telkomsel halo

IRFI ungkap ancaman terhadap aset telekomunikasi di Sulawesi

10:24:09 | 23 Feb 2018
IRFI ungkap ancaman terhadap aset telekomunikasi di Sulawesi
Ilustrasi (dok)
JAKARTA (IndoTelko) - Infrastruktur Research For Indonesia (IRFI) menyoroti serius Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Makale terkait tanah yang di atasnya berdiri infrastuktur alat vital milik para tergugat (Negara) Republik Indonesia berupa Sentral Telepon yang terintegrasi jaringan kabel fiber optic (FO) Trans Sulawesi, Base Transceiver Station (BTS) dan kantor-kantor dinas Pemerintahan Daerah (Pemda) di wilayah Makale Toraja-Sulawesi.

“Tanah yang di atasnya terdapat infrastuktur Alat Vital Negara seperti Sentral Telepon yang terintegrasi FO Trans Sulawesi, sejatinya  dipergunakan untuk kepentingan masyarakat umum, Pemda, TNI, POLRI dan untuk kemaslahatan Rakyat Indonesia harus dikuasai Negara, di atas kepentingan pribadi atau golongan sebagaimana yang dimaksud Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," ungkap Ketua Umum IRFI Rafli A.Hakim, SH.,Mkn. dalam keterangan (22/2).

Ditambahkannya,  Putusan Majelis  Hakim PN Makale yang amar putusannya menghukum Negara untuk membayar kerugian inmaterial sebesar Rp 500 miliar dan kerugian material sebesar Rp 150 miliar serta mengosongkan tanah yang di atasnya berdiri Infrastruktur Alat Vital Negara kepada pihak penggugat, sangat mencederai rasa keadilan dan kepentingan masyarakat umum yang akan terputus sambungan telepon dan data internetnya selama proses pemindahan tersebut, yang diperkirakan memakan waktu setahun lamanya.

Forum Masyarakat Peduli Telekomunikasi Indonesia (FMPTI) meminta seluruh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)ikut mengawal dan menekankan terkait Putusan Majelis Hakim PN Makale harus dilakukan upaya hukum banding oleh Negara serta meminta Pengadilan Tinggi Makasar sebagai kawal depan Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk memeriksa ulang bukti-bukti penggugat yang ditenggarai berupa fotocopi saja dan diduga terdapat kejanggalan perolehan hak tanahnya di tahun 1930 melalui proses jual beli memakai mata uang “ROEPIAH” karena mata uang RUPIAH seyogyanya dipergunakan setelah Negara Indonesia Merdeka tahun 1945.

“Ini bukan hanya kerugian Negara yang harus membayar 650 Milyar, kerugian Negara lebih besar karena terputusnya komunikasi dan kerugian sosial tidak terhubungnya masyarakat menjadi kerugian yang tidak terhingga,” ujar Plt.Ketua FMPTI Rhama R.V. .

“Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Pengadilan Tinggi Makasar diminta tegakkan hukumnya tanpa pandang bulu, demi kemaslahatan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat se-Sulawesi sesuai Peraturan Perundang-Undangan untuk mendukung nawacita Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla,” tutup Rhama.(id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year