telkomsel halo

Huawei mencari keadilan dari `Paman Sam`

12:03:00 | 10 Mar 2019
Huawei mencari keadilan dari
Tajuk China Daily edisi (8/3) yang menurunkan artikel Huawei sues US over "unlawful" ban.(dok)
"Huawei sues US over "unlawful" ban". Itulah tajuk utama dari koran China Daily pada Jumat (8/3). (Baca: Huawei Tuntut AS)

Koran berbahasa Inggris yang dimiliki Partai Komunis China ini seperti sengaja menunjukkan dukungannya ke Huawei Technologies, yang tengah berjuang mencari keadilan di Amerika Serikat (AS).

Halaman utama dari koran itu memasang suasana konferensi pers yang digelar Deputy Chairman Huawei Guo Ping yang mengumumkan perusahaan mengajukan gugatan terhadap aturan yang dikeluarkan pemerintah AS dengan melarang lembaga pemerintahan untuk menggunakan produknya.

Huawei memasukkan gugatannya ke pengadilan di Texas untuk melawan tuduhan bahwa teknologinya menimbulkan ancaman keamanan global.

Banyak kalangan melihat ini sebagai langkah kejutan dari Huawei setelah selama ini berada dalam posisi tertekan atas sejumlah tuduhan yang dilancarkan pemerintahan Paman Sam.

Huawei meminta pengadilan federal AS untuk membatalkan bagian dari Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional, yang ditandatangani oleh Presiden Donald Trump pada Agustus 2018.

Huawei menuduh bahwa sebagian dari isi aturan secara khusus yang dikeluarkan jelas melarang lembaga pemerintah menggunakan teknologi dari Huawei dan ZTE (ZTCOF), melanggar Konstitusi AS dengan memilih individu atau kelompok untuk dihukum tanpa pengadilan.

Menurut Huawei, Kongres AS telah berulang kali gagal menghasilkan bukti apa pun untuk mendukung pembatasan produk Huawei.

Manuver
Asal tahu saja, "perseteruan" Huawei dan Pemerintah AS telah berlangsung sejak beberapa tahun lalu.

Tuduhan spionase, penipuan, mengakali sanksi perdagangan terhadap Iran, dan ancaman keamanan cyber adalah isu yang selama ini dimainkan Pemerintah Paman Sam dalam menggoyang Huawei.

Entah kenapa, Huawei yang menjelma sebagai pesaing dari Apple di smartphone dan inovasinya di 5G di mata pemerintah AS dilihat sebagai ancaman.

Dominasi Huawei di pasar perangkat jaringan telekomunikasi memang membuat pesaing dari dunia barat ketar-ketir.

Huawei diperkirakan menguasai sekitar 33% pasar peralatan jaringan seluler pada pertengahan 2018. Nokia hanya menguasai 17%, Ericsson (12%), dan ZTE (7%).

Pemerintah AS telah bertahun-tahun curiga bahwa pemerintah Tiongkok dapat menggunakan peralatan Huawei untuk memata-matai negara lain, tanpa memberikan bukti spesifik.

"Hukum Tiongkok mewajibkan mereka untuk memberi aparat keamanan Beijing akses yang luas ke data apa pun yang menyentuh jaringan atau peralatan mereka," kata Wakil Presiden Mike Pence bulan lalu.

Pemerintahan AS juga telah mendesak sekutunya untuk melarang atau membatasi produk Huawei dari jaringan 5G mereka, dengan mengutip kekhawatiran mata-mata tetapi tanpa memberikan bukti yang jelas.   

Pemerintah AS mengatakan Huawei adalah ancaman karena tidak dapat mengatakan tidak kepada pemerintah Tiongkok.

Bahkan, Paman Sam menuduh Huawei mencoba mencuri rahasia dari operator T-Mobile. (Baca: Huawei dan AS)

Tekanan yang paling menyiksa bagi Huawei tentunya permintaan ekstradisi dari AS terhadap CFO-nya Meng Wanzhou yang ditangkap di Kanada pada bulan Desember lalu.

Tarik menarik
Para sekutu AS pun seperti mengamini langkah sekondannya.

Pada bulan Agustus 2018 Australia menghalangi Huawei untuk mengambil bagian dalam peluncuran jaringan 5G di negara itu, dengan mengatakan keterlibatan perusahaan mana pun "kemungkinan akan tunduk pada arahan ekstra-yudisial dari pemerintah asing yang bertentangan dengan hukum Australia" menimbulkan risiko yang terlalu besar.

Pada November 2018, Spark Selandia Baru mengumumkan bahwa mereka tidak akan dapat menggunakan teknologi Huawei dalam jaringan 5G yang direncanakan karena pembatasan yang diberlakukan oleh Biro Keamanan Komunikasi Pemerintah Selandia Baru.

Hanya beberapa hari sebelumnya, Spark dan Huawei Selandia Baru telah menghidupkan jaringan uji coba 5G multi-vendor secara langsung di lab 5G perusahaan telekomunikasi di Auckland.

Di tempat lain, pada bulan Desember 2018 dilaporkan bahwa operator di Jepang juga memilih untuk tidak menggunakan peralatan Huawei di jaringan 5G mereka mengikuti saran dari pemerintah mereka. Polandia, dan Republik Ceko adalah di antara negara-negara lain yang telah mengemukakan masalah keamanan serupa.

Hal yang menarik, sejumlah negara barat tetap menunjukkan kepercayaan kepada Huawei.

Operator TIM di Italia mengatakan akan terus menggunakan produk-produk vendor kecuali jika diberitahu sebaliknya oleh pemerintah.

Pada bulan Februari 2019, Turkcell dari Turki memberi label Huawei "mitra bisnis yang dapat diandalkan" dan mengatakan bahwa kemitraan mereka akan terus berlanjut.

Munafik
Dalam konferensi pers, Guo menuduh pejabat Amerika melakukan kemunafikan.

"Ketika pemerintah AS memberikan stempel Huawei sebagai ancaman keamanan dunia maya, mereka telah meretas server kami dan mencuri email, dan source code kami," ungkapnya.

Ditegaskannya, Huawei belum dan tidak akan pernah melakukan "Back Door". "Kami tidak akan pernah mengizinkan orang lain untuk menginstal di peralatan kami," katanya.

Simalakama    
Jika dikilas balik, isu "keamanan" yang diangkat Paman Sam sudah lama disemburkan para ahli yang khawatir perusahaan teknologi China dapat bekerja atas nama pemerintah China untuk melakukan spionase atau sabotase.

Sejumlah negara sudah melakukan antisipasi dengan menerapkan undang-undang untuk membatasi penggunaan peralatan China di jaringan sensitif.

Penggunaan produk teknologi dari China memang menjadi simalakama bagi operator. Di satu sisi inovasi dan return on investment (ROI)yang dijanjikan lumayan menarik, namun di sisi lain ancaman "perang informasi" di masa depan membuat operator harus hati-hati dalam memilih vendor yang dipercayanya.

Di titik ini, banyak pihak yang mencoba memaklumi aksi koboi dari Paman Sam dalam menaklukkan kelincahan "Kungfu Panda" ala Tiongkok.

Pemerintahan AS menyadari sekali era 5G adalah ladang "minyak" baru yang harus diamankan. Hal yang menjadi pertanyaan adalah siapakah "korban" dari pertarungan dua raksasa ini nantinya?

Tentunya, negara seperti Indonesia yang belum berdikari secara teknologi, lemah dalam regulasi, dan selalu diposisikan sebagai "pasar" bisa menjadi salah satu "Casualties of War" jika tak waspada dan memiliki visi yang jelas membangun kedaulatan digital di masa depan.

GCG BUMN
@IndoTelko

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year