telkomsel halo

20 Tahun Lintas Teknologi Indonesia

Muhamad Paisol: Buah konsistensi customer driven strategy

10:45:00 | 02 Aug 2021
Muhamad Paisol: Buah konsistensi customer driven strategy
Muhamad Paisol
JAKARTA (IndoTelko) – PT Lintas Teknologi Indonesia (LTI) bukanlah nama yang asing di telinga pelaku industri Information and Communication Technology (ICT) di Indonesia. Selama 20 tahun perusahaan tersebut beroperasi, lima operator telekomunikasi dan ratusan perusahaan nasional lainnya telah menjadi pelanggan setia Lintas Group sebagai System Integrator (SI) terkuat dan terdepan di Tanah Air.

Beragam cerita sukses perusahaan yang bermarkas di Jakarta Selatan dalam membangun jaringan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia, tidak bisa lepas dari sosok Muhamad Paisol yang menjabat sebagai President Director, PT Lintas Teknologi Indonesia (LTI).

IndoTelko mendapat kesempatan untuk mewawancarai pria yang telah menekuni karier di bidang ICT selama 27 tahun tersebut secara daring, beberapa waktu lalu.

Pria berkacamata yang mengawali kariernya di AT&T, salah satu raksasa telekomunikasi dunia itu tidak sungkan berbagi strategi bisnis Customer Driven yang konsisten dijalankan Lintas Teknologi Indonesia, sehingga bisa terus berkembang sampai sekarang. Termasuk kebijakannya menjadikan karyawan sebagai aset penting dan berharga bagi perusahaan. Berikut nukilannya:

Bisa diceritakan awal mula Anda mendirikan Lintas Teknologi Indonesia (LTI)?
PT. Lintas Teknologi Indonesia (LTI) berdiri tepatnya 7 Agustus 2001 yang lalu. Sebelum itu, headquarter Lucent Technologies Inc, tempat saya bekerja memutuskan bahwa bisnis mereka di Indonesia akan dikelola dari Singapura. Keputusan itu karena dilatar belakangi sejak Mei 1998, Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan.
Bahkan sampai memasuki tahun 2000 pun, krisis ekonomi di Indonesia tidak juga membaik. Akhirnya diputuskan kalau Lucent ciao dulu dari Indonesia, dan kami yang berada di manajemen dipindahkan bekerja di Singapura.

Sejak itu beberapa Senior Leader termasuk saya, yang terakhir menjabat sebagai Marketing Director Lucent Technologies Inc, berpikir bahwa Indonesia ini sebenarnya memiliki peluang yang bagus di bisnis telekomunikasi. Karena waktu itu penetrasinya masih kecil ke semua orang di Indonesia, artinya telekomunikasi ini masih memiliki potensi growth yang besar.
Meskipun harus diakui bahwa saat itu ekonomi Indonesia belum begitu bagus, ditambah lagi operator telekomunikasi belum punya capital expenditure (capex) yang besar untuk belanja, namun kami meyakini potensinya sangatlah besar.

Akhirnya kami usulkan untuk mendirikan local company, yang meng-handle penjualan produk Lucent di Indonesia. Tapi saat itu Lucent belum pernah ada skema bisnis seperti yang kami inginkan. Selama ini semua bisnis Lucent di setiap negara direct dikelola langsung oleh mereka, dan model bisnis dengan cara menggandeng local partner belum ada.

Sampai kemudian akhirnya usulan tersebut disetujui, menjadikan PT. Lintas Teknologi Indonesia sebagai satu-satunya distributor Lucent di dunia. Kami menjadi sole distributor Lucent yang pertama, tidak ada di negara lain dengan syarat kami hanya boleh menjual produk-produknya Lucent Technologies.

Saat itu status Anda masih sebagai karyawan?
Pada saat dikeluarkannya izin distributor itu, kami keluar dari Lucent dan mulai setup perusahaan yang diberi nama Lintas Teknologi Indonesia, similar dengan nama Lucent Technologies Indonesia agar konsumen tidak bingung.

Di awal 2000-an itu, apa saja spesialisasi produk Lucent yang banyak dicari dan dibutuhkan konsumen di Indonesia?
Sebagai sole distributor, LTI boleh menjual semua produknya. Waktu itu yang besar dan dibeli masih berhubungan dengan telephonic, kami menjual teknologi digital switching dan digital gateaway. Selain itu operator telekomunikasi yang sudah established di Indonesia hanya ada Telkom untuk layanan domestic dan untuk layanan internasional ada Indosat, hanya ada dua operator saja. dan kami juga memasarkan produk transport optical.

Seberapa besar pengalaman kerja di Lucent dan perusahaan telekomunikasi multinasional lainnya membantu Anda dalam mengembangkan LTI?
Perusahaan tempat saya bekerja sangat memberikan kesempatan belajar yang besar bagi karyawannya, baik secara teknikal dan juga pengembangan skill lainnya melalui training. Saya masuk AT&T tahun 1993, lalu di tahun 1996 mereka melebur menjadi Lucent karena di Amerika Serikat negara asalnya tidak boleh monopoli. Selama bekerja di AT&T dan Lucent saya mendapatkan berbagai kesempatan mengikuti training dan transfer knowledge yang bermanfaat sekali untuk mengembangkan Lintas saat awal berdiri.

Saya dan teman-teman menduplikasi apa yang ada di Lucent. Bahkan, hampir 95% karyawan Lintas itu dari Lucent Technology Indonesia. Jadi LTI ini bisa dibilang local company rasa Mutinational company.

Kalau tadi Anda bilang peluang bisnis telekomunikasi di Indonesia masih sangat besar, apa sebenarnya visi dan misi Lintas Teknologi Indonesia (LTI) saat didirikan?
Kami berpikir, misi kami waktu itu adalah ingin Lintas ini menjadi local company yang bisa berkembang dengan market yang besar. Sebagai leading SI(System Integrator) company di Indonesia. Kami meyakini bahwa kami harus bisa men-deliver permintaan customer dengan baik, istilahnya true user experience, dan ini yang terjadi. Lucent memberikan training kepada kami sebagai tim Indonesia dengan pengalaman kerja internasional, sehingga bisa dipastikan semua kebutuhan customer bisa di-manage dengan baik oleh tim LTI. Kami ingin membangun kesan, bahwa standard service Lucent juga bisa disediakan oleh Lintas sehingga berbisnis dengan kami atau Lucent itu sama saja.

Bahkan dengan hadirnya Lintas di Indonesia dengan pengalaman mumpuni dari sumber dayanya, kami bisa lebih mendengarkan kebutuhan customer. Layanan purna jual dan sebagainya ditangani langsung di Indonesia, sehingga proses pelayanannya menjadi jauh lebih cepat. Kalau dulu sebelum ada Lintas, setiap ada kebutuhan pelanggan kami harus report dulu ke pusat. Sementara dengan local company ini semua kecepatan respons layanan bisa kita manage sendiri.

Mampu bertahan selama 20 tahun beroperasi tentu bukan waktu yang sebentar bagi sebuah perusahaan. Apa saja milestone Lintas Teknologi Indonesia (LTI) yang menurut Anda sangat membanggakan? Lalu sejak kapan LTI mulai menjual produk dari brand teknologi lain?
Dalam 3 tahun pertama Lintas, kami masih fokus dalam memasarkan produk Lucent. Kemudian yang menjadi trigger agar kami mampu menyediakan teknologi dari brand lain adalah tantangan dari customer. Ada customer yang menanyakan, kenapa Lintas hanya menjual product Lucent saja? Padahal terbuka kesempatan untuk menjual brand lain. Akhirnya hal itu yang membuat kami mulai mengembangkan bisnis untuk dapat menjual solusi selain Lucent.

Waktu itu pihak Lucent memberikan persyaratan, asalkan produknya tidak head to head dengan mereka. Tidak lama setelah itu, saya kemudian berhasil menjual sistem First Delivery Attempt (FDA) ke operator di Indonesia.

Waktu itu masih zamannya short message service (SMS). Tetapi teknologinya belum canggih. Orang saat mengirimkan SMS, pesannya mengendap dulu di operator baru dikirimkan. Jadi tidak secara real time terkirim ke penerima. Waktu itu di luar negri sudah ada teknologinya, dan teman-teman operator Satelindo yang kemudian merger menjadi Indosat meminta LTI untuk mengajukan teknologi ini.

FDA itu akhirnya digunakan Indosat dan IM3-nya pada tahun 2004-2005, dan LTI menjadi partner mereka dalam penggunaan FDA yang merupakan salah satu kesuksesan besar bagi kami. Karena kita bisa mempercepat pengiriman SMS dalam hitungan detik, sementara yang lain masih harus menunggu pesannya 1-2 jam baru dikirimkan.

Sebelum ada teknologi SMS, kalau kita ingat dulu ada gadget namanya pager untuk mengirimkan pesan. Lewat pager, penggunanya hanya bisa mendapatkan nomor operator untuk dihubungi apabila mau mengetahui isi pesan dari pengirim. Lalu datang lah SMS ini yang digunakan oleh telepon berbasis CDMA maupun GSM. SMS memungkinkan kita mengetik pesan selain melakukan panggilan telepon secara direct yang pada saat itu merupakan suatu improvement. Ditambah lagi dengan adanya FDA yang kami tawarkan, itu sebuah lompatan yang besar. Dalam 2 tahun itu, FDA sangatlah berhasil. Setelah Indosat, kami kemudian menjualnya ke XL dan Bakrie Telecom. Jadi ada 3 operator yang menggunakan produk FDA kami.

Saya merasa cita-cita awal Lintas menjadi leading SI company yang berhasil, tak hanya di bidang ICT Namun juga memberikan pelayanan optical Network dan IP Network. Satu-satunya SI company di Indonesia yang punya kemampuan kombinasi itu cuma Lintas. Di Indonesia saingannya masih sedikit dan kami leading. Pesaingnya kebanyakan adalah perusahaan dari Multinational company.

Selain FDA, apalagi kontribusi Lintas sehingga bisa membantu masyarakat Indonesia dari sisi telekomunikasi?
Tentunya ada beberapa produk teknologi baru, yang terakhir ini mau saya highlight yaitu CloudX dari Telkomsel. CloudX ini persis seperti Google Meet, Zoom dan atau aplikasi telekomunikasi lainnya yang banyak digunakan saat ini.

Sebulan sebelum pandemi COVID-19 di bulan Maret 2020 lalu, kami sudah menjual paket lengkap di dalamnya ada access meeting. Waktu itu Telkomsel butuh buat jual ke enterprise, berbentuk layanan virtual untuk kantor-kantor dan ada access meeting-nya.

Lalu mulai lah pandemi yang membuat orang banyak kerja dari rumah. Sehingga membutuhkan fasilitas dan sarana. Kemudian booming-lah pemakaian Zoom. Kemudian Telkomsel aware kalau kami bisa memberikan solusi access meeting yang bisa jadi compliment produk gratisan seperti Zoom tadi. Karena ini produk yang sudah ada di Telkomsel, diambilah feature ini. Lalu mulai dari sinilah kami bekerja sama dengan Telkomsel dan mulai memasarkan CloudX ini.

Apa strategi bisnis Anda sehingga mampu membuat Lintas Teknologi Indonesia (LTI) bisa bertahan dan terus berkembang selama 20 tahun terakhir?
Dalam teknik marketing ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk masuk ke market. Pertama adalah product driven, artinya kita yang punya produk dan kita setengahnya ‘memaksa’ menawarkan produk itu agar dibeli orang dengan menjanjikan beragam keuntungan walaupun kadang tidak dibutuhkan.

Namun, Lintas memilih membesarkan bisnis SI ini dengan strategi customer driven. Kami mendengarkan terlebih dahulu cerita konsumen tentang rencana ke depan mereka. Misalnya yang terbaru terkait jaringan 5G, operator yang menyediakannya tidak memulai diskusi dalam waktu 3-4 bulan yang lalu. Namun mempersiapkannya dalam jangka waktu 4-5 tahun ke belakang.
Dimulai dari berdiskusi dengan customer, mencari principal dan produk terbaik yang sesuai dengan keinginan customer, lalu menawarkannya ke customer. Dengan mengedepankan customer driven strategy, kami ingin Lintas menjadi bagian dari plan bisnis mereka. Karena kebutuhan dan keinginan customer itulah yang menjadi penggerak kami, karena kami selalu mencoba untuk memenuhi apa yang mereka butuhkan.

Dalam bisnis telekomunikasi, teknologi yang digunakan tentu berkembang dengan cepat. Bagaimana cara Anda memastikan SDM Lintas bisa menguasai tren teknologi terbaru?
Pertama, kita tentu harus bisa meyakinkan tim sendiri bahwa mereka punya kemampuan untuk men-deliver teknologi baru itu. Partner-partner produk teknologi tentu membutuhkan engineer kami di lapangan. Oleh karena itu sebelum mengimplementasikan penjualan suatu produk, kami mensyaratkan agar partner tersebut bersedia melakukan transfer knowledge ke tim Lintas. Sehingga semua engineer kami siap ketika saatnya implementasi produk kepada pelanggan.

Biasanya saya kalau mau pasarkan produk baru, di awal membuat perjanjian dengan principal, saya meminta teknisi Lintas sebagai pendamping diberikan on the job training. Sehingga nanti saat implementasi yang kedua dan seterusnya bukan principal yang di depan, namun engineer kami sudah siap karena sudah di-training. Setiap datang teknologi baru, engineer diberikan training dan sertifikasi dari principal. Tujuannya tentu agar engineer bisa keep up.

Bisa dikatakan Anda menilai SDM perusahaan merupakan ujung tombak pelayanan Lintas?
Dengan menjadikan karyawan sebagai aset yang sangat berharga bagi perusahaan, membuat kami memiliki kemampuan untuk melihat bahwa suatu tim sudah punya kemampuan atau tidak untuk men-deliver sesuatu. Kalau belum, kami berikan on job training.

Bahkan kami punya budget khusus per individu per tahun untuk pengembangan kemampuan karyawan. Misalkan karyawan menilai kemampuan Bahasa Inggrisnya masih kurang, maka karyawan tersebut bisa menggunakan budget itu untuk kursus dan mengembangkan kemampuannya. Setiap tahun ada alokasi budget khusus untuk pengembangan diri.
Lintas Teknologi Indonesia (LTI)  sangat tergantung kepada mereka. Kalau kemampuan Karyawan kurang mumpuni, dan tidak bisa memberikan pelayanan yang terbaik ke konsumen tentu yang rugi perusahaan juga. Karena konsumen bisa pindah ke tempat lain.

Terkait 5G yang tadi sempat Anda singgung, apa kontribusi Lintas Teknologi Indonesia (LTI)  dalam implementasinya di tengah kondisi akses internet di Indonesia yang belum merata?
Pemerintah Indonesia sebagai pemegang kebijakan penyediaan sarana telekomunikasi, memberikan obligasi kepada operator untuk membangun jaringan internet ke daerah pelosok. Sehingga mereka tidak hanya membangun di Jawa dan kota-kota besar yang relatif sudah bagus jaringan internetnya. Namun di level kecamatan di seluruh Indonesia diobligasikan pemerintah agar tersedia jaringan internet.

Lalu apa yang Lintas bisa kontribusikan dari sisi tersebut? Salah satunya adalah pada 5 atau 6 tahun lalu, ada operator menggelar proyek kabel optik bawah laut. Ketika itu kami turut bekerja sama dan cukup besar proyeknya di Timur Indonesia. Melalui kabel bawah laut itu, maka Sulawesi, Maluku, dan Papua itu bisa terhubung.

Kami implementasi pembangunan proyek kabel bawah laut dan sebagainya untuk menghubungkan internet antar pulau. Lalu bagaimana dengan internet di daerah rural? Kami berikan solusi yang lebih kompak dan murah sehingga bisa diimplementasikan di daerah yang diinginkan dengan harga jual produk lebih murah dan bisa menjangkau daerah-daerah yang belum terjangkau internet.

Anda sudah berkarier selama 27 tahun di bidang teknologi, apa kiatnya sehingga tidak mudah jenuh?
Saya suka teknologi, dan saya suka hal-hal yang baru. Saya bersyukur punya kesempatan setiap tahun datang ke event besar Mobile World Congress (MWC). Di sana teknologi baru, maupun yang prototipe-nya tampil di event tersebut. Dari situ saya bisa memahami tren teknologi baru dan apa yang akan banyak dibutuhkan di masa depan. Karena rasa ingin tahu saya terjawabkan, dan saya mendapatkan informasi tentang produk dan teknologi terkini yang saya suka. Mungkin itu yang membuat saya stay di industri yang lompatannya cepat dan tinggi sekali ini.

Kita tentu bisa membayangkan bagaimana pesatnya kemajuan teknologi, dibandingkan saat Alexander Graham Bell menemukan telepon yang kini bertambah fungsinya menjadi smartphone. Lalu Steve Jobs saat pertama kali menciptakan iPhone pakai touch screen sebelumnya keypad belum pakai touch screen. Maka jadilah smartphone seperti sekarang ini dengan aplikasi yg canggih di dalamnya. Intinya dalam bekerja itu harus ada passion, ada rasa cintanya sehingga tidak bosan.

Setelah seharian sibuk dengan urusan kantor, hobi apa yang Anda lakukan saat weekend?
Olah raga yang juga menjadi hobi saya adalah golf. Karena bagi saya, golf ini menunjang 2 hal. Pertama, olahraganya tidak terlalu berat. Karena pemainnya bisa sambil jalan menyusuri lapangan golf, bisa bertemu teman-teman dan tertawa bareng, melihat yang hijau-hijau.

Lalu golf ini punya filosofi melatih ketenangan melawan diri sendiri. Karena tidak seperti bulu tangkis atau tenis yang ada lawannya, golf ini yang harus kita kalahkan adalah diri sendiri saat hendak memukul bola. Kalau kita tidak tenang maka permainan pun jadi tidak bagus. Hobi yang lainnya menemani istri jalan pagi. Kami berdua sering hunting lokasi jalan pagi. Caranya dengan pergi ke suatu tempat yang menarik, parkir mobil lalu jalan kaki bareng. Selama dalam perjalanan itu, saya menikmati menghabiskan waktu bersama istri.(gp)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year