Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan segera mengeluarkan dua ketentuan di bidang Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yaitu peraturan mengenai Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI atau unitlink) dan perubahan peraturan mengenai layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (fintech peer to peer lending).
OJK menyatakan kedua peraturan itu akan dikeluarkan mengingat pentingnya penguatan operasional industri perasuransian dan fintech P2P lending yang harus diiringi dengan peningkatan aspek perlindungan konsumen.
Penyempurnaan aturan PAYDI antara lain meliputi area spesifikasi produk, persyaratan perusahaan untuk dapat menjual PAYDI, praktik pemasaran, transparansi produk, dan pengelolaan investasi.
Upaya penguatan regulasi tersebut bertujuan agar permasalahan pemasaran khususnya ketidakpahaman nasabah atas PAYDI dapat diminimalisir dan perusahaan asuransi dapat meningkatkan tata kelola dan manajemen risiko dengan lebih baik.
Sementara perubahan ketentuan fintech P2P lending antara lain mengatur kepemilikan platform layanan pendanaan bersama, bentuk badan hukum, modal pendirian, nilai ekuitas, batas maksimum pendanaan, pemegang saham pengendali, dan sejumlah larangan untuk perlindungan konsumen seperti tatacara penagihan.
Perubahan ketentuan layanan pendanaan bersama ini ditujukan untuk memperkuat industri fintech P2P lending dari sisi kelembagaan dan layanan terhadap konsumen serta kontribusinya bagi perekonomian.
Melalui ketentuan baru tersebut, OJK mengeluarkan sejumlah aturan-aturan penting yang penting harus diikuti penyelenggara. Badan hukum dan modal disetor finteh P2P lending Utamanya. Setiap pihak hanya dapat menjadi pemegang pengendali satu penyelenggara fintech P2P lending konvensional dan satu penyelenggara syariah.
Adapun fintech P2P lending hanya dapat dilakukan penyelenggara yang berbadan hukum perseroan terbatas atau PT.
Kemudian, penyelenggara fintech P2P lending harus memiliki modal disetor minimum sebesar Rp 25 miliar pada saat pendirian. Setelah itu, penyelenggara yang telah memperoleh izin dari OJK harus senantiasa memiliki ekuitas minimum sebesar Rp 12,5 miliar, yang dipenuhi secara bertahap selama 3 tahun sejak POJK diundangkan.
Maksimal pendanaan finteh P2P lending Rp 2 miliar Lalu poin penting lainnya ialah terkait pendanaan yang dapat diberikan kepada setiap penerima dana adalah maksimal sebesar Rp 2 miliar. Adapun pendanaan yang dapat diberikan dari setiap pemberi dana dan afiliasinya adalah maksimum 25 persen dari pendanaan outstanding setiap bulan, dengan masa transisi secara bertahap selama 18 bulan sejak POJK diundangkan. Namun, pendanaan yang diberikan oleh setiap pemberi dana yang merupakan pelaku usaha jasa keuangan yang diawasi OJK dapat lebih dari 25 persen dari pendanaan outstanding setiap bulan, yaitu maksimum 75 persen dari pendanaan outstanding setiap bulan.
Terkait tata kelola, penyelenggara fintech P2P lending wajib menerapkan prinsip tata kelola yang baik bagi perusahaan yang dituangkan dalam pedoman dengan isi minimum, yaitu tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS. Penyelenggara fintech P2P lending juga wajib menyampaikan laporan kepada OJK yang terdiri dari laporan berkala (laporan secara real time, laporan bulanan, dan laporan tahunan) dan laporan insidentil (misalnya laporan adanya fraud).
Ada juga perlindungan konsumen dan tata cara penagihan Lalu mengenai perlindungan konsumen, dalam rangka mewujudkan perlindungan konsumen, penyelenggara wajib menerapkan prinsip, transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen, dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau, dengan mengacu pada POJK mengenai perlindungan konsumen.
Proses penagihan kepada penerima dana atau peminjam yang wanprestasi dilakukan paling sedikit dengan memberikan surat peringatan, dengan tata cara sesuai yang terdapat dalam perjanjian antara pemberi dana dan penerima dana.
Proses penagihan dapat dilakukan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian kerja sama, tetapi tanggung jawab proses penagihan tetap berada pada penyelenggara fintech P2P lending. Selain itu diatur pula bahwa penagihan baik yang dilakukan sendiri oleh penyelenggara maupun oleh pihak lain harus dilakukan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan peraturan perundang-undangan.
Larangan bagi finteh P2P lending Poin penting terakhir yang dimuat dalam aturan baru OJK ialah terkait larangan. Sebagai bagian dari perlindungan konsumen dan menjaga praktik penyelenggaraan fintech P2P lending yang sehat, penyelenggara dilarang, melakukan kegiatan usaha selain kegiatan usaha yang diatur dalam POJK ini, bertindak sebagai pemberi dana atau penerima dana, dan mewakili pemberi dana untuk melakukan pendanaan dan/atau menyediakan fitur pendanaan secara otomatis. Selanjutnya, yaitu memberikan akses kepada anggota direksi, anggota dewan komisaris, DPS dan karyawan serta afiliasinya untuk bertindak sebagai pemberi dana, memberikan akses kepada anggota direksi, anggota dewan komisaris, DPS, dan pemegang saham serta afiliasinya untuk bertindak sebagai penerima dana, dan memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain.
Penyelenggara fintech P2P lending juga dilarang, menerbitkan surat utang, memiliki pinjaman, memberikan rekomendasi kepada pengguna, mempublikasikan informasi yang fiktif dan/atau menyesatkan, melakukan penawaran layanan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pengguna dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan, dan mengenakan biaya kepada pengguna dan/atau masyarakat atas layanan pengaduan.
Rencananya akan ada pembatasan bagi lender institusi yang berafiliasi dengan perusahaan dan individu tidak boleh memberikan pinjaman melebihi 25% dari outstanding pinjaman. Sisa 75%-nya harus mengambil dari perusahaan industri jasa keuangan, perbankan, ataupun multifinance yang diawasi oleh OJK.
Bukan tanpa alasan, OJK melihat isu yang saat ini terjadi ialah terkait bunga yang susah diatur karena lender-nya berasal dari individu maupun korporasi yang berafiliasi dengan pemilik platform. Harapannya, dengan aturan tersebut, OJK bisa mengendalikan tingkat bunga yang lebih baik.
Nantinya, jika moratorium perizinan fintech lending dicabut, maka pengajuan entitas baru sudah harus berorientasi langsung mengantongi status berizin, tidak ada lagi memulai dengan status terdaftar. Hal itu sejalan dengan kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang baru akan mengeluarkan sertifikasi setelah entitas fintech lending mendapat status berizin dari OJK.
Selain dari sisi regulasi, OJK menyiapkan infrastruktur untuk mengawasi fintech lending. Dalam hal ini OJK memiliki pusat data fintech lending (Pusdafil) untuk memonitor perkembangan penyelenggara.
Berikutnya, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) turut serta menghadirkan fintech data center (FDC), layaknya SLIK bagi perbankan dan multifinance. FDC memiliki peran agar seluruh penyelenggara bisa terhubung dan melihat profil peminjam, guna menghindari pihak tidak bertanggung jawab yang meminjam pada banyak platform.
OJK berharap kualitas FDC bisa ditingkatkan sehingga proses penilaian juga bisa lebih baik. Pada akhirnya, hal itu turut serta menjaga tingkat keberhasilan bayar 90 hari (TKB 90) tetap baik dan menjaga kepercayaan pada pemberi pinjaman (lender).
Lebih Baik
Dalam catatan, outstanding pembiayaan financial technology (fintech) P2P lending per Desember 2021 mencapai Rp 29,88 triliun, meningkat 2,43% secara bulanan (month to month/mtm). Peningkatan itu sekaligus menandai terjadi perputaran uang yang produktif.
Seluruh platform atau 103 penyelenggara fintech lending saat ini sudah mengantongi status berizin dari OJK. Para penyelenggara tersebut sudah mencatatkan akumulasi pembiayaan lebih Rp 200 triliun sejak 2016-2021. Jumlah akumulasi peminjam mencapai 73 juta rekening peminjam.
Realita ini menjadikan Fintech lending merupakan subsektor keuangan digital yang relatif masih baru. Meski begitu, industri fintech lending dinilai memberikan dampak positif kepada percepatan akses masyarakat ke produk dan jasa keuangan.
Namun, kita juga harus memahami literasi masyarakat atas produk dan jasa keuangan digital tidak sepadan dengan pemahaman risiko. Perselisihan (dispute) pun pada akhirnya tidak bisa dihindari, baik pembiayan yang didapat dari pinjaman online ilegal (pinjol) maupun maupun fintech lending legal.
Peraturan baru OJK perlu didukung karena menciptakan ekosistem bisnis fintech P2P lending yang semakin inovatif. Adapun, peningkatan ekuitas minimum membuat perusahaan di dalam industri tumbuh semakin kuat ke depan.
@IndoTelko