telkomsel halo

Perang opini makin kencang, Kominfo diminta fokus pada aturan interkoneksi

12:13:16 | 13 Sep 2016
Perang opini makin kencang, Kominfo diminta fokus pada aturan interkoneksi
Demonstran menolak revisi biaya interkoneksi (dok)
JAKARTA (IndoTelko)  - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) diminta untuk taat pada aturan main dalam revisi biaya interkoneksi agar kegaduhan tak berlanjut dan adanya kepastian hukum bagi semua pelaku usaha.

"Baiknya Kominfo dan BRTI ikut aturan main yang ada soal revisi biaya interkoneksi. Larut dan ikut pula dalam gendang opini yang beredar di media massa justru menambah kegaduhan. Fokus saja pada tugas yakni membina, mengawasi, dan melindungi pelaku usaha serta menegakkan aturan," tegas Presiden Mahasiswa BEM Kema Telkom University Muhammad Ghazali Suwardi di Jakarta, Selasa (13/9).

Dipaparkannya, jika melihat Pasal 25 UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib untuk menyediakan (apabila diminta) dan berhak untuk mendapatkan interkoneksi.

Kondisi saat ini, seluruh operator (penyedia layanan teleponi dasar) telah saling berinterkoneksi satu sama lain. Bertahun-tahun tidak pernah terdengar ada operator yang menghambat atau terhambat dalam pelaksanaan interkoneksi.

Artinya, jika ada yang berpendapat  tujuan penurunan biaya interkoneksi untuk menghilangkan hambatan dalam pelaksanaan interkoneksi, jelas tidak tepat.

Dalam pasal tersebut justru terdapat prinsip dasar dalam berinterkoneksi yang tidak boleh dilanggar, yaitu: tidak saling merugikan. Karena pada hakikatnya, biaya interkoneksi merupakan jaminan terhadap pengembalian investasi operator. Itu jelas disebutkan dalam Pasal 16 UU 36/1999. Ketentuan mengenai interkoneksi diatur lebih lanjut dalam Bagian IV-VII PP 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.

Pasal 22 dan 23 PP tersebut mensyaratkan: kesepakatan interkoneksi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak saling merugikan, dan biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.

Selanjutnya dalam Pasal 37 PP tersebut dijelaskan bahwa besaran biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan formula, dan penetapan formula berdasarkan biaya (cost based).

Apabila ditarik satu garis lurus yang menghubungkan seluruh ketentuan tanpa kecuali, maka metode yang seharusnya ditetapkan Pemerintah adalah berdasarkan biaya operator masing-masing, yang secara umum dikenal dengan istilah asimetris.

"Sehingga sangat wajar apabila Telkom dan Telkomsel, di samping keberatan atas penetapan hasil perhitungan biaya interkoneksinya yang tidak sesuai cost based, juga meminta Pemerintah menginformasikan hasil perhitungan biaya interkoneksi tiap-tiap operator agar pelaksanaan interkoneksi sesuai peraturan perundang-undangan," katanya.

Diungkapkannya, pemerintah sendiri sejak awal proses perhitungan ulang biaya interkoneksi  pada 2015 telah berencana melakukan perhitungan biaya interkoneksi tiap-tiap operator. Dalam perjalanannya, Pemerintah juga telah memperoleh kesepakatan dari tiap-tiap operator dan telah menyelesaikan perhitungan biaya interkoneksi tiap-tiap operator.

"Sekarang isu berubah ke  penurunan biaya interkoneksi adalah kebijakan pro rakyat dan akan menurunkan tarif ke pelanggan 30%. Padahal secara akademis penurunan biaya interkoneksi hanya 2-4% dari tarif ke pelanggan. Apabila memang berencana menurunkan tarif ke pelanggan, maka seharusnya Pemerintah lebih mengutamakan pengaturan tarif pungut (retail)," katanya.

Menurutnya, melihat  perhitungan biaya interkoneksi berdasarkan biaya operator masing-masing (asimetris) justru lebih menguntungkan pelanggan. Dari hasil RDPU Komisi I DPR RI dengan para operator, diketahui biaya interkoneksi Telkomsel Rp 285, Tri Rp 120, Smatfren Rp 100, Indosat Ooredoo Rp 86, dan XL Axiata Rp 65 permenit.

Apabila menggunakan angka Pemerintah, maka total biaya jaringan untuk percakapan lintas operator (interkoneksi) adalah Rp 408. Namun jika metode asimetris yang digunakan, total biaya jaringan untuk percakapan dari Telkomsel ke XL Axiata (atau sebaliknya) hanya Rp 350, lebih murah Rp 58.

Hal yang menarik adalah munculnya ilustrasi yang digunakan untuk mengaburkan potensi kerugian adalah “zero sum game” dan menghubung-hubungkan antara Average Revenue Per Minute (ARPM) dengan biaya interkoneksi.

Disebutkan bahwa ARPM Telkomsel Rp 162, dan perusahaan untung Rp 22 triliun. Angka Pemerintah Rp 204, masih lebih tinggi dari ARPM Telkomsel. Berarti Telkomsel tidak rugi.

Terhadap hal ini, Ghazali memiliki jawaban sederhana. "ARPM XL pada kuartal I 2016 adalah Rp 213, lebih tinggi dari angka Pemerintah (Rp 204). Seandainya ARPM erat kaitannya dengan biaya interkoneksi, lalu mengapa XL tidak protes?. Dari sini kelihatan semua sedang adu opini, kalau begini baiknya kembalikan saja ke aturan. Soalnya perhitungan biaya interkoneksi bukan operasi pasar," tutupnya.(id)

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year