telkomsel halo

Pendengung di tragedi Stadion Kanjuruhan

13:09:35 | 09 Okt 2022
Pendengung di tragedi Stadion Kanjuruhan
Pendukung Arema Malang menyalakan lilin untuk korban tragedi Stadion Kanjuruhan.(Foto: FB Arema FC)
Sebuah tragedi yang menyesakkan dada telah terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang, pada 1 – 2 Oktober 2022 pasca pertandingan Arema FC dan Persebaya.

Data terbaru Kepolisian mencatat ada 131 orang tewas dan korban luka 574 orang.

Berdasarkan informasi beredar, pasca pertandingan tersebut sejumlah penonton memasuki lapangan dan direspon oleh  aparat keamanan dengan melakukan tindak kekerasan.

Melalui video yang beredar, terlihat aparat melakukan tendangan dan pemukulan. Selain itu, diperparah dengan adanya penembakan gas air mata, hal ini tentunya makin memperburuk situasi.

Sebuah penyeldikan jurnalistik yang dikeluarkan The Washington Post rasanya mendekati kenyataan dan bisa memberi rasa keadilan bagi korban.

Media ini mengungkap detik-detik menegangkan tersebut melalui serangkaian video yang mereka himpun dan verifikasi.

Secara keseluruhan, video-video itu menunjukkan ketegangan usai laga derbi Jawa Timur itu.

Berdasarkan penelusuran The Washington Post, aparat menembakkan setidaknya 40 amunisi tak mematikan ke arah penonton. Amunisi itu termasuk gas air mata, yang dianggap memicu kepanikan luas hingga para penonton berdesakan ke luar stadion.

The Washington Post tak merinci jumlah gas air mata yang ditembakkan. Namun, kepolisian menegaskan bahwa petugas hanya melepaskan 11 tembakan gas air mata.

Di tengah kesesakan akibat gas air mata, banyak penonton terjatuh dan terinjak-injak. Sementara itu, pintu yang terlalu sempit juga menyebabkan penonton sulit keluar.

Pakar dari Universitas Keele di Washington Post mengatakan bahwa biang kerok tragedi ini adalah campuran antara tindakan polisi dan keburukan manajemen stadion.

Sementara KontraS menilai ada beberapa pemicu tragedi. Pertama, merujuk kepada aturan, tindakan sewenang-wenang TNI-Polri dengan melakukan tindak kekerasan jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 170 & 351 KUHP. Selain itu, bagi anggota Polri dengan mengacu pada Pasal 11 ayat (1) huruf g Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri menegaskan bahwa: “setiap anggota Polri dilarang melakukan penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment).

Kedua, penembakan gas air mata ke arah tribun penonton yang penuh sesak oleh Polri melanggar prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian menyatakan bahwa: “Penggunaan kekuatan harus melalui tahap mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau Tersangka yang berupaya atau sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum.” Selain itu, tindakan nirkemanusiaan tersebut telah melanggar terhadap prinsip-prinsip yang diatur, yakni prinsip proporsionalitas (penggunaan kekuatan yang proporsional, sesuai dengan ancaman yang dihadapi), prinsip nesesitas (penggunaan kekuatan yang terukur, sesuai dengan ketentuan di lapangan), dan prinsip alasan yang kuat (penggunaan kekuatan yang beralasan dan dapat dipertanggungjawabkan).

Ketiga, tindakan berlebihan yang dilakukan anggota Polri menyalahi prosedur tetap pengendalian massa. Dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, b dan e Perkapolri Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, bagi setiap anggota Polri yang melakukan kegiatan Dalmas dinyatakan bahwa: “Hal-hal yang dilarang dilakukan satuan dalmas: a. Bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa; b. Melakukan tindakan kekerasan yang, (e) keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perseorangan.”

Keempat, aparat Polri yang membawa senjata gas air mata melanggar ketentuan Federation International de Football Association (FIFA) Stadium Safety and Security. Dalam Article 19  point b ditegaskan bahwa: “No firearms or crowd control gas shall be carried or used.” Bahwa penggunaan senjata gas air mata telah dilarang oleh FIFA, bahkan tidak diperbolehkan dibawa dalam rangka mengamankan pertandingan sepak bola.

Kontra Narasi
Hal yang disayangkan, sejak pertama kali informasi tentang tragedi ini beredar, ruang media mulai dihiasi suara-suara dari pendengung yang ingin membelokkan inti permeasalahan.

Para pendengung (buzzer) entah tak memiliki simpati terhadap korban, menyalahkan suporter dan membela aparat pengamanan dalam kasus terparah sepanjang sejarah pertandingan sepak bola nasional itu.

Para buzzer yang melempar isu dan narasi nir empati itu sepertinya ingin membenamkan fakta ketidakprofesionalan aparat keamanan dalam melaksanakan tugas di Stadion Kanjuruhan.

Aktivitas buzzer seperti ini patut diwaspadai karena bukan hanya membuka celah terjadi keterbelahan publik tetapi menjadi alat pihak tertentu untuk mencari pembenaran dan legitismasi. Padahal, secara universal, penggunaan gas air mata dalam pengamanan stadion dilarang.

Hal yang menyedihkan adalah pergerakan para buzzer seperti terkoodinir dan pesan yang disampaikan terstruktur serta sistematis.

Entah ada yang mengkomando atau tidak, tetapi jika seseorang menyikapi tragedi kemanusian seperti menilai sebuah produk, rasanya wajar dipertanyakan kemanakah nurani menghilang?

@IndoTelko 

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year