telkomsel halo

BRTI Bubar, PP Postelsiar beri wewenang dominan Kominfo

11:02:00 | 25 Mar 2021
BRTI Bubar, PP Postelsiar beri wewenang dominan Kominfo
Menara BTS (Ilustrasi)
JAKARTA (IndoTelko) – Dibubarkannya Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2020 menyebabkan wewenang Kementerian Komunikasi dan Informatika sangat dominan. Hal tersebut dikhawatirkan mantan Anggota BRTI Kamilov Sagala bisa menimbulkan moral hazard bagi pejabat kementerian tersebut.

“Jika Kominfo sebagai regulator juga mendapuk tugas sebagai pengawas, ibaratnya seperti jeruk makan jeruk. Kalau tidak ada pengawas, maka wasit pun bisa menjadi pemain,” ujar Kamilov saat menjadi pembicara webinar ‘Menuju Kompetisi yang Sehat di Industri ICT Pasca PP Postelsiar’ yang diadakan IndoTelko Forum, Rabu (24/3/2021).

Hal tersebut disampaikan Kamilov menanggapi Pasal 57 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) yang terbit Februari lalu. Pasal itu memberikan wewenang persetujuan pengalihan hak penggunaan spektrum frekuensi radio ada di tangan Menkominfo.

“Pengawasan pemanfaatan frekuensi ini siapa yang melakukan setelah tidak ada BRTI? Dengan tidak adanya BRTI, Kominfo sebagai penguasa tunggal tidak bisa otoriter. Menurut saya, kita perlu bangun BRTI bayangan yang berisi multistakeholder. Karena kalau tidak, Kominfo bisa jemawa dengan wewenangnya itu,” kata pria yang juga menjabat Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI).

Perlunya dilibatkan pihak lain dalam proses pengalihan frekuensi di industri telekomunikasi juga diamini Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi.

"Sebaiknya ada lembaga lain yang perlu ikut dalam memberikan pertimbangan atau evaluasi atas pengajuan izin pengalihan frekuensi itu. Kalau dulu ada BRTI sekarang bisa melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)," kata Heru.

Kamilov Sagala menambahkan, kini frekuensi di industri telekomunikasi ibarat aset yang bisa dialihkan alias diperjualbelikan.

“Perusahaan tanpa aset seperti mobil tanpa bensin, tidak bisa bergerak. Jadi KPPU perlu masuk bila ada rencana pengalihan aset atau frekuensi melalui merger," ujarnya.

Guntur Syahputra Saragih, Wakil Ketua KPPU menjelaskan proses penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham perusahaan dapat menyebabkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Sebab aksi korporasi tersebut bisa meningkatkan penguasaan pangsa pasar serta aset yang bisa mengubah peta persaingan usaha.

Atas dasar itulah, KPPU pada 6 Oktober 2020 lalu mengeluarkan pedoman mengenai penilaian terhadap merger dan akuisisi. Pedoman tersebut menjelaskan lebih lengkap atas transaksi-transaksi yang wajib dilaporkan, penghitungan threshold untuk kewajiban notifikasi yang lebih mendalam, penjelasan terkait penyampaian notifikasi melalui mekanisme penilaian sederhana, dan penjelasan atas penilaian aset.

“Nah frekuensi ini masuk kategori aset atau tidak sedang kami kaji. Walaupun frekuensi ini masuk kategori intangible asset (aset tak berwujud), tetapi kalau nilainya lebih dari Rp 250 miliar maka akan jadi penilaian bagi kami dalam menerima atau menolak merger tersebut,” ujar Guntur.

Ia menambahkan, yang menjadi persoalan adalah Undang-Undang Persaingan Usaha mewajibkan badan hukum yang melakukan merger untuk melaporkan hal tersebut setelah merger terjadi (post-merger), bukan sebelum merger (pre-merger). Sehingga KPPU tidak bisa memberikan rekomendasi terlebih dahulu kepada Menkominfo dalam menyetujui atau menolak permohonan merger untuk pengalihan hak frekuensi. (gpj)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year