telkomsel halo

Menelisik CSPA antara XL dan STC

10:30:31 | 27 Sep 2013
Menelisik CSPA antara XL dan STC
Ilustrasi (DOK)

JAKARTA (IndoTelko) –  PT XL Axiata Tbk (XL) akhirnya  melakukan penandatanganan Perjanjian Jual Beli Bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement/CSPA) dengan Saudi Telecom Company (STC) dan Teleglobal Investment B.V. (Teleglobal) untuk membeli PT Axis Telekom Indonesia (Axis).

STC adalah pemegang saham mayoritas di Axis dengan porsi 80,1%. Sementara Teleglobal Investment B.V. (Teleglobal) adalah anak perusahaan STC. Rencananya Teleglobal akan menjual 95 % saham di Axis kepada XL. Jumlah itu setara dengan 100% kepemilikan STC di Axis.

Untuk transaksi ini XL akan dibantu  Merril Lynch (Singapore) Pte. Ltd. (Bank of America Merril Lynch) yang bertindak sebagai penasihat keuangan  untuk transaksi ini.

Hal yang harus dipahami adalah ditandatanganinya CSPA ini merupakan langkah maju menuju akuisisi bagi XL. Pasalnya, dengan adanya CSPA maka due diligence terhadap entitas yang akan dibeli bisa dilakukan.

Dalam CSPA antara XL dan STC dinyatakan  XL akan membayar nilai nominal saham yang disepakati dan akan membayar sebagian dari utang dan kewajiban Axis.Hingga semester pertama 2013,  Axis memiliki utang senilai Rp 11,064 triliun.
 
Axis sendiri ditaksir  sebesar  US$ 865 juta dollar AS dengan catatan buku Axis bersih dari utang dan posisi kas nol (cash free and debt free) dalam CSPA ini.

Nantinya, jika transaksi terjadi, harga pembayaran akan digunakan untuk  membayar nilai nominal saham Axis serta membayar hutang dan kewajiban Axis.

Tanda Tanya
Hal yang menjadi pertanyaan dalam perjanjian ini adalah terhadap langkah dari STC yang rela  dibayar  sahamnya di bawah nilai pasar di Axis.  Pasalnya,  banyak analis memprediksi nilai  saham STC di Axis sebesar  US$ 880 juta.

Hal lainnya adalah ditebusnya saham STC oleh XL dimana dana yang didapat sudah diplot untuk membayar utang dari Axis. Ini tentu berarti dalam melepas kepemilikan di Axis, STC hanya mengurangi beban utang.

Padahal sebagai operator terbesar di Arab Saudi, isu keuangan tak siginifikan bagi STC. Lantas kenapa STC tak berkeinginan mendapatkan kompensasi atas investasinya selama lima tahun belakangan yang dilakukan di Axis?.
 
Jika dilihat dari aset. Misalnya, Axis memiliki 1.600 menara yang diperkirakan bernilai  US$ 200 juta dan peralatan jaringan senilai US$ 80 juta. Menara ini jika diakuisisi tentu bisa dilego nantinya dengan nilai lebih besar.

Memang, secara kinerja keuangan Axis hingga semester pertama 2013 masih negatif. Perseroan mendapatkan pendapatan Rp 1,489 triliun dengan kerugian sekitar Rp 1,624 triliun di semester pertama 2013. Namun, banyak analis memprediksi Axis memiliki nilai pasar sekitar US$ 1 miliar.
 
Bisa Batal
Catatan lain dari CSPA ini adalah transaksi bisa batal jika tidak mendapatkan  persetujuan dari instansi pemerintah terkait dan emegang saham XL melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) atau terjadi perubahan dari kepemilikan spektrum.

Sekadar catatan, saat ini pangsa pasar XL untuk layanan 2G dan 3G sekitar 16%, Telkomsel ( 45%),Indosat (21%),  Tri ( 13%), dan Axis (5%). Total pengguna kartu seluler tahun ini mencapai 312,5 juta pengguna.

Komposisi kepemilikan frekuensi XL sendiri saat ini adalah 15 MHz atau setara tiga blok (8, 9, dan 10) di spektrum 2,1 GHz untuk layanan 3G. Sedangkan untuk 2G, XL juga punya di 1.800 Mhz dan 900 MHz, masing-masing 7,5 MHz.

Sementara Axis menduduki dua blok 3G di 2,1 GHz, yakni blok 11 dan 12. Sementara untuk 1.800 MHz memiliki lebar pita 15 MHz. Sebelumnya, sinyal yang dilepas XL-Axis adalah dilepas satu blok 3G atau sebesar 5 MHz ke pemerintah.

Presiden Direktur XL Axiata Hasnul Suhaimi mengakui, jika  transaksi ini berhasil akan mengatasi permasalahan yang dihadapi XL saat ini dan memberikan kapasitas tambahan bagi XL yang akan bermanfaat bagi  para  stakeholders.
 
Masalahnya, akankah mulus di isu frekuensi ini?

Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) M Ridwan Effendi mengungkapkan, regulator masih mengkaji  berapa spektrum yang layak dialokasikan untuk entitas baru XL-Axis.

“Masalah alokasi spektrum ini kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan besaran tertentu bukan atas kerelaan operator mengembalikan suatu jumlah tertentu,” tegasnya.

Anggota Komite lainnya, Nonot Harsono menegaskan, jika isunya di masalah frekuensi maka perlu dilakukan rebalancing kepemilikan untuk semua pemain 3G dan 1.800 MHz.

“Tak bisa melihat hanya di 2,1 GHz atau 1.800 MHz saja. Soalnya ini ada dua besar yang juga bisa berkata, kami kekurangan frekuensi juga,” katanya.

Menurut Nonot, hal yang terjadi antara XL dan Axis adalah terdapat satu pemain tidak kuat untuk berkompetisi. “Kalau begini baiknya penyelenggara jaringan yang sudah tidak kuat mengembalikan frekuensi ke pemerintah dan fokus jadi pemain jasa saja. Ini bisa mendorong konsolidasi menjadi cepat. Transaksi XL-Axis ini harus lebih transparan agar kami enak mengambil keputusan,” pungkasnya.
 
Nah, jika begini akankah “Pernikahan” yang dirancang sekian lama ini akan berhasil? Kita tunggu saja! (id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year