telkomsel halo

XL-Axis, Akuisisi atau Sinergi?

08:07:51 | 23 Sep 2013
XL-Axis, Akuisisi atau Sinergi?
Ilustrasi (DOK)
JAKARTA (IndoTelko) – Terjawab sudah alasan alotnya diskusi tim kelompok kerja (Pokja) bentukan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dalam membuat rekomendasi teknis untuk konsolidasi XL dan Axis.

Tim ini dibentuk pada Juli lalu usai keluarnya restu secara prinsip dari Menkominfo Tifatul Sembiring  terhadap rencana konsolidasi XL-Axis.  

Tim pertama bertugas mengkaji masalah frekuensi yang dimiliki masing-masing operator. Tim kedua, mengkaji dampak persaingan usaha, apabila XL berhasil mengakuisisi Axis. Dan tim ketiga mempelajari masalah monopoli. Rencana awal, rekomendasi teknis seharusnya sudah keluar pada Agustus lalu, sekarang berubah menjadi akhir September ini.

“Soalnya ini tidak sepenuhnya akuisisi. Kalau akuisisi itu kan hak dan kewajiban diambil alih semua oleh yang mengakuisisi. Belum lagi di tim ini banyak unsur ahlinya. Jadinya, diskusi lumayan alot,” ungkap Anggota BRTI Nonot Harsono kala berbincang santai dengan IndoTelko, belum lama ini.

Dijelaskannya, hal yang terjadi sebenarnya adalah dua pemain besar di Malaysia yakni Axiata dan Maxis, yang kebetulan memiliki saham di XL dan Axis tengah menetapkan strategi untuk membesarkan bisnisnya di Indonesia.

“Keduanya (Axiata dan Maxis) ingin bersinergi memperkuat pasar di Indonesia. Jadi, ini lebih mirip strategi pemasaran dengan memanfaatkan frekuensi. Pasalnya, XL dengan kepemilikan frekuensi sekarang, itu susah bersaing di masa depan,” katanya.

Sekadar diketahui, komposisi kepemilikan XL Axiata adalah  sebesar 66,5% dikuasai  Axiata Group Berhad atau Axiata, sisa sahamnya dimiliki oleh publik sebesar (33.451%).

Sementara Saudi Telcom Company (STC) perusahaan operator telekomunikasi besar yang bebasis di Arab Saudi memiliki saham Axis sebesar (80.1%), kemudian disusul oleh   operator terbesar di Malaysia yaitu Maxis Communications Berhad sebesar (14.9%).

Axis diprediksi memiliki nilai pasar sekitar US$ 1 miliar. Saham STC  diperkirakan bernilai US$ 880 juta  atau setara Rp 8,6 triliun. Kabar beredar menyatakan STC ingin melepas sahamnya di Axis karena beranggapan ruang pertumbuhan di pasar seluler Indonesia sempit mengingat terlalu banyak pemain.  

Menurut Nonot, jika hal itu yang terjadi maka perlu rebalancing total kepemilikan frekuensi tidak bisa terpisah-pisah dengan hanya melihat alokasi di 2,1 GHz dan 1.800 MHz.

“Tak bisa misalnya, XL-Axis kembalikan satu blok 2,1 GHz saja. Harus dilihat rencana bisnis dan kebutuhan. Belum lagi pertimbangan kondisi pemain lainnya agar tidak terjadi penumpukan di satu pemain,” jelasnya.

Sekadar catatan, saat ini pangsa pasar XL untuk layanan 2G dan 3G sekitar 16%, Telkomsel ( 45%),Indosat (21%),  Tri ( 13%), dan Axis (5%). Total pengguna kartu seluler tahun ini mencapai 312,5 juta pengguna.

Komposisi kepemilikan frekuensi XL sendiri saat ini adalah 15 MHz atau setara tiga blok (8, 9, dan 10) di spektrum 2,1 GHz untuk layanan 3G. Sedangkan untuk 2G, XL juga punya di 1.800 Mhz dan 900 MHz, masing-masing 7,5 MHz.

Sementara Axis menduduki dua blok 3G di 2,1 GHz, yakni blok 11 dan 12. Sementara untuk 1.800 MHz memiliki lebar pita 15 MHz.Lebih lanjut dinilainya, fenomena yang terjadi antara XL dan Axis adalah terdapat pemain yang mulai melempar handuk dari kompetisi seluler yang keras di Indonesia.

“Saya sarankan kalau seperti ini baiknya penyelenggara jaringan yang sudah tidak kuat mengembalikan frekuensi ke pemerintah dan fokus jadi pemain jasa saja. Ini bisa mendorong konsolidasi menjadi cepat,” pungkasnya.

Sebelumnya, President Director XL Axiata Hasnul Suhaimi menegaskan dalam mengakuisisi Axis tidak semata hanya mengincar frekuensi tetapi semua yang ada di dalam operator tersebut.

“Ibarat orang mau menikah, semua yang ada kita terima. Mulai dari  brand, karyawan, pelanggan, dan frekuensi. Nanti brand akan kita kelola disesuaikan dengan segmen,” kata Hasnul.

Sedangkan masalah frekuensi, diharapkan Hasnul, setelah dikembalikan ke pemerintah, berikutnya dialokasikan kembali utuh ke entitas baru.  “Pelanggan kami butuh frekuensi dan investasi juga banyak mengeluarkan anggaran," ungkapnya.

Kabar beredar mengatakan  Conditional Sales Purchase Agreement (CSPA) antara XL dengan Saudi STC tengah menggantung karena masih menunggu keluarnya detail teknis hasil kajian dari Pokja bentukan Kemenkominfo ini.(id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year