telkomsel halo

Superman tersengat UU ITE

11:21:50 | 16 Aug 2020
Superman tersengat UU ITE
Tak selamanya tabuhan drum dari seorang drummer enak di dengar. Terkadang karena ketukannya terlalu cepat malah merusak tugas dari suara drum untuk menjaga irama sebuah lagu.

Perumpamaan ini sepertinya tepat dianalogikan untuk nasib I Gede Astina yang dikenal dengan nama panggung Jerinx.

Pria bertato ini dikenal sebagai penabuh drum grup band Punk Superman is Dead. Tabuhan drumnya memberikan ciri khas  dalam komposisi musik Punk yang diusung band asal Bali tersebut.

Di luar sebagai artis, Jerinx juga lumayan sangar dalam mewarnai dunia media sosial melalui akun IG @jrxsid. Tulisan-tulisannya di media sosial lumayan "Bernas dan Keras".

Sebagian orang mungkin bisa menerima pendapatnya atau merasa diwakili suaranya melalui Jerinx di media sosial, tetapi ada juga yang "gerah" dengan cara pria ini mengutarakan pendapatnya.

Inilah yang mungkin dirasakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Bali atas postingannya yang menyebut organisasi itu sebagai “kacung WHO” karena mewajibkan dilakukannya rapid test.

Polda Bali resmi menetapkan pria ini sebagai tersangka dan ditahan atas dugaan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.

Jerinx menambah deretan selebritas yang tersengat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan dua pasalnya ( 27 dan 28) yang menjadi momok di era demokrasi ini.

Tak Tepat
Layaknya kasus yang menyeret nama besar, sejumlah pihak pun menggalang dukungan untuk Jerinx.

Aliansi Masyarakat Sipil meminta Kepolisian untuk menghentikan penyidikan perkara ini, mengingat tidak terpenuhinya sejumlah unsur pidana.

Dalam pandangan aliansi ini pernyataan Jerinx terhadap penanganan COVID-19 yang kontraproduktif perlu menjadi pemicu untuk menghadirkan diskursus publik yang lebih sehat, ketimbang menggunakan jalur kriminalisasi melalui instrumen UU ITE.

Adapun penggunaan Pasal 28 ayat (2) untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya jelas tidaklah tepat dan menyalahi makna dari ketentuan tersebut.

Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk menjerat ekspresi-ekspresi yang termasuk ke dalam kategori incitement to hatred/violence/discriminate atau penghasutan untuk melakukan suatu tindakan kebencian/kekerasan/diskriminasi berdasarkan SARA. Elemen penting dalam ketentuan itu yakni “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Niat menjadi satu komponen yang paling penting untuk membedakan antara ekspresi yang sah (legitimate expression) dengan ekspresi yang termasuk ke dalam ujaran kebencian.

Menurut pandangan Aliansi tersebut, ekspresi yang disampaikan oleh Jerinx di dalam postingan Instagramnya tersebut, yang merujuk kepada IDI sebagai “kacung WHO” sangat jauh untuk dapat dikatakan memenuhi unsur ini.

Lebih jauh, untuk dapat mengetahui apakah sebuah ekspresi masuk kualifikasi sebagai penyebaran ujaran kebencian, terlebih dahulu harus dilihat: (1) Konteks di dalam ekspresi; (2) Posisi dan status individu yang menyampaikan ekspresi tersebut; (3) Niat dari penyampaian ekspresi untuk mengadvokasikan kebencian dan menghasut; (4) Kekuatan muatan dari ekspresi; (5) Jangkauan dan dampak dari ekspresi terhadap audiens; dan (6) Kemungkinan dan potensi bahaya yang mengancam atas disampaikan ekspresi. Rentannya penyalahgunaan pasal incitement to hatred ini, mengharuskan aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menilai suatu ekspresi memiliki muatan bahaya (harmful) serius, sehingga dapat dipidana. Sedangkan dalam peristiwa ini, kualifikasi bahaya tersebut belum terpenuhi.

Tidak hanya penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terhadap Jerinx yang tidak tepat, penggunaan Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik juga sama sekali tidak berdasar. Pasal 27 ayat (3) dalam penerapannya haruslah mengacu kepada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap individu.

Artinya, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan terhadap orang perseorangan, bukan terhadap institusi ataupun badan hukum. Pasal 27 ayat (3) KUHP pun merupakan delik aduan absolut yang artinya individu yang dicemarkan itu sendiri yang harus melaporkan perbuatan pidana terhadapnya dan bukan perwakilannya. Tentu saja menjadi tidak masuk akal kemudian, ketika institusi yang harus diwakili oleh seseorang menggunakan ketentuan ini. Dalam kasus Jerinx, pencemaran nama baik yang dilaporkan adalah pencemaran terhadap institusi IDI. Karenanya, secara otomatis Pasal 27 ayat (3) UU ITE sama sekali tidak dapat diterapkan terhadapnya.

Kontradiktif
Terus bermunculannya kontroversi menggunakan dua pasal dari UU ITE ini seperti menegaskan undang-undang ini sudah lari dari marwahnya ketika disusun yakni melindungi masyarakat dari transaksi elektronik.

UU ITE malah terkesan tumpul untuk melindungi masyarakat ketika ada kasus dugaan bocornya data pribadi pengguna di platform digital.

Padahal, Pasal 32 UU ITE mengatur tentang larangan bagi setiap orang untuk melakukan interferensi (mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan, atau mentransfer) terhadap bentuk Dokumen Elektronik atau Informasi Elektronik tanpa hak atau dengan cara melawan hukum.

Tak hanya itu, aturan turunan dari Pasal 32 ini juga jelas mengatur soal perlindungan data pribadi yakni PP No.71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Bahkan aturan teknis juga ada dalam bentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika.

Namun, hingga saat ini tak ada platform digital terjerat dalam kasus dugaan kebocoran data pribadi. Bahkan, untuk beberapa kasus yang terkuak selama pandemi ini, menguap tak jelas.

Jika demikian adanya, apakah UU ITE ini masih dibutuhkan?

@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year