JAKARTA (IndoTelko) - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) diketahui telah mengeluarkan putusan akhir terkait gugatan yang dilakukan PT Internux terhadap Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terkait penggunaan frekuensi 2,3 GHz.
Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakpus, dinyatakan pada Kamis (16/2) lalu telah dikeluarkan putusan akhir yang isinya:
Mengabulkan Gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa tindakan TERGUGAT telah melanggar Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi karena lalai dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pemenang seleksi pita frekuensi 2.3 GHz yang tidak melakukan penyelenggaraan jaringan (tidak roll out), sehingga PENGGUGAT tidak dapat melakukan layanan jasa nasional.
Menyatakan bahwa tindakan TERGUGAT telah melanggar Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi karena lalai mengizinkan adanya kegiatan monopoli yang beroperasi secara nasional oleh pengguna pita frekuensi radio 1.9 GHz yang direalokasi ke pita frekuensi 2.3 GHz tanpa melalui proses seleksi dan lelang.
Menyatakan bahwa TERGUGAT telah melanggar Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi karena lalai menjamin kepastian hukum dengan mengizinkan pengguna pita frekuensi radio 1.9 GHz yang direalokasi ke pita frekuensi radio 2.3 GHz beroperasi secara langsung tanpa melalui proses lelang.
Menghukum TERGUGAT untuk memberikan izin penggunaan frekuensi selebar 30 MHz pada pita frekuensi radio 2.3 GHz dengan cakupan skala Nasional kepada PENGGUGAT.
Menghukum TERGUGAT agar memberikan izin kepada PENGGUGAT untuk menyediakan layanan suara, penomeran dan kode akses, serta dapat melakukan layanan secara nasional maupun internasional.
Menghukum TERGUGAT agar mengizinkan PENGGUGAT selaku pemegang izin yang sah atas izin Penyelenggara Jaringan Tetap Lokal berbasis Packet Switched yang menggunakan pita frekuensi radio 2.3 GHz berdasarkan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika No.237/KEP/M.KOMINFO /07/2009 tertanggal 27 Juli 2009 untuk melakukan kerjasama dan/atau penggabungan frekuensi dengan operator lain berdasarkan kesepakatan agar dapat beroperasi dengan rentang pita frekuensi 30 MHz.
Asal tahu saja, pemindahan Smartfren dari frekuensi 1900 MHz ke frekuensi 2,3 GHz terjadi pada 2014. Kala itu industri Halo-halo nasional memang sempat heboh.
Banyak pihak berpandangan frekuensi tidak boleh dialihfungsikan kepada pihak lain. Semestinya diserahkan dulu ke negara, lalu ditender ulang.
Kominfo kala itu memindahkan Smartfren dari frekuensi 1900 MHz ke 2,3 GHz. Salah satu alasannya adalah terjadinya gangguan sinyal (interferensi) perangkat radio Smartfren terhadap operator 3G global system for mobile communication (GSM) yang beroperasi pada frekuensi 1800 Mhz. (
Baca:
Frekuensi Smartfren)
Hasil migrasi ini Smartfren yang hanya memiliki spektrum selebar 7,5 MHz pada frekuensi 1900 MHz, mendapat jatah spektrum selebar 30 MHz setelah pindah ke frekuensi 2,3 GHz.
Padahal, jika dilakukan lelang kala itu ada potensi pendapatan bagi negara. Potensi pendapatan bisnis telekomunikasi di frekuensi 2,3 GHz di Jabotabek sekitar Rp 8-10 triliun dan se-Indonesia bisa mencapai Rp 15 triliun lebih.
Sedangkan penerimaan negara dari lisensi broadband wireless access (BWA) yang dipegang 5 operator di frekuensi 2,3 GHz plus biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi selama empat tahun beroperasi mencapai sekitar Rp 2,63 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk nilai penyesuaian BHP yang terjadi karena ada perubahan menjadi teknologi netral.
Pada tender lisensi Broadband Wireless Access (BWA) yang digelar pada 2009, Kominfo membagi wilayah Indonesia menjadi 15 zona. Masing-masing zona ada dua operator yang memegang lisensi BWA. Masing-masing operator akan mendapat jatah spektrum selebar 15 MHz.
Total spektrum yang diberikan kepada seluruh operator BWA hanya 30 MHz. Itu berarti masih tersisa spektrum selebar 60 MHz plus 10 MHz sebagai guardband.
Pemegang lisensi BWA ada delapan perusahaan, yakni PT Internux satu lisensi BWA, PT First Media Tbk (2 lisensi BWA), PT Berca Hardaya Perkasa (14), PT Indosat Mega Media/IM2 (1), PT Jasnita Telekomindo (1), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/Telkom (5), Konsorsium Wimax Indonesia/KWI (3), Konsorsium PT Comtronics System, dan PT Adiwarta Perdania/CSAP (3).
Dalam perjalanannya, tiga pemegang lisensi BWA terakhir, yakni Telkom, KWI, dan CSAP mengundurkan diri dan menyerahkan kembali lisensi BWA kepada pemerintah.
Internux sendiri dalam menggelar layanan BWA bekerjasama dengan First Media mengusung merek Bolt! (
Baca: Kerjasama First Media dan Internux)
Hal yang menarik dari keluarnya putusan ini adalah bagaimana nasib tender frekuensi 2,3 GHz yang akan mulai dibuka pada semester I 2017 ini. (
Baca:
Syarat Tender Frekuensi 2,3 GHz)
"Kami belum dapat salinan putusan selengkapnya. Pastinya kami akan banding," tegas Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna kepada IndoTelko dalam pesan singkatnya, Selasa (7/3).
Ditegaskannya, rencana seleksi untuk tambahan frekuensi di 2,3 GHz tetap berjalan kecuali ada amar putusan yang menyatakan bahwa segala kegiatan yang terkait dengan pengalokasian 2,3 GHz wajib ditunda sampai dengan adanya putusan berkekuatan hukum tetap. "Ini kan gugatan perdata, jadi bisa banding," pungkasnya.(dn)