telkomsel halo

Rupiah Kian Tenggelam, Pil Penenang dari Menkominfo Sekadar Wacana

13:03:08 | 08 Sep 2015
Rupiah Kian Tenggelam, Pil Penenang dari Menkominfo Sekadar Wacana
Teknisi tengah melakukan pemeriksaan BTS (dok)
JAKARTA (IndoTelko) – Terus terdepresiasinya nilai tukar rupiah membuat pelaku usaha di sektor telekomunikasi perlu mewaspadainya untuk jangka panjang.

Menkominfo Rudiantara diharapkan mengeluarkan paket kebijakan yang bisa menjadi penenang bagi industri dan mengambil aksi yang kongkrit ketimbang terus berwacana di media massa.

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah mengalami pelemahan 93,7 poin, atau setara 0,66%  menjadi Rp 14.266 per dolar AS pada penutupan perdagangan Senin. Bahkan, level penutupan kemarin, rupiah nyaris mendekati Rp 14.300 per dolar AS dengan pergerakan sepanjang hari berada di kisaran Rp 14.214 - Rp 14.297 per dolar AS.

Rudiantara dalam sebuah diskusi di Kantornya, Senin (7/9) terlihat masih berwacana untuk menenangkan pelaku usaha karena ide yang dilontarkan seperti lagu lama di kaset kusut dalam menghadapi pergolakan rupiah terhadap dollar AS.

Setidaknya ada tiga langkah penting yang harus dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan para operator telekomunikasi,” kata Pria yang akrab disapa RA itu membuka diskusi kemarin.

Pertama, pentingnya pembangunan berkelanjutan (suistanable) industri telekomunikasi di Tanah Air. Dia menjelaskan, layanan teknologi 4G bukan hanya menjadi perhatian pemerintah tetapi juga harus menjadi perhatian semua pihak terkait bagaimana posisi ICT di Indonesia dapat meningkat.

Kedua, dalam memasuki era data maka efisiensi harus dilakukan. Ketiga, RA meminta setiap perusahaan-perusahaan telekomunikasi memperhatikan balance sheet dalam kinerja laporan keuangannya.

Tentunya tiga resep yang diberikan Menteri ini bukan Pil manjur untuk operator telekomunikasi. Jika pun ada sinyal pertolongan dari Menkominfo adalah soal kewajiban bertransaksi dalam rupiah dimana dirinya telah melakukan pertemuan dengan menteri koordinator perekonomian dan Bank Indonesia  untuk membahas aturan kewajiban menggunakan rupiah dalam setiap transaksi di dalam negeri baik secara tunai maupun non tunai per 1 Juli 2015.

Aturan tersebut diatur dalam Surat Edaran BI (SEBI) No.17/11/DKSP tentang kewajiban penggunaan rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun, untuk urusan biaya lindung nilai (hedging) ini pun belum ada keputusan yang memuaskan dari Menkominfo sehingga membuat operator tenang.

RA hanya berwacana agar biaya hedging tak dibebankan kepada para pelanggan berbagai operator dan perusahaan TI tidak dibebankan biaya hedging yang tinggi.

"Katakanlah kalau US$ 2 miliar setahun maka setelah dihitung-hitung biaya hedging bisa mencapai US$ 80 juta - US$ 100 juta karena di Indonesia belum memiliki pasar hedging yang kuat. Artinya ada biaya tambahan bagi industri, siapa yang akan menanggungnya. Vendor operator sendiri tidak mau dibebankan biaya tambahan tersebut, demikian juga pihak operator yang mungkin mau menanggung tapi diteruskan untuk membebaninya kepada pelanggan," katanya.

Solusi yang ditawarkan RA adalah apabila biaya hedging dilakukan di negara produsen dengan memperhatikan mengenai biaya pengangkutannya dan siapa yang akan diuntungkan dari pajaknya. Menurutnya, kedua opsi tersebut sebenarnya tidak menguntungkan bagi Indonesia.

"Kalaupun bisa menggunakan valas yang penting industri telekomunikasi di Indonesia bergerak di bidang sektor strategis. Jadi sementara kita gunakan terlebih dahulu kedua opsi itu nanti kita berikan rekomendasi kepada operator atau vendor ke BI selama masih dalam perencanaannya," ulasnya.

Jangka Panjang
Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Alexander Rusli mengungkapkan dampak dari gejolak rupiah akan terasa mulai tahun depan.

“Kalau sampai akhir tahun ini tak terasa, daya beli konsumen ke telekomunikasi masih tinggi. Selain itu belanja modal kita sudah lama tetapkan. Tahun depan mulai terasa karena dollar AS menemukan titik keseimbangan baru,” jelasnya.

Pria yang juga menjabat sebagai CEO Indosat ini menambahkan, umumnya operator di Indonesia menganggarkan capex antara 28% hingga 30% dari revenue sebelumnya. Ditengah kondisi seperti ini, guidline anggaran tersebut masih tetap di-maintain oleh para operator untuk capex tahun depan.

Hal lain yang diwanti-wantinya adalah di sisi pemain perangkat ke konsumen dimana Rupiah yang melemah membuat harga handset naik dan hal ini masih diperparah oleh melemahnya daya beli.

"Kalau harga handset naik lalu daya belinya turun, nah, ini bisa membuat migrasi dari feature phone ke smartphone menjadi lebih lambat," pungkas Alex.

Direktur Eksekutif ECONIT Advisory Group Hendri Saparini mengungkapkan, keinginan orang melakukan kegiatan di sektor telekomunikasi sangat tinggi. Hanya saja kini perlahan turut melambat juga. Ia menjelaskan, sebelumnya pertumbuhan di industri telekomunikasi mencapai 10%, sekarang turun di kisaran 9%.

Menurut Hendri, Pemerintah perlu melakukan upaya jangka panjang, serta strategi untuk menyiasati kondisi sekarang. "Jadi jangan hanya mengendalikan rupiah, tapi ada juga upaya mengendalikan permintaan," tutupnya.(id)

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year