telkomsel halo

Aturan baru eComerce bisa bangkitkan UMKM?

11:09:40 | 01 Okt 2023
Aturan baru eComerce bisa bangkitkan UMKM?
Kementrian Perdagangan (Kemendag) baru saja menererbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik untuk menjawab berbagai praktik tidak sehat dalam perdagangan melalui sistem elektronik (eCommerce) yang merugikan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan untuk meningkatkan perlindungan konsumen.

Beleid ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 26 September 2023.

Permendag ini merupakan revisi dari Permendag 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Revisi ini dilatarbelakangi peredaran barang di platform PMSE masih banyak belum memenuhi standar, baik Standar Nasional Indonesia (SNI) maupun standar lainnya.

Selain itu, terdapat indikasi praktik perdagangan tidak sehat yang dilakukan pelaku usaha luar negeri. Pelaku usaha tersebut disinyalir melakukan penjualan barang dengan harga yang sangat murah (Predatory pricing) untuk menguasai pasar di Indonesia.

Revisi Permendag 50/2020 juga dilatarbelakangi kesetaraan dalam persaingan berusaha dan ekosistem PMSE yang belum terwujud serta berkembangnya model bisnis PMSE yang berpotensi mengganggu, yakni dengan memanfaatkan data dan informasi media sosial. Singkatnya, social commerce yang mulai marak, misalnya TikTok Shop.

Beberapa aturan utama dalam Permendag 31 Tahun 2023 di antaranya pendefinisian berbagai model bisnis penyelenggara PMSE, mulai dari lokapasar (marketplace) hingga social commerce.

Melalui pendefinisian tersebut, pembinaan dan pengawasan terhadap PMSE dapat dilakukan dengan optimal, termasuk terkait perizinan, perpajakan, dan ketentuan perdagangan lainnya.

Dalam Permendag ini, social commerce didefinisikan sebagai penyelenggara media sosial yang menyediakan fitur, menu, dan/atau fasilitas tertentu yang memungkinkan pedagang (merchant) dapat memasang penawaran barang dan/atau jasa.

Social commerce dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada sistem elektroniknya dan hanya dapat melakukan penawaran/promosi barang dan/jasa.

Untuk menjaga persaingan usaha yang sehat, penyelenggara PMSE termasuk social commerce wajib memastikan tidak adanya interkoneksi antara sistem elektronik yang digunakan sebagai sarana PMSE dengan sistem elektronik yang digunakan di luar sarana PMSE dan tidak terjadi penyalahgunaan penguasaan data penggunanya untuk dimanfaatkan oleh PPMSE dan/atau perusahaan yang berafiliasi dalam sistem elektroniknya.

Dalam Permendag 31/2023 juga diatur penetapan harga minimum sebesar US$100 per unit untuk barang jadi yang berasal dari luar negeri yang langsung dijual oleh pedagang ke Indonesia melalui platform eCommerce. Selain itu, diatur mengenai ketentuan daftar barang asal luar negeri yang diperbolehkan "langsung" masuk ke Indonesia melalui platform eCommerce yang memfasilitasi perdagangan lintas negara (cross border).

Selain itu, Permendag 31/2023 mengatur kewajiban bagi pedagang dan platform eCommerce untuk menayangkan dan memperdagangkan bukti pemenuhan standardisasi barang.

Bukti tersebut antara lain nomor pendaftaran barang atau sertifikat SNI atau persyaratan teknis lain bagi barang dan/atau jasa yang telah diberlakukan SNI, nomor sertifikat halal bagi barang dan/atau jasa yang wajib bersertifikat halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; nomor registrasi barang keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup untuk barang yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; serta nomor izin, nomor registrasi atau nomor sertifikat untuk produk kosmetik, obat, dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada permendag ini, marketplace dan social commerce dilarang bertindak sebagai produsen.

Untuk memastikan implementasi Permendag 31/2023 akan dilakukan pengawasan terhadap sistem elektronik secara terpadu melalui Tim Pengawasan Siber yang beranggotakan berbagai kementerian/lembaga terkait, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta instansi terkait lainnya.

Bagi penyelenggara PMSE termasuk marketplace dan social commerce yang melanggar aturan, akan diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 kali dalam tenggang waktu 14 empat belas hari kalender terhitung sejak tanggal surat peringatan sebelumnya diterbitkan. Apabila dalam jangka waktu pelaku PMSE tetap tidak melaksanakan kewajiban, maka akan dikenai sanksi administratif berupa pemblokiran sementara layanan PPMSE oleh instansi terkait yang berwenang.

Apresiasi
Secara obyektif, beleid ini layak diapresiasi, setidaknya menjadi sikap Pemerintah yang tidak "abai" dalam menyikap kondisi pasar tradisional (offline) yang banyak dihuni UMKM kian sepi terdampak maraknya eCommerce.

Tantangan dalam menjalankan aturan ini adalah masalah konsistensi penegakkan regulasi mengingat beleid itu sudah masuk ke hal-hal yang teknis di eCommerce. Belum lagi pengguna internet di Indonesia dikenal "kreatif" untuk bisa menyiasati berbagai aturan yang akan diterapkan.

Misalnya, soal pelarangan penjualan produk dengan harga minimal US$100, ini bukanllah hal yang mudah mengingat dunia eCommerce dalam pengendaliannya tidak semudah pasar nyata.

Hal yang menjadi esensi, benarkah kehadiran beleid ini bisa membangkitkan UMKM di pasar tradisional atau yang sudah on board di eCommerce bisa kompetitif?

Kembali ke tujuan dari beleid ini yang ingin melawan predatory pricing, tentu yang harus dicari akar masalah adalah pemicu barang di negara lain lebih murah ketimbang di Indonesia?

Misal, China memberikan subsidi yang besar kepada produk-produk ekspor, untuk mempertahankan pasar, bahkan menambah pasar. Subsidi tersebut melahirkan praktek harga predatory pricing di negara tujuan produk tersebut, karena menjadi sangat murah.

China bisa melakukan itu karena faktor struktural. Pertumbuhan ekonomi China berbeda dengan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi China ditopang oleh ekspor dan investasi asing. Sementara, kontribusi konsumsi rumah tangganya di bawah 50%, sekitar 30%.

Pemerintah bisa saja melarang atau menaikan tarif beamasuk, tapi tentu ada point-point free trade antara Asean dan China yang harus dipatuhi. Tapi jika terpaksa bisa dilakukan, selama Pemerintah Indonesia juga berani menerima resiko jika China melakukan balasan dengan menerapkan tarif bea masuk pada komoditas kita.

Ironisnya, China memiliki aturan ketat juga soal pasar digital dimana ada pembatasan penjualan di eCommerce dengan nilai transaksi maksimal, produk impor yang dijual di eCommerce lintas batas negara (crossborder) harus melalui bea cukai, dan pajak impor dengan nilai 70% dari impor normal.

Ada empat undang-undang yang terkait pengaturan eCommerce di negeri Tirai Bambu yaitu perdagangan elektronik, keamanan produk, perpajakan, dan konsumen. Produk impor wajib mematuhi regulasi penjualan produk impor, seperti sertifikasi, pelabelan, ISO manufaktur, dan persetujuan khusus. Intinya, produk impor sulit masuk ke pasar domestik China yang merupakan pangsa pasar terbesar mereka.

Sekarang bisa dibilang Permendag No 31/2023 sebagai parasetamol untuk menurunkan demam tinggi. Karena pada intinya, kemampuan bersaing dengan barang luar terletak pada produk lokal sendiri untukk bisa bersaing, baik secara kualitas maupun secara harga.

Fakta yang ada sekarang, jargon digitalisasi bagi UMKM yang digembar-gemborkan sejak 9 tahun lalu ternyata dampaknya tidak manis. Data yang diolah oleh Inisiasi Hilirisasi Digital Nasional menunjukkan asing menikmati lebih besar dari domestik. Misalnya, di eCommerce (56%), media (65%), mobilitas (49%).

Di pasar online, 90% produk yang dijual dari luar dan impor barang konsumsi terus meningkat dari tahun ke tahun. Penjual di eCommerce, 74% bukan dari produk sendiri (Indef, 2003).

Studi Forum Ekonomi Dunia (WEP) 2021 menyebutkan setiap tahun orang Indonesia menguras US$6,9 miliar untuk membeli 1,02 miliar hijab produk impor.

Ini semua buah Indonesia belum memiliki strategi nasional transformasi digital dan badan yang mengaturnya sehingga perkembangannya tak terstruktur. Transformasi digital lebih pesat di hilir, di sektor jasa dan perdagangan, tetapi lemah di manufaktur, sektor pertanian, maritim, kesehatan, dan lainya.

Akibatnya, transformasi digital tidak melahirkan ekonomi baru seperti di China. Kue ekonomi nasional tidak bertambah signifikan, tetapi faktor pembaginya semakin banyak.

Saatnya pemerintah fokus ke isu kapasitas produksi nasional dengan memberdayakan UMKM sampai korporasi domestik dalam ekonomi nasional. Selain itu tentunya berani mengkoreksi arah transformasi digital agar negara ini tidak sekadar sebagai pasar.

Sebuah pesan yang sudah berulang-ulang diingatkan banyak kalangan ke penguasa sejak kampanye digitalisasi diperkenalkan!

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year