JAKARTA (IndoTelko) - Sebagai perusahaan biofarmasi global berbasis sains, AstraZeneca senantiasa mendorong peningkatan penanganan asma di Indonesia melalui kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari regulator, fasilitas layanan kesehatan, tenaga medis hingga pasien. Kerja sama lintas sektor adalah kunci dalam menciptakan perubahan yang berdampak dan membantu lebih banyak pasien hidup tanpa serangan asma dan mencapai kualitas hidup yang lebih optimal.
Sebagai bagian dari komitmen untuk meningkatkan penanganan asma di Indonesia, AstraZeneca bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam menyelenggarakan program edukasi dan sosialisasi tata laksana asma bagi tenaga medis, pasien, dan masyarakat.
Kegiatan ini mengacu pada pedoman Global Initiative for Asthma (GINA) 2025, yang menegaskan bahwa terapi SABA tunggal tidak lagi direkomendasikan sebagai pengobatan asma, karena hanya meredakan gejala sementara tanpa mengatasi peradangan sebagai penyebab utama penyakit.
Sebagai gantinya, GINA merekomendasikan penggunaan terapi berbasis pelega antiinflamasi, yaitu kombinasi Inhaled Corticosteroid (ICS) formoterol, yang dapat meredakan gejala secepat dan seefektif SABA, sekaligus bekerja mengurangi peradangan yang mendasari munculnya gelaja asma. Sejumlah studi menunjukkan bahwa penggunaan SABA jangka panjang dapat meningkatkan risiko eksaserbasi hingga kematian. Oleh karena itu, pendekatan terapi kombinasi ICSformoterol kini direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama Asma untuk tatalaksana asma yang lebih baik.
Dikatakan Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia, Esra Erkomay, AstraZeneca berkomitmen untuk meningkatkan kualitas hidup pasien asma melalui pendekatan pengobatan yang lebih tepat dan berkelanjutan. "Kami percaya bahwa kemajuan dalam sains harus diiringi oleh kolaborasi yang kuat untuk membawa dampak nyata bagi pasien. Kami mendukung transisi ke pendekatan pengobatan asma yang lebih holistik dan berorientasi pada pencegahan dan pengendalian, agar lebih banyak pasien dapat hidup lebih sehat, aktif, dan bebas dari kekambuhan,” ujarnya.
Dalam rangka Peningkatan kapasitas teknis nakes di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama melaksanakan sosialisasi pedoman terbaru GINA, sekitar 500 dokter mengikuti seminar One Asthma Forum yang diselenggarakan oleh AstraZeneca bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan.
Sementara, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, mengatakan, Kemenkes terus mendorong penguatan layanan penanganan asma melalui upaya promotif, preventif, serta pendekatan pengobatan yang berkelanjutan, termasuk peningkatan kualitas layanan di puskesmas sebagai garda terdepan.
"Kolaborasi dengan mitra seperti AstraZeneca menjadi bagian penting dalam memperluas akses layanan asma yang komprehensif dan sesuai dengan pedoman terbaru," jelasnya.
AstraZeneca bersama Perhimpunan Dokter Paru Indonesia juga menyelenggarakan sesi edukasi bagi 400500 dokter spesialis paru. Dengan tema “Make inhaled treatments accessible for all”, kegiatan ini menekankan pentingnya penggunaan terapi inhalasi yang tepat, serta membahas risiko penggunaan SABA tunggal dan tatalaksana asma jangka panjang dan eksaserbasi sesuai GINA 2025.
Sedangkan, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Prof. Dr. dr. Anna Rozaliyani, M.Biomed., Sp.P(K) menambahkan, kolaborasi antara PDPI dan AstraZeneca merupakan langkah strategis dalam memperkuat pemahaman klinis dan mendorong implementasi penatalaksanaan asma yang lebih komprehensif sesuai pedoman global.
"Melalui edukasi yang berkelanjutan kepada tenaga medis, kami berharap pengenalan gejala, diagnosis dini, hingga pemilihan terapi—khususnya terapi yang tepat—dapat dilakukan secara lebih akurat. Dengan pendekatan yang menyeluruh ini, kualitas hidup pasien asma dapat ditingkatkan secara signifikan,” katanya.
Menurut WHO, pada tahun 2019, asma dialami oleh sekitar 262 juta orang di seluruh dunia dan menjadi penyebab sekitar 455.000 kematian. Di Indonesia, prevalensi asma yang didiagnosis oleh dokter tercatat sebesar 1,6%, dengan hampir 58,3% pasien mengalami kekambuhan dalam kurun waktu 12 bulan terakhir.
Jika tidak dikenali dan ditangani sejak dini, asma bisa berkembang menjadi kondisi yang lebih berat dan berdampak besar bahkan kematian. Meskipun hanya sebagian kecil penderita tergolong asma berat, kelompok ini menimbulkan beban terbesar dalam biaya pengobatan. Selain itu, asma berat kerap disertai penyakit penyerta yang semakin memperberat beban sistem kesehatan dan berisiko menyebabkan kematian dini.
Esra menambahkan, dengan kolaborasi lintas sektor, AstraZeneca optimis pendekatan baru dalam tata laksana asma ini dapat membantu lebih banyak pasien di Indonesia menjalani hidup yang lebih baik, aktif, dan terbebas dari serangan berulang. (mas)