telkomsel halo

Indonesia dihantui banyak phishing

05:59:00 | 16 Dec 2023
Indonesia dihantui banyak phishing
Foto : Ilustrasi
JAKARTA (IndoTelko) - Pemimpin global keamanan siber yang mendorong konvergensi antara jaringan dan keamanan, Fortinet telah mengungkap hasil survei baru yang dilakukan oleh IDC mengenai Kondisi Operasi Keamanan (State of SecOps) di kawasan Asia-Pasifik.

Survei ini memberikan wawasan berharga tentang lanskap SecOps saat ini, dengan menekankan peran Kecerdasan Buatan (AI) dan automasi. Survei ini mengeksplorasi berbagai aspek, termasuk praktik keamanan umum, frekuensi dan dampak serangan, waktu deteksi dan respons, kelengahan kewaspadaan, status, dan dampak automasi dalam alur kerja SecOps, dan tantangan terkait pengembangan keahlian dalam domain SecOps.

Beberapa temuan antara lain :

Tantangan Saat Ini: Ancaman dan Kesiapan Tim

1. Ancaman Siber yang Paling Umum

Phishing (pengelabuan) dan pencurian identitas adalah ancaman siber yang paling dominan di Indonesia, dengan 50% perusahaan menempatkannya sebagai ancaman utama. Lima ancaman teratas terdiri dari phishing, pencurian identitas, ransomware, DdoS dan DoS, serta serangan berbasis Internet of Things (IoT), dengan lanskap ancaman berbeda pada tiap negara.

2. Lonjakan Ransomware

Insiden ransomware meningkat dua kali lipat di seluruh Indonesia, dengan 62% perusahaan melaporkan setidaknya peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2023, dibandingkan tahun 2022. Phishing dan malware adalah vektor serangan utama. Vektor penting lainnya termasuk serangan Rekayasa Sosial (Social Engineering), SQL Injection, dan eksploitasi zero-day.

3. Ancaman Orang Dalam dan Pekerjaan Jarak Jauh

92% responden merasa bahwa pekerjaan jarak jauh telah menyebabkan peningkatan insiden ancaman orang dalam. Pelatihan yang tidak memadai, kurangnya kepedulian karyawan, dan komunikasi yang tidak memadai berkontribusi terhadap lonjakan ini, sehingga menekankan perlunya mengatasi faktor manusia dalam keamanan siber.

4. Sumber Daya Tim Keamanan TI

Hanya 50% bisnis di Indonesia yang mendedikasikan sumber daya TI untuk tim keamanan. Hal ini menandakan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan dalam memperkuat langkah-langkah keamanan mereka.

5. Dampak Teknologi yang Sedang Berkembang

Pekerjaan hybrid, AI, dan integrasi sistem IT/OT menimbulkan tantangan yang signifikan. Adopsi teknologi awan muncul sebagai tantangan utama, yang berdampak pada kerentanan perusahaan terhadap ancaman siber (cyber threat).

SecOps SOS: Berjuang dengan Kelelahan dan Pengendalian Ancaman

1. Pengendalian dan Kesiapsiagaan Ancaman

Kurang lebih 2 dari 5 (42%) perusahaan yang disurvei di seluruh Indonesia mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai kurangnya perlengkapan dalam membendung ancaman. Ketidakpuasan ini menyoroti kebutuhan penting untuk meningkatkan kemampuan keamanan siber (cybersecurity) agar dapat secara efektif melawan ancaman siber yang terus berkembang. Yang mengkhawatirkan, tiga dari empat organisasi tidak melakukan penilaian risiko secara rutin, sehingga memperburuk tantangan dalam mendeteksi ancaman secara tepat waktu.

2. Kelengahan kewaspadaan

Lebih dari 50% perusahaan yang disurvei mengalami rata-rata 221 insiden per hari dan 2 dari 5 perusahaan menghadapi lebih dari 500 insiden setiap hari, yang menyebabkan kelelahan karena kewaspadaan. Dua peringatan teratas yang dihadapi adalah email mencurigakan (phishing) dan deteksi malware atau virus, yang menyoroti pentingnya pelatihan yang ditargetkan mengenai kesadaran phishing. Selain itu, perilaku pengguna yang mencurigakan, penguncian akun, dan beberapa upaya login yang gagal berkontribusi terhadap kelelahan peringatan.

3. Batasan Beban Kerja dan Waktu

Rata-rata, hanya ada satu tenaga ahli SecOps untuk setiap 140 karyawan, yang masing-masing mengelola sekitar 16 peringatan setiap hari. Beban kerja ini memberikan tekanan yang signifikan pada para profesional keamanan siber, sehingga mereka hanya memiliki waktu 30 menit untuk mengatasi setiap peringatan dalam 8 jam kerja. Batasan waktu menggarisbawahi perlunya proses yang efisien, automasi, dan penentuan prioritas untuk mengelola beban kerja secara efektif.

4. Positif Palsu dan Waktu Respons

antangan positif palsu (false positive) tetap ada, dengan 70% responden mencatat bahwa setidaknya 25% dari peringatan yang mereka terima adalah positif palsu dengan peringatan keamanan email/phishing, peringatan penguncian akun pengguna, dan peringatan analisis perilaku sebagai kontributor teratas. 82% tim membutuhkan waktu lebih dari 15 menit untuk memvalidasi peringatan, sehingga menyoroti perlunya automasi.

5. Pengembangan Keterampilan

86% responden di seluruh Indonesia merasa kesulitan untuk selalu memperbarui keahlian tim mereka seiring lanskap ancaman yang berubah dengan cepat. Responden survei memprioritaskan kemampuan mengautomasi (62%) sebagai keahlian utama tim Pusat Operasi Keamanan (Security Operations Centre/SOC), dan menyoroti semakin pentingnya automasi dalam keamanan siber. Hal ini, bersama dengan kemampuan untuk melakukan banyak tugas dan berpikir kritis, menggarisbawahi kebutuhan keahlian yang terus berkembang dalam menghadapi ancaman siber yang dinamis.

Automasi di SecOps: Adopsi Saat Ini dan Kemungkinan Masa Depan

1. Adopsi yang Tinggi, dan Potensi yang Belum Termanfaatkan

Mayoritas (98%) perusahaan telah menggunakan alat automasi dan orkestrasi dalam operasi keamanan mereka, menunjukkan pengakuan luas atas nilai alat tersebut dalam memperkuat strategi keamanan siber. Meskipun alat automasi sudah banyak digunakan, survei menunjukkan bahwa perusahaan belum sepenuhnya memanfaatkan seluruh potensi teknologi ini. Peluang untuk perbaikan diidentifikasi di berbagai bidang seperti triase respons streaming, pengendalian insiden, remediasi, pemulihan, dan pengendalian ancaman.

2. Peningkatan Produktivitas

Secara khusus, sekitar 92% responden telah merasakan peningkatan produktivitas yang signifikan, dengan setidaknya 25% peningkatan waktu deteksi insiden berkat automasi.

3. Rencana Masa Depan dan area fokus untuk Optimasi

Perusahaan secara aktif mengupayakan optimalisasi proses automasi untuk membangun kerangka keamanan siber yang lebih efisien. Selanjutnya, 100% perusahaan di kawasan Asia-Pasifik menyatakan niat mereka untuk menerapkan alat automasi dan orkestrasi dalam 12 bulan ke depan. Secara strategis, perusahaan berfokus pada pemanfaatan alat automasi untuk menyederhanakan triase respons, mempercepat pengendalian insiden, dan meminimalkan waktu pemulihan.

Lebih dari Ancaman: Kesiapsiagaan SecOps dan Prioritas Masa Depan

1. Deteksi dan Respons Ancaman yang lebih cepat menjadi pusat perhatian

Perusahaan menyadari peran penting automasi dalam memungkinkan deteksi dan respons yang cepat dan efisien terhadap ancaman siber, yang mencerminkan pendekatan proaktif dalam memperkuat ketahanan keamanan mereka. Hasil survei menyoroti bahwa 70,7% responden memprioritaskan deteksi ancaman yang lebih cepat, sementara 58,5% berupaya meningkatkan kemampuan deteksi ancaman secara keseluruhan melalui automasi.

2. Automasi Holistik untuk Peningkatan Operasi Keamanan

Lebih dari 50% responden mengatakan bahwa area teratas untuk automasi mencakup memaksimalkan visibilitas, respons otomatis, dan inteligensi ancaman, serta mengoptimasi efisiensi operasional dari sumber daya keamanan dan inteligensi yang sudah ada. Penekanan pada automasi holistik menandakan pendekatan komprehensif terhadap operasi keamanan, menggabungkan optimalisasi inteligensi dan respons otomatis. Pendekatan ini bertujuan meningkatkan efisiensi, visibilitas, dan pemanfaatan inteligensi secara keseluruhan di tengah tantangan keamanan siber yang dinamis.

3. Prioritas Operasi Keamanan di Masa Depan

Perusahaan bersiap memprioritaskan investasi operasi keamanan dalam 12 bulan ke depan. Lima prioritas utama mencakup peningkatan keamanan jaringan dan titik akhir, pemberdayaan kesadaran siber staf, peningkatan perburuan dan respons terhadap ancaman, pembaruan sistem penting, dan pelaksanaan audit keamanan. Prioritas-prioritas ini selaras dengan lanskap ancaman yang terus berkembang dan mengutamakan fokus strategis pada langkah-langkah keamanan siber yang komprehensif.

Research Vice President, IDC Asia-Pasifik, Simon Piff, mengatakan, mengamankan infrastruktur IT modern memerlukan komitmen berkelanjutan terhadap kewaspadaan, proaktif, dan kemampuan beradaptasi di tengah tantangan yang ditimbulkan oleh pekerjaan hybrid, AI, dan teknologi awan. "Pergeseran dinamis dari kontrol statis ke postur keamanan siber yang berpusat pada risiko selaras dengan lanskap teknologi yang terus berkembang. Integrasi alat-alat yang didukung AI, penilaian ulang staf, potensi outsourcing, dan peningkatan automasi muncul sebagai aspek penting yang disoroti oleh survei ini, yang menekankan pentingnya perusahaan untuk menerapkan automasi secara strategis," ujarnya.

Sementara, Vice President of Marketing and Communications Fortinet Asia, Rashish Pandey mengungkapkan, salam ancaman yang terus berkembang, perusahaan bergulat dengan spektrum ancaman siber yang menargetkan aset digital mereka. Solusi Operasi Keamanan Fortinet, yang didukung oleh AI tingkat lanjut, tidak hanya menjawab kebutuhan mendesak akan automasi tetapi juga memberikan strategi komprehensif untuk deteksi dan respons insiden. Komitmen kami untuk memberdayakan perusahaan dalam menavigasi medan keamanan siber yang dinamis ditunjukkan melalui solusi inovatif. Hal ini mencakup waktu rata-rata satu jam yang mengesankan (lebih cepat dalam banyak kasus) untuk mendeteksi dan mengatasi ancaman, rata-rata investigasi dan remediasi 11 menit, ROI yang luar biasa sebesar 597%, peningkatan produktivitas tim sebanyak dua kali lipat, dan pengurangan potensi pesanggaran dengan biaya sebesar US$1,39 juta.

Di kesempatan yang sama, Country Director Fortinet Indonesia, Edwin Lim, menambahkan, dalam keamanan siber yang terus berkembang, 70,7% perusahaan memprioritaskan deteksi ancaman yang lebih cepat melalui automasi. "Di Fortinet, kami menyadari pentingnya deteksi dan respons cepat sebagai landasan peningkatan postur keamanan siber. Automasi memainkan peran penting dalam mengidentifikasi dan merespons ancaman siber dengan cepat, serta meminimalkan jendela kerentanan," ujarnya.

"Pengalaman pelanggan kami mengutamakan urgensi ini, dengan pengurangan transformatif dari rata-rata 21 hari menjadi hanya satu jam untuk deteksi, yang didorong oleh AI dan analisis tingkat lanjut. Hal ini menandakan langkah mendasar dalam memperkuat pertahanan keamanan siber, di mana waktu untuk mendeteksi dan merespons adalah hal yang terpenting. Automasi, dalam konteks ini, muncul sebagai kunci utama dalam menghadapi tantangan lanskap ancaman yang dinamis saat," tambahnya. (mas)

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year