Startup masih dihambat birokrasi

10:18:21 | 09 Jan 2019
Startup masih dihambat birokrasi
JAKARTA (IndoTelko) -Perusahaan rintisan digital (startup) masih dihambat birokrasi untuk berkembang di Indonesia. 

Demikian salah satu hasil temuan BOI Research yang baru-baru ini merilis hasil penelitiannya mengenai tantangan yang dihadapi startup-startup di Indonesia.

Riset ini melibatkan 23 startup yang beroperasi di Jakarta, Bandung dan Denpasar dengan masa berdiri kurang dari lima tahun.  

Sebanyak 64% responden adalah CEO dan 36% pada posisi manajerial. Selain itu, 53% responden berlatar belakang pendidikan bisnis dan ekonomi, 33% dari bidang komunikasi dan hubungan internasional, sedangkan 14 persen dari teknik. Dari sisi jender, 64% responden adalah pria dan 36% wanita.

Menurut Direktur BOI Research Ingmar van den Brink dari pelaku industri startup yang disurvei, rata-rata hambatannya berkisar tentang birokrasi, penjualan, lokasi kantor, pengelola keuangan, rekrutmen pegawai, dan peningkatan kapasitas dari tim yang ada.

"Dari sisi birokrasi, menurut data yang kami peroleh, rata-rata pelaku startup menganggap sulit mendirikan perusahaan di Indonesia dibandingkan negara-negara tetangganya. Di Indonesia proses izin dan administrasi untuk mendaftarkan usaha bisa memakan waktu dua hingga tiga bulan meskipun sudah menggunakan agen atau notaris. Untuk pelaku usaha asing, waktu yang dibutuhkan bisa mencapai lima bulan. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan informasi dan persyaratan yang harus dipenuhi. Tentu ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah," tuturnya dalam keterangan kemarin.

Selain itu, banyaknya startup yang berguguran di tengah jalan selain disebabkan karena kurangnya modal, juga karena rencana bisnis yang kurang matang dan juga produk yang yang tidak unik atau kompetitif.

"Rata-rata startup mendapatkan dana awal dari lingkup terdekatnya, seperti keluarga atau teman. Startup yang menggunakan dana pribadi sering mengalami kesulitan setelah beberapa waktu, mereka kehabisan dana karena perencanaan keuangan yang tidak matang," katanya.

Selain masalah modal, mayoritas pelaku usaha ingin membuka kantor di Jakarta, karena Jakarta dianggap masih memiliki potensi pasar yang besar. Namun, harga sewa kantor di Jakarta sangatlah tinggi yang akhirnya membuat pelaku usaha untuk menjadikan rumah sebagai kantor atau menggunakan virtual address.

Terkait dengan pertumbuhan bisnis, startup Indonesia mayoritas berharap bisa  break event point (BEP) di tahun ketiga hingga kelima. Faktor rendahnya ekuitas perusahaan serta tingginya kompetisi di industri yang sama menjadi penyebab para pelaku startup tidak bisa mencetak keuntungan di tahun-tahun pertama.

"Sumber daya manusia pun menjadi isu bagi startup di sini. Minimnya keterampilan teknis para lulusan universitas menjadi kendala tersendiri bagi perusahaan untuk berkembang. Mayoritas para pemilik startup mengatakan mereka lulus dari pendidikannya dalam kondisi yang tidak siap dengan dunia kerja. Selain itu, para lulusan ini juga memiliki ekspektasi tinggi yang sering tidak bisa dipenuhi startup," tambah Ingmar lagi.

Meski demikian, kata Ingmar, kesalahan tidak sepenuhnya terletak pada para fresh graduate tersebut. Manajemen startup sendiri pun luput dalam memberikan pelatihan-pelatihan rutin untuk mengembangkan kapasitas sumber daya internalnya.

"Dari yang kami survei, lebih dari setengah responden mengatakan mereka menyediakan pelatihan kepada timnya. Namun sayangnya, tidak rutin diadakan karena keterbatasan waktu," katanya.

Ekosistem 
Managing Director perusahaan konsultan komunikasi berbasis di Singapura PRecious Communications Lars Voedisch, mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat telah menjadikan kawasan Asia Tenggara terdepan dalam ekosistem digital.

“Di Indonesia, dengan populasi lebih dari 250 juta orang, ditambah kelas menengah yang terus bertambah serta semakin tingginya penetrasi internet dan smartphone di Indonesia, peluang untuk menciptakan sesuatu yang besar melalui perusahaan rintisan digital terbuka lebar,” jelasnya.

Menurut Lars, ekosistem bisnis Indonesia berkembang dinamis dengan rata-rata startup bergerak di transportasi dan eCommerce. 

"Startup Singapura didukung oleh sistem yang komprehensif, sedangkan startup-startup di Indonesia masih menghadapi tantangan infrastruktur dan lingkungan bisnis di dalam negeri, meski banyak juga yang berhasil dan sukses,” ungkapnya.

Dikatakannya, menjalankan perusahaan rintisan digital di Indonesia, punya peluang dan resiko yang sama-sama besar. Misalnya ketidakpastian politik menjelang pemilu Indonesia tahun ini.

"Apa yang dapat dikontrol oleh para startup lokal adalah bagaimana menghasilkan produk dan layanan yang berkualitas, jaringan distribusi yang kuat, mitra yang koperatif terutama untuk startup asing yang masuk ke Indonesia, serta tim yang berkomitmen dalam menumbuhkan bisnis mereka," pungkasnya.(wn)

Artikel Terkait
IndoTelko Idul Fitri 2024
More Stories