telkomsel halo

Menkominfo dituding diskriminatif terhadap BUMN Telekomunikasi

12:43:34 | 24 Sep 2016
Menkominfo dituding diskriminatif terhadap BUMN Telekomunikasi
Seorang demonstran anti revisi biaya interkoneksi dan network sharing (dok)
JAKARTA (IndoTelko) - Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis (FSP BUMN Strategis) menilai Menkominfo Rudiantara buang badan dan diskriminatif dalam membuat regulasi telekomunikasi di Indonesia.

Tudingan Menkominfo melalui Kepala Humasnya bahwa Ketua FSP BUMN Strategis salah alamat dalam menilai dirinya mengabaikan komitmen dengan DPR-RI dalam pembuatan regulasi network sharing yang merugikan BUMN Telekomunikasi, dan menyebutkan bahwa itu tanggung jawab Menko Perekonomian, semakin mempertegas carut marutnya pengaturan industri telekomunikasi di Indonesia.

“Agak ironis kalau penilaian itu dianggap salah alamat, karena obyek yang menjadi masalah adalah mengenai industri telekomunikasi, mengapa harus lempar tanggung jawab kepada Menko Perekonomian?. Siapa lagi yang bertanggung jawab terhadap masalah tersebut, ya Kementerian Teknis dong," tegas Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (24/9).
 
Menurutnya, alasan Kementerian Kominfo bahwa pembahasan usulan perubahan Peraturan Pemerintah (PP) 52 dan PP 53 tentang Network Sharing tersebut di bawah koordinasi Menko Perekonomian mungkin ada benarnya. Namun prosesnya menjadi agak aneh mengapa Menko Perekonomian yang bergerak,  bukankah proses pembuatan atau perubahan Peraturan Pemerintah lazimnya berasal dari Departemen/Kementerian teknis.

“Barangkali benar informasi yang kami terima bahwa usulan Revisi PP 52 tahun 2000 dan PP 53 Tahun 2000 awalnya diajukan secara diam-diam oleh Menteri Kominfo sebagai inisiator  ke Presiden tanpa melewati kementerian terkait sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014.  Menko Perekonomian Darmin Nasution  ini khan baru dilibatkan setelah draft Perubahan PP tersebut dikembalikan oleh Presiden," duga Wisnu.

Mengutip pemberitaan beberapa waktu lalu bahwa draft perubahan PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang harusnya dikonsultasikan dengan DPR terlebih dahulu tersebut memuat ketentuan baru mengenai Network Sharing. (Baca : Kisruh Network Sharing)

"Jika kebijakan ini jadi dilaksanakan maka tiap operator telekomunikasi di Indonesia wajib membagi networknya kepada operator lain yang notabene menjadi kompetitornya. Model network sharing yang bersifat wajib ini belum dikenal sama sekali dalam UU Nomor 36 Tahun 1999. Makanya kami akan menyiapkan  Permohonan Judicial Review ke MA jika Perubahan PP itu terbit nanti," ancam Wisnu. (Baca: Gaduh Network Sharing)

Analogi
Lebih lanjut ditambahkannya, terkait regulasi Network sharing ini, bila dianalogikan dengan bisnis penerbangan, network sharing itu sama saja misalnya Lion Air yang punya armada banyak diwajibkan oleh regulator membagi seat-nya untuk mengangkut penumpang airline lain yang menjadi pesaingnya. Padahal infrastruktur atau alat produksi adalah keunggulan utama bisnis. Aset itulah yang menjadi modal sebuah perusahaan untuk bersaing di arena bisnis yang kompetitif.

"Kami rasa Menkominfo sekarang ini sangat tidak kreatif dalam menyehatkan industri telekomunikasi. Coba lihat di lapangan, hampir tidak ada isu apapun yang terkait dengan penetrasi maupun layanan ke konsumen. BUMN Telekomunikasi sudah berbisnis on the track dengan jangkauan layanan semakin luas, tidak pernah terpancing untuk menerapkan predatory pricing  untuk membuat persaingan jadi kurang sehat, senantiasa membangun jaringan dan melakukan modernisasi teknologi, kok  akan diobok-obok dengan regulasi network sharing dan tarif interkoneksi dari Kementerian Kominfo ini. Padahal kalau mau lebih kreatif dan berani, harusnya Kementerian Komunikasi dan Informatika ini bisa mencari pendapatan negara yang lebih besar hasilnya, bukan dengan mengeluarkan regulasi yang berpotensi menurunkan pendapatan BUMN. Misalnya memaksa Google untuk membuka Kantor tetap di Indonesia sehingga omset iklan digitalnya yang triliunan pertahun itu bisa dikenakan pajak," saran Wisnu.

Diingatkannya, operator telekomunikasi di Indonesia saat ini sudah sangat terpukul atas kehadiran pemain baru yang disebut Over The Top (OTT). Pendapatan telepon Voice dan SMS terus anjlok dari tahun ke tahun akibat adanya aplikasi Over The Top. Semua Operator mengalami hal itu, sehingga mestinya para operator bersatu menghadapi invasi OTT dan Pemerintah memback-up dengan kebijakan-kebijakan yang pro Operator Indonesia. Namun dengan kebijakan yang timpang seperti network sharing dan penetapan tarif interkoneksi yang merugikan salah satu operator dan menguntungkan operator lainnya, malah membuat  kegaduhan  yang seharusnya tidak perlu terjadi. (Baca: Numpang Jaringan)

Pembiaran Over The Top (OTT) ini, salah satu indikasinya adalah begitu lamanya proses pengambilan masukan dari masyarakat setelah dikeluarkannya Surat Edaran nomor  3 Tahun 2016 tanggal 31 Maret 2016 yang intinya menerangkan bahwa Kementerian Kominfo akan menerbitkan Peraturan Menteri yang mengatur OTT. (Baca: Berburu Pajak Google)

"Kesan diskriminatif terlihat disini. Untuk revisi PP 52 Tahun 2000 dan PP 53 Tahun 2000 Kominfo main petak umpet tanpa pengambilan masukan dari masyarakat dan draftnya langsung sampai ke Presiden padahal isinya berpotensi merugikan BUMN, sementara untuk Peraturan Menteri tentang OTT walau sudah lebih dari 6 bulan Menkominfo mengeluarkan surat edaran belum juga memutuskan, sehingga saat Menteri Keuangan memburu pajak Google , Menkominfo terkesan tergopoh-gopoh dan hanya bisa  menghimbau Google untuk  membayar pajak.  Menkominfo kita ini terkesan lembut ke asing tapi galak ke BUMN,” sindirnya.(id)

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year