | 23 Nov 2025
Surge mulai berlari dengan frekuensi 1,4 GHz
PT Telemedia Komunikasi Pratama, anak usaha PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI) atau Surge langsung tancap gas usai memenangkan lelang frekuensi 1,4 GHz.

Bekerjasama dengan OREX SAI Inc. (OREX SAI), perusahaan patungan antara NTT DOCOMO, INC. dan NEC Corporation, bersama anak perusahaannya di Indonesia, PT OREX SAI Indonesia, Surge mulai melakukan komersial berskala penuh untuk menghadirkan layanan 5G Fixed Wireless Access (FWA) 1.4GHz berbasis Open RAN di seluruh Indonesia.

Kemitraan ini menghasilkan layanan Internet Rakyat yang bertujuan memperluas akses internet berkecepatan tinggi dan terjangkau ke wilayah-wilayah yang belum atau kurang terlayani, serta mendukung visi pemerintah Indonesia untuk inklusivitas digital dan konektivitas nasional.

Keberhasilan PT Telemedia Komunikasi Pratama dalam memperoleh lisensi Wilayah I di lelang frekuensi 1,4 GHz, yang mencakup lebih dari 60% rumah tangga di Indonesia, menjadikan perusahaan ini berlari cepat dalam menyelenggarakan layanan pasca lelang ditetapkan pemenang.

Surge menawarkan layanan 5G FWA dengan tarif flat sekitar Rp100.000 (≈ US$6) per bulan, dengan kecepatan hingga 100 Mbps tanpa batas kuota data dan pemasangan gratis.

Perseroan berencana menugaskan hingga 4.800 stasiun basis kepada OREX SAI untuk tahap awal implementasi tahun 2026, termasuk seluruh perangkat dan layanan yang diperlukan.

Berdasarkan perjanjian ini, OREX SAI akan menyediakan sistem Open RAN FWA 1.4GHz komersial pertama di dunia sebagai penyedia utama end-to-end. Sistem ini menggunakan teknologi Open RAN dan 5G Core (5GC) yang dikembangkan oleh NEC Corporation, menjamin arsitektur jaringan yang dapat diskalakan dan siap masa depan.

Secara paralel, PT Telemedia Komunikasi Pratama telah menandatangani perjanjian dengan 26 distributor lokal sebagai bagian dari rencana Go-To-Market awal yang menargetkan wilayah di Region I.

Langkah cepat Surge memanfaatkan hasil lelang frekuensi menjadi salah satu manuver paling agresif dalam industri telekomunikasi tahun ini.

Model penetrasi ini tampak dirancang untuk mempercepat akuisisi pelanggan sambil memanfaatkan efek kejut tarif murah.

Bagi konsumen, paket 100 Mbps Rp100.000 adalah “tawaran” yang sulit ditolak. Bagi Surge, strategi itu mirip pola yang digunakan operator FWA di India dan Afrika yang mengandalkan kecepatan lumayan, harga sangat murah, coverage cepat, fokus pada volume. Artinya, semakin banyak pelanggan di area padat, semakin ekonomis biaya per pengguna.

Apakah model ini secara hitungan bisnis akan berkelanjutan?

Perlu diketahui, internet murah bukan sekadar soal harga jual. Ada ongkos spektrum yang harus dicicil, biaya perangkat konsumen (CPE) yang masih mahal, biaya backhaul yang tidak kecil, hingga ongkos operasional harian dari support hingga listrik di BTS.

Bahkan perusahaan raksasa dengan ekosistem besar pun berhitung keras sebelum berani memotong tarif sedalam itu.

Jika memang tarif Rp100 ribu untuk 100 Mbps ingin bertahan lama maka syaratnya skala pelanggan tumbuh sangat cepat, dan beban regulasi (terutama biaya spektrum dan perizinan) tidak naik dalam jangka pendek. Jika tidak, margin akan tertekan dan operator akan kesulitan menjaga kualitas layanan tanpa menaikkan harga.

Dalam konteks ini, langkah Surge memang progresif, tetapi juga berisiko tinggi.

Surge sepertinya berasumsi bahwa pasar akan menyambut secara masif, sehingga Average Revenue Per User (ARPU) rendah bisa ditutup oleh volume. Mereka juga bertaruh bahwa pemerintah akan konsisten dengan kebijakan “internet rakyat”, yang berarti kemungkinan ruang keringanan regulasi akan dipertahankan setidaknya hingga beberapa tahun.

Selain itu, efektivitas FWA sebagai teknologi juga memiliki batas alami. Di wilayah padat, kualitas jaringan akan turun jika penetrasi pelanggan mencapai titik jenuh.

Di wilayah rumah-rumah besar atau area suburban, sinyal bisa tidak stabil. Artinya, FWA murah bisa tumbuh cepat, tetapi mempertahankan kualitas adalah persoalan lain sama sekali.

Tanpa konsistensi kualitas, churn rate naik, dan beban akuisisi pelanggan (customer acquisition cost) menjadi tidak efisien.

Ini adalah tantangan yang bahkan operator besar pun sudah alami selama bertahun-tahun.

Sejarah industri telekomunikasi nasional untuk hal seperti ini mencatat begitu euforia mereda, konsumen kembali mengandalkan pemain besar yang memiliki capital, coverage, dan rekam jejak kualitas.

Kita pernah melihat operator baru datang membawa tarif ekstrem, tumbuh cepat, lalu stagnan ketika infrastruktur dan biaya mulai mengejar.

Sementara itu, Telkomsel, Indosat, dan XL tetap menjadi penguasa pasar karena tiga hal yang tidak mudah ditandingi yakni kestabilan jaringan, kemampuan investasi jangka panjang, dan kapasitas untuk bertahan menghadapi fluktuasi biaya industri.

Sehingga wajar jika banyak yang memandang bahwa strategi Surge adalah taruhan besar yang bisa menghasilkan dua kemungkinan ekstrem yakni menjadi penantang serius yang mengubah struktur pasar, atau berakhir sebagai warna baru yang meramaikan kompetisi tanpa menggeser dominasi pemain besar. Tantangannya bukan pada keberanian memotong tarif, melainkan pada kemampuan mempertahankan kualitas dan efisiensi biaya dalam jangka panjang.

Pada akhirnya, pasar akan menguji janji “internet murah untuk semua”. Jika struktur bisnis tidak sekuat narasi pemasaran, layanan seperti ini berisiko hanya menjadi “gelombang pendek” yang menarik perhatian namun sulit bertahan menghadapi realitas industri.

Surge sudah mulai berlari, akankah punya stamina yang cukup panjang nantinya?

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories