Network sharing, berbagi atau "numpang" jaringan?

11:38:54 | 16 Sep 2016
Network sharing, berbagi atau
Demonstran menolak revisi PP telekomunikasi (dok)

JAKARTA (IndoTelko) –  Diskusi tentang network sharing atau berbagi jaringan aktif untuk pelaku usaha di industri telekomunikasi kian hangat seiring beredar kabar telah selesainya draft revisi PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan perubahan terhadap PP Nomor 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.

Kedua PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Pokok perubahan terhadap kedua PP tersebut intinya mengatur masalah backbone network (jaringan) sharing dan akses (spektrum) jaringan antar operator. Revisi kedua PP ini kabarnya telah berada di Sekretariat Negara untuk dilakukan pemeriksaan terakhir sebelum diajukan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk ditandatangani. (Baca: Revisi PP Frekuensi)

Menurut International Telecommunication Union (ITU), network sharing dapat mengurangi biaya yang diperlukan untuk menyediakan jaringan telekomunikasi, terutama di kawasan yang jarang penduduk. Selain itu, melakukan network sharing juga dapat mendorong operator untuk menggunakan teknologi baru.    

GSMA membagi metode network sharing menjadi lima yakni Site sharing, Mast sharing, RAN Sharing, Core network sharing, dan Network roaming.

Site dan Mast sharing lebih berbagi ke jaringan pasif berupa menara atau titik pendirian menara. RAN Sharing operator saling berbagi perangkat akses jaringan termasuk antena, menara dan perangkat backhaul. Core network sharing operator saling berbagi penggunaan RNC (Radio Network Controller) dan Node B. Selain itu, mereka juga saling berbagi frekuensi.  

Network roaming dianggap sebagai salah satu metode network sharing meski pada metode ini, tidak ada infrastruktur yang digunakan bersama. Pada model ini, trafik dari satu operator dibawa melalui jaringan operator lain. Untuk melakukan roaming, tidak ada persyaratan khusus kecuali persetujuan antara dua operator.
Insentif

“Kalau menurut ITU, network sharing itu merupakan insentif dari regulator untuk operator masuk ke daerah yang sama sekali belum ada coverage-nya. Pengalaman Australia misalnya,  dibolehkan network sharing selama 2 tahun, setelah itu masing-masing operator wajib membangun jaringannya masing-masing. Jadi selama network sharing itu diantaranya digunakan untuk create market ,” jelas Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi kepada IndoTelko, Jumat (16/9).

Diungkapkanya ada kelemahan dari network sharing  adalah tak ada kedaulatan terhadap jaringan, pemilihan mitra, dan negosiasi bisnis. “Kalau dilihat best practice, regulasi ini hanya akan menambah crowded persaingan bukan meningkatkan coverage apalagi kualitas bagi pelanggan,” katanya.
 
Ahli Ekonomi Industri dari UGM Fahmi Radhi menilai network sharing ada hambatan dijalankan di Indonesia secara teknis dan regulasi.

“Harus ada kematangan jaringan yang mampu menjangkau ke seluruh wilayah Indonesia. Saat ini kondisi di Indonesia  jarak kepemilikan jaringan di antara operator rendah. Tidak ada operator yang dominan dalam kepemilikan jaringan di Indonesia. Kalau dilakukan network sharing dengan kondisi ini malah membuat  inefisiensi jaringan, persaingan usaha tidak sehat dan menghambat pertumbuhan jaringan,” ulasnya.

Ahli Ilmu Perundang-Undangan Sony Maulana Sikumbang mengatakan bahwa dalam Undang-Undang No 36 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) No 52 tahun 2000 secara implisit melarang penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi untuk menyewa jaringan telekomunikasi yang dimiliki oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi.

“Selama Undang-Undang yang telah digunakan selama 17 tahun tersebut masih menjadi acuan maka implementasi network sharing masih belum bisa diwujudkan,” tegasnya. (Baca: Regulasi Network Sharing)

Pandangan berbeda dinyatakan Chairman Mastel Institute Nonot Harsono. “Kalau semua (operator) sudah menggelar di semua wilayah, sudah pasti tidak perlu sharing lagi. Jadi syarat semua harus equal dulu itu tak masuk akal.  Ini kalau semua kondisi sudah sama, kapasitas sendiri saja sudah over-suply, utilisasi rendah karena populasi yang sangat sedikit, terbagi sejumlah operator lagi. Jadi pasti sangat tidak perlu sharing apalagi roaming,” tegasnya.

Sebelumnya, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai ada anomali yang terjadi di industri telekomunikasi dimana Telkomsel memiliki infrastruktur  merambah ke berbagai pelosok daerah di tanah air, sementara kompetitornya enggan memenuhi komitmen mereka dalam membangun infrastruktur dan malah meminta Telkomsel melakukan network sharing atas jaringannya. "Dominannya (Infrastruktur) Telkomsel itu alamiah,” tegas Nawir.

KPPU menyarankan adanya aturan main yang jelas soal network sharing karena  tanpa adanya aturan mengenai hal tersebut, justru akan membuat sengketa di bisnis telekomunikasi ini akan terus berlanjut.

"Ketika ini kemudian mau dijadikan sharing, makanya saya minta supaya dipertimbangkan aspek fairness-nya, dan bukan dalam satu titik waktu," tambahnya.

Salah satunya harus diatur tentang kewajiban para operator membangun infrastruktur. Jika perlu, dalam regulasi itu sudah disiapkan sanksi tegas bagi operator yang melanggar.

"Bangun infrastruktur ini kan harus diperhitungkan. Makanya salah satu aspek penting dari network sharing ini adalah mekanisme kompensasi dari pemilik. Kalau itu nggak selesai, maka akan terus menyisakan persoalan," ungkapnya.
      
Asal tahu saja,  negara yang berhasil melakukan network sharing adalah Brasil. Kawasan di negara ini dibagi menjadi 11 area. Masing-masing area terdapat 4 operator yang terlisensi. (Baca: Network sharing dan isu monopoli)

Pemerintah Brazil mendorong operator-operator ini untuk melakukan network sharing, terutama di kawasan terpencil yang mungkin tidak akan menguntungkan jika para operator tidak melakukan network sharing. Akankah hal ini terjadi di Indonesia? (id)

Baca Juga: