telkomsel halo

Krisis Spektrum Bayangi Mobile Broadband Indonesia

17:30:26 | 14 Jan 2013
Krisis Spektrum Bayangi Mobile Broadband Indonesia
Ilustrasi (Dok)
JAKARTA (indotelko) – Perkembangan mobile broadband di Indonesia sedang menghadapi bahaya laten yakni krisis ketersediaan spektrum.

“Mobile broadband menjadi andalan untuk meningkatkan penetrasi internet di Indonesia. Masalahnya, ada bahaya laten yang harus bisa diatasi yakni krisis spektrum,” ungkap  Dirjen SDPPI yang juga Wakl Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Muhammad Budi Setiawan kala menjadi pembicara di seminar National Broadband Economy, belum lama ini.

Diungkapkannya, cepatnya kondisi krisis spektrum untuk mobile broadband tak bisa dilepaskan dari   peningkatan penggunaan perangkat pintar seperti komputer tablet dan smartphone yang  menuntut pemakaian frekuensi radio sebagai elemen pokok yang menghubungkan setiap perangkat gadget.

“Kondisi ini sebenarnya juga terjadi di luar negeri. Di Inggris dan Amerika Serikat untuk mobile broadband butuh tambahan  bandwidth sebesar 500 MHz pada tahun 2020. Australia  memperkirakan kebutuhan bandwidth tambahan sebesar 150 MHz di 2015, dan tambahan 150 MHz lagi pada tahun 2020, dari alokasi yang kini tersedia, sebesar 800 MHz,” ungkapnya.

Sedangkan situasi di Indonesia sekarang hanya memiliki sekitar 425 MHz bandwidth efektif dimana distribusinya tak seimbang dan munculnya radio komersial layanan broadcasting yang menyebabkan berkurangnya sumberdaya frekuensi untuk broadband.

“Belum lagi kondisi alokasi yang tidak berdampingan di  1.800 MHz dan 2.1 GHz sehingga kurang optimal penggunaanya,” katanya.
Perbaikan

Dikatakannya, untuk mengatasi kekurangan spektrum pemerintah tengah melakukan perbaikan manajemen frekuensi yang  akan membantu meningkatkan teknik pemakaian bersama (spectrum sharing) dan pendayagunaan frekuensi  yang belum dimanfaatkan (unused frequency).

Selanjutnya akan dilakukan peralihan model manajemen spektrum  dari pengalokasian dan pengawasan secara tradisional menjadi non tradisional berdasarkan pendekatan pasar, unlicensed, dan pemakaian bersama (sharing).

Hal yang dikaji adalah penerapan spectrum sharing, infrastructure sharing, spectrum swap, spectrum aggregate, dan spectrum leasing.
Berikutnya, mengimplementasikan spectrum Refarming berupa migrasi penyiaran analog ke digital terrestrial, Digital Dividend, dan lainnya.   

Selain itu juga mengadopsi  teknologi baru seperti Cognitive Radio Systems, Femtocell, dan level Access. “Tentunya jangan dilupakan netralitas layanan dan teknologi,” katanya.

Lebih lanjut dikatakannya, tantangan lain dalam pengembangan frekuensi di Indonesia adalah masalah pendanaan. Misalnya, jika dilakukan relokasi tentu harus ada disiapkan dana untuk kompensasi.  

“Masalahnya hanya 6% dari Rp 10 triliun biaya izin spectrum tahunan yang digunakandi sector ICT. Padahal, hampir  90% biaya itu berasal dari frekuensi seluler,” katanya.

Sebelumnya, berdasarkan laporan  Komisi Broadband Dunia untuk September 2012 penetrasi mobile broadband Indonesia berada di peringkat 41 dunia.

IDC memperkirakan Mobile broadband akan menjadi kunci utama utilisasi Teknologi Informasi Komunikasi (TIK)  dibanding fixed broadband dengan pertumbuhan rata-rata tahunan (CAGR) 55% hingga 2016.

Pada 2012 pangsa pasar jasa mobile broadband mencapai US$ 650 juta atau setara Rp 6.25 triliun dengan 31 juta pelanggan yang tumbuh 80% dari tahun lalu.

Menkominfo Tifatul Sembiring sendiri telah  menargetkan  penetrasi broadband di Indonesia bisa menyentuh 100% populasi penduduk pada 2015.(id)  

 

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year