Minggu ini, saya menghadiri Artificial Intelligence (AI) Action Summit di Paris. Sejak 2018, Prancis telah menetapkan AI sebagai strategi nasional yang penting dan mencurahkan sumber daya utama untuk lembaga penelitian AI, pengembangan talenta, dan infrastruktur, serta menciptakan ekosistem yang inovatif bagi startup AI.
Visi strategis pemerintahan Presiden Emmanuel Macron terlihat jelas ketika para ahli teknologi dan pemimpin bisnis dari seluruh dunia berkumpul di Prancis untuk mengumumkan investasi senilai ratusan miliar euro di bidang AI dan investasi infrastruktur terkait.
Di tengah euforia terhadap peluang Eropa dalam perkembangan AI yang pesat, saya ditanya tentang bagaimana Alibaba Group melihat masa depan AI. Pertanyaan ini membutuhkan konteks yang lebih luas.
Dalam satu bulan terakhir, lonjakan popularitas DeepSeek secara tiba-tiba telah menarik perhatian dan imajinasi banyak orang.
Perusahaan China yang sebelumnya kurang dikenal ini meluncurkan model open-source dan menerbitkan serangkaian tulisan yang merinci inovasi teknologinya. Tulisannya menunjukkan bahwa pelatihan dan inferensi large-language models dapat dicapai dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pendekatan brute-force training.
Hingga saat ini, perhatian publik lebih banyak terfokus pada siapa yang dapat mengembangkan model frontier paling cerdas. Setiap kali model baru diluncurkan, selalu ada perbandingan tolok ukur yang mengukur kemampuan dalam matematika, pengkodean, penalaran, dan lainnya.
Namun, persaingan semacam ini hanya bisa diikuti bagi segelintir perusahaan yang memiliki sumber daya sangat besar, masing-masing menginvestasikan US$ 60 miliar-US$ 80 miliar per tahun untuk infrastruktur komputasi.
Jika diibaratkan dalam kehidupan manusia, melatih model frontier serupa dengan proses panjang mendidik anak, dibutuhkan lebih dari 25 tahun, banyak buku, dan guru untuk menghasilkan seorang ahli bergelar pascasarjana.
Bayangkan jika persaingan AI berfokus pada pengembangan anak-anak paling cerdas, dan hanya segelintir orang tua kaya yang mampu membiayai anak-anak mereka agar bisa memenangkan Hadiah Nobel. Lalu, bagaimana dengan yang lainnya?
“Momen DeepSeek” memicu kepanikan, baik di industri kami maupun di pasar keuangan. Bagi saya, perkembangan dalam beberapa bulan terakhir ini memiliki dua implikasi penting.
Pertama, kita perlu meninjau kembali tujuan pengembangan AI. Persaingan AI bukan lagi tentang siapa yang memiliki “anak” tercerdas. Inovasi dalam pelatihan dan operasional model secara lebih efisien menunjukkan bahwa nilai dari membuat AI yang “paling cerdas” tanpa penerapan nyata pada akhirnya tidak bisa memberikan nilai tambah.
Kedepannya, para developer akan lebih berfokus pada aplikasi dunia nyata yang memberikan dampak ekonomi. Hal ini akan mempercepat pertumbuhan model dan agen AI yang bersifat spesifik untuk tugas tertentu dan dirancang sebagai spesialis.
Mengapa? Karena hukum ekonomi menyatakan bahwa investasi akan mengikuti aplikasi komersial yang dapat memberikan keuntungan lebih . Hukum ekonomi juga akan mengubah pendekatan terhadap “scaling law” - prinsip yang menyatakan bahwa semakin besar data pelatihan dan parameter model, serta semakin tinggi kebutuhan akan daya komputasi yang mengonsumsi lebih banyak GPU dan energi, maka kecerdasan model akan semakin meningkat.
Kedua, model open-source akan mendorong demokratisasi AI. Keunggulan dari open-source adalah siapa pun dapat menerapkan model AI pada infrastruktur pilihan mereka, baik di pusat data maupun di komputer pribadi. Hasilnya, perusahaan-perusahaan kecil dapat mengakses model frontier open-source dan mengembangkan aplikasi yang bermanfaat di atasnya.
Aplikasi AI berbasis model dengan parameter yang lebih kecil akan berkembang pesat, menjadikan AI lebih mudah diakses oleh lebih banyak orang. Sebagai contoh, dalam bisnis e-commerce, asisten belanja cerdas yang memahami kebutuhan pelanggan tidak memerlukan model dengan satu triliun parameter, sebagaimana asisten toko, manusia dapat memiliki kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi tanpa harus memiliki gelar PhD dalam matematika atau fisika.
Dua implikasi ini membawa saya pada kesimpulan bahwa, jika diibaratkan dalam dunia pendidikan, mendidik anak-anak yang dapat memenangkan Hadiah Nobel akan menjadi kurang relevan dalam persaingan AI dibandingkan dengan membina individu yang produktif dan bermanfaat bagi orang sekitarnya.
Mengapa kita harus terobsesi dengan siapa yang dapat menciptakan model AI paling cerdas, sementara hanya sedikit orang yang tahu atau peduli siapa individu dengan IQ (intelligence quotient) tertinggi di dunia? Pada akhirnya, Scaling law harus mengikuti hukum ekonomi. Investasi akan mengalir ke perusahaan yang mampu berinovasi dengan biaya lebih rendah dalam pelatihan dan penerapan AI.
Ke depannya, para wirausahawan dan perusahaan akan mulai berfokus pada model AI spesialis yang mendorong dampak ekonomi, serta memiliki nilai guna dan efisiensi tinggi. Ini merupakan perkembangan positif bagi inovasi, karena menurunkan biaya dan meningkatkan aksesibilitas AI akan memungkinkan lebih banyak perusahaan dan developer untuk berpartisipasi dalam perkembangan AI. Selain itu, lebih banyak konsumen yang akan memperoleh manfaat dari meluasnya aplikasi yang bermanfaat dan inovatif.
Ditulis oleh
oleh Joe Tsai, Co-Founder, Chairman Alibaba Group