telkomsel halo

4G dan godaan perang tarif

11:49:44 | 22 May 2016
4G dan godaan perang tarif
Pelanggan mengganti kartu 4G di pusat layanan operator (dok)
Tak terasa Indonesia telah menjalani era 4G di frekuensi 1.800 Mhz selama enam bulan sejak diluncurkan oleh operator seluler berbasis teknologi GSM pada kuartal terakhir 2015.

Operator yang bermain di 4G mengandalkan frekuensi 1.800 MHz adalah Telkomsel, Indosat Ooredoo, Tri Indonesia, dan XL Axiata. Keempat operator ini menguasai sekitar 95% pangsa pasar seluler di Indonesia.

Tak ayal, walau Smartfren dan Bolt lebih awal melansir 4G LTE, peluncuran layanan milik empat operator penguasa pasar yang paling ditunggu masyarakat.

Dalam ajang diskusi yang digelar Indonesia LTE Community dengan tema "4G LTE: Unfinished Business" awal pekan lalu terungkap awareness masyarakat terhadap layanan 4G lumayan tinggi.

Sayangnya, awareness belum diikuti dengan akuisisi yang agresif oleh pelanggan. Hal itu terlihat dari data yang diungkap Menkominfo Rudiantara dalam sesi diskusi tersebut yang menyatakan lebih dari 20 juta smartphone 4G tercatat di jaringan semua operator, namun hanya sebagian yang benar-benar memilih layanan internet cepat tersebut dengan mengganti kartu USim (kartu 4G).

Lambannya adopsi 4G menjadikan teknologi ini belum berdampak ke kinerja dari operator di kuartal pertama 2016. Alhasil, operator masih mengoptimalkan mesin pendapatan dari layanan 2G dan 3G.

Hal itu terlihat dari paket bundling layanan 2G, 3G, dan 4G yang ditawarkan operator ke pelanggan, dimana fitur suara dan SMS masih dijadikan sebagai salah satu pemikat. (Baca juga: ekosistem 4G)

Dalam diskusi tersebut, Rudiantara sempat melontarkan akan menurunkan biaya interkoneksi sekitar 20%. Dus, jika ini benar terjadi, dikhawatirkan perang tarif akan kencang dan layanan 4G bisa berubah menjadi pelengkap saja dalam paket bundling sepanjang 2016. (Baca juga: Penurunan biaya interkoneksi)

Kenapa demikian? Kondisi riil di masyarakat adalah yang dibutuhkan layanan yang murah untuk berkomunikasi. Saat ini 2G masih diandalkan untuk panggilan suara dan SMS. Memainkan tarif di 2G adalah jalan singkat untuk menjaga kondisi keuangan operator tetap positif ketimbang susah payah membangun ekosistem 4G. (Baca juga: Susahnya jualan 4G)  

Seandainya asumsi ini benar terjadi, maka akan terulang kisah kegagalan teknologi 3G di Indonesia. Setelah itu jangan kaget, jika ada permintaan dari industri seluler agar Indonesia cepat-cepat mengadopsi 5G sebagai bahan story telling untuk mencari pendanaan baru ke investor.

@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year