telkomsel halo

Mencegah spektrum sebagai sapi perah

04:00:00 | 24 Aug 2025
Mencegah spektrum sebagai sapi perah
Lelang pita frekuensi 1,4 GHz resmi dibuka. Para pemain mulai berdatangan, dari operator seluler besar hingga pemain baru.

Nama-nama seperti Telkomsel, XL Axiata, Indosat Ooredoo Hutchison, hingga Surge WiFi masuk dalam daftar perusahaan yang menyatakan minat.

Suasananya seolah mirip balai lelang seni dimana semua ingin ikut serta, mata tertuju pada label harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Bedanya, yang diperebutkan kali ini bukan lukisan atau patung, melainkan spektrum frekuensi, sumber daya publik yang sudah diamanahkan undang-undang dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) langsung mengibarkan bendera kuning. Mereka menilai harga dasar yang dipatok terlalu tinggi jika tujuan lelang ini adalah memperluas akses internet murah. Surge WiFi justru menyebut tidak khawatir, meski sadar bahwa ongkos frekuensi bisa menjadi beban besar bila tidak sepadan dengan skala bisnis yang bisa dikembangkan.

Pada lelang 2,1 GHz tahun 2021, hak penggunaan 10 MHz selama 10 tahun dihargai Rp2,93 triliun. Itu setara dengan Rp29,3 miliar per MHz per tahun. Bandingkan dengan Singapura, pada lelang 2,1 GHz tahun 2022, biaya lisensi 10 MHz untuk 15 tahun hanya Rp511 miliar, atau Rp3,4 miliar per MHz per tahun. Operator Indonesia membayar hampir sembilan kali lipat lebih mahal.

Memang, konteks pasar berbeda. Indonesia dengan 270 juta penduduk dan wilayah kepulauan jauh lebih menantang ketimbang Singapura yang kecil dan padat. Namun perbedaan skala justru seharusnya membuat biaya spektrum lebih terjangkau, agar modal operator bisa dialihkan untuk pembangunan jaringan di wilayah luas yang masih blank spot.

Dengan skema harga yang tinggi, operator harus merogoh miliaran rupiah tiap tahun hanya untuk membayar frekuensi, belum termasuk ongkos pembangunan jaringan, tower, backhaul, hingga operasional. Jika biaya ini diturunkan ke pelanggan, beban tambahan bisa mencapai Rp10.00015.000 per bulan. Angka ini signifikan, apalagi di tengah target pemerintah menyediakan paket internet murah Rp100.000 per bulan.

Bagi operator eksisting seperti Telkomsel dengan lebih dari 150 juta pelanggan, beban tambahan mungkin bisa “dibagi rata” sehingga hanya menambah sekitar Rp20.000 per tahun per pelanggan, kurang dari Rp2.000 per bulan. Namun tetap saja, tambahan biaya ini bisa mendorong kenaikan tarif data atau memperlambat ekspansi jaringan ke wilayah yang dianggap kurang menguntungkan.

Bagi pendatang baru seperti Surge WiFi, tantangannya jauh lebih berat. Tanpa basis pelanggan besar, mereka harus menggelontorkan investasi awal triliunan rupiah. Sebagai ilustrasi, untuk bersaing secara nasional, pemain baru butuh minimal 5.000 BTS tambahan di tahun pertama. Dengan biaya rata-rata sekitar Rp1 miliar per BTS (perkiraan kasar industri, termasuk tower, perangkat radio, backhaul, dan site acquisition), berarti ada investasi Rp5 triliun hanya untuk infrastruktur dasar. Ditambah biaya spektrum Rp3 triliun, kebutuhan modal di tahun pertama bisa tembus Rp8 triliun.

Di titik ini, harga dasar yang tinggi bukan hanya memberatkan operator lama, tapi juga menutup pintu bagi kompetisi baru yang seharusnya bisa membawa inovasi dan opsi layanan lebih murah bagi masyarakat.

Pemerintah tentu punya alasan mematok harga tinggi. Salah satunya, untuk memastikan hanya pemain serius yang ikut serta, sekaligus mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang menjadi target APBN. Namun logika itu berisiko keliru arah. Alih-alih mempercepat pembangunan jaringan, skema ini justru menguras napas operator, mempersempit ruang investasi, dan membuat kompetisi makin tumpul.

Bandingkan lagi dengan Singapura. Dengan biaya spektrum jauh lebih rendah, operator di sana punya ruang modal lebih besar untuk memperluas jaringan dan meningkatkan kualitas layanan. Hasilnya, penetrasi broadband lebih merata, kualitas lebih stabil, dan harga relatif terjangkau. Indonesia justru bergerak ke arah sebaliknya, beban berat di depan yang menggerus kemampuan investasi di belakang.

Pertanyaannya sederhana, apakah negara melihat spektrum hanya sebagai “sapi perah” untuk menambah PNBP, atau sebagai instrumen strategis untuk mempercepat penetrasi internet yang murah dan inklusif? Sebab di era ekonomi digital, nilai tambah terbesar bukan pada uang yang langsung masuk kas negara, melainkan pada efek berantai dari konektivitas.

Kalau paradigma ini tidak dikoreksi, Indonesia akan terus menjadi pasar internet mahal dengan kualitas yang timpang. Ekonomi digital yang dijanjikan melesat justru berisiko tersandera oleh kebijakan yang lebih sibuk menghitung setoran jangka pendek daripada merancang lompatan jangka panjang.

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories