Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan operator seluler kabarnya telah membentuk satuan tugas (satgas) untuk merumuskan formulasi insentif guna mengakselerasi teknologi 5G di Indonesia.
Formula yang dicari adalah menyeimbangkan antara isu teknis, teknologi, dan keuangan. Sektor keuangan terkait dengan Penerimaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari frekuensi 5G yang akan digunakan.
Seperti diketahui, operator memasukkan pembayaran PNBP frekuensi dalam catatan keuangan sebagai regulatory charges. Sekarang ini besaran regulatory charges angka secara industri di 11%-12% dari pendapatan perusahaan, angka ini bertambah jika ada tambahan frekuensi yang dikelola menjadi 14%-15%.
Operator berharap jika industri telekomunikasi bisa tetap bertahan dan berkelanjutan, maka regulatory charge harus disesuaikan dengan kondisi saat ini yakni di bawah 10% dari pendapatan perusahaan.
Wacana meminta insentif ini sepertinya tak terlepas dari langkah Kominfo yang tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Penggunaan Spektrum Radio pada Pita Frekuensi 700 MHz dan 26 GHz.
Sebagai informasi, pita frekuensi 700 MHz sebelumnya dipakai untuk penyiaran. Namun dengan rampungnya analog switch off (ASO) telah menghasilkan digital dividen sebesar 112 MHz, di mana 90 MHz untuk keperluan layanan telekomunikasi.
Spektrum yang disebut "frekuensi emas" ini memiliki kelebihan dalam memberikan coverage layanan seluler 4G maupun 5G yang lebih luas, sehingga sesuai untuk pemerataan akses internet kecepatan tinggi di daerah-daerah rural yang belum terjangkau jaringan telekomunikasi.
Sedangkan pita frekuensi 26 GHz saat ini masih dalam kondisi idle, sehingga sudah dapat digunakan untuk layanan mobile broadband.
Spektrum ini merupakan salah satu pita yang memiliki kapasitas yang sangat besar dan cocok dengan implementasi teknologi 5G dimana pada use case tertentu membutuhkan kecepatan internet yang sangat tinggi dengan latensi yang sangat rendah.
Adanya spektrum tambahan ini akan menghadirkan dua kali lipat dari total pasokan spektrum frekuensi saat ini.
Dalam catatan, penerapan jaringan 5G baru dimulai dan saat ini baru mencapai 15% dari total populasi. Ketidakseimbangan ini diperparah oleh kurangnya spektrum frekuensi saat ini, terutama pada pita tengah (1-7 GHz) untuk memberikan layanan internet seluler berkecepatan tinggi di daerah perkotaan yang padat penduduk, dan pita rendah (di bawah 1 GHz) untuk meningkatkan konektivitas yang lebih baik dan terjangkau di daerah pedesaan.
Laporan terbaru dari asosiasi industri seluler global, GSMA, mengungkapkan rencana untuk mendorong transformasi digital bisa terhambat, kecuali dilakukan peninjauan kembali terhadap penetapan harga spektrum seluler 5G.
Analisis GSMA tersebut memperkirakan, dalam skenario paling buruk, sekitar sepertiga dari manfaat sosioekonomi 5G, atau sekitar Rp216 triliun, bisa hilang dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2024-2030 jika harga pita spektrum baru masih mengikuti harga lama.
Laporan yang diluncurkan dengan judul "Biaya Spektrum Berkelanjutan untuk Memperkuat Ekonomi Digital Indonesia", menunjukkan bahwa sejak tahun 2010, perkiraan biaya total spektrum tahunan bagi operator seluler telah meningkat lebih dari lima kali lipat di Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh biaya yang berkaitan dengan pelelangan dan biaya spektrum frekuensi yang terkait dengan perpanjangan perizinan.
Sebaliknya, pertumbuhan pendapatan industri tidak seiring dengan pendapatan rata-rata per pengguna layanan seluler di mana terjadi penurunan sebesar 48% selama periode yang sama (dalam USD). Selain itu, biaya spektrum frekuensi yang disesuaikan setiap tahunnya terus meningkat dikarenakan inflasi.
GSMA menilai biaya yang berkaitan dengan spektrum frekuensi di Indonesia kini sudah tinggi. Rasio biaya spektrum frekuensi tahunan dibandingkan dengan pendapatan seluler di Indonesia saat ini berada pada 12,2%, sementara rasio rata-rata di kawasan Asia Pasifik dan global masing-masing hanya sebesar 8,7% dan 7,0%.
Dengan pasokan spektrum frekuensi yang akan berkembang secara signifikan di Indonesia, analisis GSMA menunjukkan bahwa pengurangan harga satuan spektrum frekuensi sangat penting dilakukan guna menghindari total biaya yang melonjak.
Jika tidak, operator akan kesulitan melakukan investasi yang signifikan dalam pengembangan 5G. Kesulitan ini akan berdampak buruk seperti penyebaran jaringan yang lebih lambat, pengalaman seluler konsumen yang kurang baik, dan hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi yang yang hadir dari aplikasi-aplikasi yangmenggunakan teknologi 5G terbaru.
GSMA memberikan tiga rekomendasi menjelang lelang spektrum frekuensi 5G yakni mengurangi harga tawar minimum spektrum, peninjauan kembali biaya tahunan spektrum, dan membuat rencana spektrum yang mendukung perkembangan masa depan.
Meminta insentif untuk mengakses frekuensi dengan harga terjangkau adalah hal yang wajar dilakukan pelaku usaha. Namun, frekuensi adalah sumber daya alam terbatas yang pengelolaanya harus memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada warga negara.
Menyeimbangkan dua kebutuhan ini pekerjaan yang berat harus dijalankan pemerintah.
@IndoTelko