Pelaku usaha pariwisata jangan alergi dengan digitalisasi

11:19:55 | 26 Nov 2017
Pelaku usaha pariwisata jangan alergi dengan digitalisasi
Arief Yahya (dok)
JAKARTA (IndoTelko) - Pelaku usaha di pariwisata diminta untuk tidak alergi dengan digitalisasi yang tengah melanda di sektor itu.

"Saya sudah berulang kali himbau ke pelaku usaha di sektor pariwisata, baik itu perhotelan atau restoran. Anda mau turun (go digital) atau mati? Digitalisasi itu tak bisa ditolak karena search-share di sektor pariwisata itu sudah 70% melalui platform online," ungkap Menteri Pariwisata Arief Yahya kala ditemui IndoTelko di kantornya belum lama ini.

Pria yang akrab disapa AY itu mengisahkan fenomena digitalisasi yang terjadi di semua sektor mirip yang terjadi di telekomunikasi beberapa puluh tahun lalu kala layanan seluler muncul berhadapan dengan telepon tetap.  

"Saat itu saya di Telkom, kita sudah lihat seluler ini akan menjadi the next big things. Lebih mobile, personal, dan interaktif. Pokoknya yang ditawarkan seluler itu semua berlawanan dengan telepon tetap. Kala itu kita berfikir ini kalau tidak ikut turun (bermain seluler) ya mati. Akhirnya diputuskan main seluler dengan Telkomsel dan buktinya sekarang menjadi pemasok utama pendapatan TelkomGroup," kata Pria yang pernah menjadi Dirut Telkom itu.

AY pun menambahkan, filosofi perubahan tak akan pernah berhenti mengikuti kebutuhan konsumen. "Anda ingat kan era 2G, terus berubah menjadi IP Based alias 3G atau 4G. Semua bicara internet dan konten interaktif. Itu berubah lagi. Telkom pun akhirnya mutusin ikut main di Triple Play untuk layanan komunikasi di rumah dan Telkomsel makin rich content. Ini saya cerita karena konsepnya sama, mau turun (ikut perubahan) atau mati. Kalau Anda ikut turun, siapa tahu bisa merasakan second curve," pungkasnya.

Sebelumnya, para pelaku usaha di sektor pariwisata mengatakan disrupsi digital (digital disruption) memberikan dua dampak yakni positif dan negatif.

Para pemilik dan operator hotel saat ini harus bisa beradaptasi dengan tuntutan dari online travel agency, yang meminta komisi lebih tinggi dari travel agency konvensional.

Selain itu disoroti juga masalah perpajakan terkait Online Travel Agency asing, terutama terkait Pajak Penghasilan Pasal 26 (Pph Pasal 26).

Saat ini operator dan pemilik hotel dipaksa membayar PPH26 yang ditagih oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena para OTA asing tidak membayar pajaknya.

Alhasil, muncul keinginan dari sebagian pelaku usaha untuk memblokir pemain digital di pariwisata seperti AirBnB.(id)  

Artikel Terkait