telkomsel halo

Rugi Terus, Ini Saran BRTI ke CDMA

17:47:18 | 11 Jan 2013
Rugi Terus, Ini Saran BRTI ke CDMA
SmartFren, salah satu pengguna Teknologi CDMA (DOK
JAKARTA (indotelko) – Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ternyata masih menaruh perhatian terhadap nasib dari operator yang menggunakan teknologi Code Division Multiple Access (CDMA).

Kinerja dari operator berbasis CDMA tidak begitu menggembirakan hingga semester I-2012, dimana kerugian seperti enggan terbang dari mereka menjadikan regulator mengeluarkan saran yang layak dipertimbangkan oleh para pemain.

“Lima operator yang menggunakan teknologi CDMA kondisi keuangannya tidak sehat. Kita sarankan mereka konsolidasi, setelah itu bertempur lagi dengan teknologi baru yakni Long Term Evolution (LTE),” ungkap Anggota Komite BRTI M. Ridwan Effendi di Jakarta kala menjadi pembicara di diskusi “Dimana Rumah untuk LTE” belum lama ini.

Untuk diketahui, Indonesia memiliki lima operator yang menggunakan teknologi CDMA yakni Telkom Flexi dari PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL), PT Smartfren Telecom Tbk (FREN), PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI), dan StarOne dari Indosat.

Kelima operator ini menguasai sekitar 15% pangsa pasar jasa telekomunikasi dengan jumlah pelanggan sekitar 21 juta nomor.

BTEL mengalami rugi  selama semester I-2012 sebesar Rp 725.138 miliar  atau melesat  303,5% dari  periode sama 2011 sebesar  Rp 179.692 miliar.

FREN juga  mengalami kerugian hingga semester I-2012   sebesar  Rp 674.417 miliar  atau naik 3,9%  dibandingkan periode sama 2011 rugi sebesar Rp  648.689 miliar.

Sedangkan Flexi untuk semester pertama 2012 pendapatannya  mengalami penurunan sekitar  2.7% dibandingkan periode sama 2011 atau hanya sebesar  Rp 8.9 miliar.

MVNO
Resep yang diberikan Ridwan adalah operator CDMA menjadi pemain Mobile Virtual Network Operator (MVNO) dengan menggunakan frekuensi yang dikelola oleh satu pemain.

“Syaratnya, kembalikan satu kanal dari frekuensi yang dimiliki masing-masing pemain ke negara. Setelah itu bersepakat menunjuk satu operator untuk mengelola frekuensi yang dikembalikan itu. Nah, yang menjadi pengelola frekuensinya menjadi penyelenggara jaringan, pihak yang menyewa menawarkan jasa MVNO,” katanya.

Menurutnya, secara aturan MVNO sudah bisa dijalankan di Indonesia karena ada KM 21/2001 tentang penyelenggaraan jasa telekomunikasi.

Hal yang menjadi kendala adalah di kepemilikan frekuensi karena ada PP 53/2000 tentang penggunaan frekuensi radio dan orbit satelit. “Karena itu kita usul dikembalikan dulu ke negara dan tunjuk satu perusahaan baru untuk mengelola,” katanya.

Masih menurutnya, konsolidasi ini jalan keluar yang harus dipilih para pemain CDMA karena masa depan ada di bisnis data dengan teknologi Long Term Evolution (LTE). Pasalnya, jika ditotal dari blok  frekuensi operator, khususnya di 800 MHz   ada 20 MHz beserta guard band-nya.  

“Semua pemain tak ada yang ideal menjalankan LTE, karena itu kita sarankan konsolidasi ini. Sampai kapan mau berdarah-darah keuangannya,” katanya.
Selain  menjalankan MVNO dengan menggunakan frekuensi bersama,  BRTI juga tidak menutup kemungkinan para pemain CDMA  melakukan merger akuisisi, meskipun dari sisi teknis regulasi belum ada aturan yang spesifik tentang penggabungan unit usaha tersebut.

“Aturannya  belum ada saat ini. Kita juga ingin memberikan kepastian hukum ke pelaku usaha. Jangan sampai terjadi masalah seperti kasus IM2 di 3G yang dituding melakukan penggelapan atau korupsi uang negara karena menggunakan frekuensi induk perusahannya, Indosat,” tegasnya.
 
Masih Bertahan
Sebelumnya, Deputi Commerce Flexi Suparwianto mengungkapkan, agar bisa tumbuh jasa Flexi mengandalkan  True Broadband.

Untuk mencapai  hal itu beberapa tantangan harus diselesaikan yakni  mengantisipasi  tren pertumbuhan permintaan smartphone, tren multigadget, potensi pengguna internet yang besar sebab penetrasi broadband masih kecil, serta ekosistem CDMA yang kurang kompetitif.

Dijelaskannya, ekosistem CDMA kurang kompetitif, sebab chip dan LCD untuk handset CDMA yang disediakan operator harus mendapatkan lisensi Qualcomm. Sementara di GSM, tidak ada lisensi royalti sehingga operator GSM dapat menggunakan spesifikasi LCD yang murah.

“Perangkat  CDMA kurang kompetitif sehingga perlu usaha lebih dari operator terutama inovasi dan juga konten agar  bersifat value for money,” keluhnya.

Deputy Chief Operating Officer (CEO) Produk & Strategi  Richard Tan mengatakan untuk meningkatkan penetrasi perseroan mengandalkan bundling produk dan meningkatkan produksi per BTS agar bisa memberikan pendapatan.

“Kami juga mengembangkan Wifi Offload.  Pasalnya menunggu Long Term Evolution (LTE) rasanya masih lama di Indonesia,” jelasnya.

EVP Devices & BWA Product Bakrie Telecom, Satyadev Sarvaiya menyatakan, perseroan mencoba mengakali keterbatasan frekuensi yang dimiliki dengan menggandeng STI. “Tantangan di CDMA itu menyelenggarakan data membutuhkan frekuensi minimal 12.5 MHz. Sekarang hanya memiliki 5 MHz, jauh dari ideal.  Kita menunggu kebijakan pemerintah terkait LTE nantinya,” katanya.(id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories
Data Center Service Provider of the year