JAKARTA (IndoTelko) – Operator yang tergabung dalam Asosiasi penyelenggara Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) mengaku layanannya sering terganggu karena maraknya pemasangan repeater ilegal.
“Sekarang jamannya digital dimana kebutuhan pelanggan terhadap layanan data tinggi sekali. Kami serba salah di lapangan menghadapi maraknya penggunaan repeater ilegal karena layanan ke pelanggan terganggu,” kata Ketua Umum ATSi Alexander Rusli kemarin.
Vice President ICT Network Management Area Telkomsel Jabotabek- Jabar, M Mustaghfirin mengungkapkan, satu repeater ilegal bisa mengganggu wilayah sekitar BTS terdekat, dan bisa mengganggu juga BTS-BTS lain milik operator lain.
Dari data yang dimiliki Telkomsel, di tahun 2013 lalu terdapat sekitar 66 repeater ilegal di wilayah Jabotabek. Jumlah BTS yang terganggu mencapai 275 menara.
Di Jakarta sendiri, hingga akhir Mei 2014 lalu, Telkomsel mencatat masih ada sekitar 62 titik area yang masih terganggu gara-gara repeater ilegal.
Telkomsel mencatat, sepanjang tahun 2013 lalu, ada sekitar 121 kasus laporan repeater ilegal, belum termasuk yang tidak dilaporkan. Repeater ilegal tersebut telah mengganggu sekitar 792 menara BTS milik Telkomsel, di seluruh Indonesia. Kasus repeater ilegal ini paling banyak terjadi di wilayah Jabodetabek.
Gangguan-gangguan terhadap layanan seluler tersebut menurut Telkomsel berupa susah menerima panggilan suara, kualitas suara yang buruk, atau bahkan hingga panggilan yang terputus. Layanan pesan singkat (SMS) juga seringkali gagal mengirim dan menerima."Untuk layanan data, gangguan bisa berupa akses data yang susah dan throughput yang rendah," ungkapnya.
Penertiban
Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Muhammad Budi Setiawan mengaku telah melakukan penertiban perangkat penguat sinyal ini di daerah-daerah, tetapi masih ada sejumlah kendala yang kamihadapi, baik dari internal maupun eksternal.
Kendala internal, belum optimalnya sosialisasi penggunaan perangkat penguat sinyal berdasarkan peraturan yang berlaku dan sulitnya melakukan pengawasan terhadap penjual repeater selular yang dilakukan melalui media elektronik dan internet.
Kendala eksternalnya antara lain semakin banyaknya peredaran perangkat penguat sinyal repeater dari luar negeri sehingga menyulitkan dalam hal pengawasan di lapangan.
Pemerintah telah mengatur penggunaan perangkat penguat sinyal yang tertuang dalam UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Dalam aturan itu disebutkan, barang siapa yang melanggar aturan, seperti menggunakan penguat sinyal yang tidak disertifikasi dan tanpa izin, bisa dipidana penjara hingga 6 tahun atau denda Rp 600 juta
"Operator menggunakan frekuensi yang dialokasikan dengan membayar, sehingga pemerintah harus melindungi, yang mengganggu harus ditertibkan, sehingga tidak sampai mengurangi kualitas layanan telekomunikasi," tandasnya.(ak)