telkomsel halo

Revisi PP telekomunikasi dan frekuensi dianggap cacat moral

13:17:06 | 01 Jul 2016
Revisi PP telekomunikasi dan frekuensi dianggap cacat moral
Teknisi di salah satu BTS. Perubahan PP No 53/2000 tentang Telekomunikasi memungkinkan adanya berbagi penggunaan frekuensi (dok)
JAKARTA (IndoTelko) – Revisi Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan telekomunikasi (PP 52 tahun 2000)  dan PP 53 tahun 2000 tentang  frekuensi dan orbit satelit dianggap cacat moral sehingga tak layak ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

“Di bulan Ramadan ini kebenaran diperlihatkan dengan pernyataan mengambang dari Menkominfo Rudiantara tentang proses penyerapan aspirasi publik dalam menyusun revisi kedua PP itu. Ketidaktahuan Bapak Rudiantara tentang tak terlibatnya Telkom Group dalam penyusunan  revisi kedua PP tersebut semakin menegaskan ada agenda tersembunyi dari revisi tersebut. Bagi saya ini sudah cacat moral dan tak layak disahkan oleh Presiden,” tegas Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala di Jakarta, Jumat (1/7).

Menurutnya, tak dilibatkannya Telkom Group dalam revisi kedua aturan yang akan mengubah wajah bisnis  sektor telekomunikasi itu meninggalkan tanda tanya besar. “Tahun lalu nilai bisnis sektor telekomunikasi sekitar Rp 170 triliun. Telkom Group itu menguasai nyaris 50% pangsa pasar. Kok tak dilibatkan? Ini ada apa? Saya melihat ini ada upaya mengerdilkan Telkom Group,” katanya. (Baca juga: Telkomsel tak dilibatkan dalam revisi PP frekuensi)

Dipaparkannya, dari berbagai data yang dihimpunnya, revisi aturan tentang frekuensi memang akan membuka model bisnis berbagi jaringan. “Kacaunya ada pasal yang tak secara langsung memaksa operator untuk berbagi infrastruktur. Kabarnya ada pasal yang berbunyi jika ada operator terkendala untuk membangun di suatu daerah, pemain eksisting wajib membagi jaringannya dengan operator yang terkendala tersebut. Jika pasal ini benar adanya, baiknya Pak Rudiantara buka-bukaan saja draft itu ke publik. Kita buktikan kebenaran, jangan menjadi gosip jalanan,” sesalnya.

Disarankannya, jika proses tak transparan dalam penyusunan revisi kedua PP itu berlanjut, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus melakukan investigasi ke Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengingat ada potensi  pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang hilang karena revisi aturan. “Ini ada yang dirugikan ada yang diuntungkan. Jadi, mirip-mirip reklamasi Teluk Jakarta nih barang kalau KPK cermat melihat kasus ini,” usulnya.

Diungkapkannya, jika mengacu Undang-undang No 36 tentang Telekomunikasi jelas tentang tata cara penyelenggaraan jaringan membutuhkan izin yang diatur dengan keputusan menteri. Kalau penggunaan frekuensi diserahkan pada business to business, (B2B), ada potensi kerugian. (Baca juga: Rudiantara tentang revisi dua PP)

Pasal 30 dari PP No 53/2000 menyatakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi bagi penggunaan bersama pita frekuensi dibebankan secara penuh kepada masing-masing pengguna. Nah, masalahnya muncul jika kemudian frekuensi ini digunakan bersama.

"Kalau network sharing ada operator A numpang ke B di suatu tempat dan sebaliknya di tempat lain. Blok frekuensi yang digunakan bisa menjadi milik A ditambah B, sehingga blok yang digunakan lebih besar, sementara biaya hak penggunaan (BHP) tetap," ungkapnya.

Sementara Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi melihat alerginya Telkom Group terhadap berbagi jaringan bukan masalah ketakutan kehilangan dominasi di pasar, tetapi lebih kepada fairness.

“Sebagai penyelenggara jaringan yang lisensinya sama, tentunya membangun jaringan nasional yang tentu setiap perusahaan butuh modal besar. Disini letak fairness-nya. Networks sharing akan menghilangkan equal treatment operator,” katanya.

Diusulkannya, jika memang pemain lain ingin berbagi jaringan dilihat saja dari 18 ribu pulau di Indonesia, dimana ada 13 ribu pulau berpenghuni, dan mana yang belum terlayani sinyal seluler. (Baca juga: Network sharing untuk asing)

“Bagian yang belum ada sinyal, mau gak itu bangun bareng semua.  Waktu saya dulu di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia saya mencatat Indosat dan XL selalu mundur kalau disuruh membangun di daerah perbatasan. Jadi selalu Telkomsel yang disuruh membangun, padahal seharusnya di situlah bisa sharing bukan di kota-kota yang sudah established,” tegasnya.(id)

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year