Dua pukulan untuk TikTok

Awal Oktober 2025 ini, publik dikejutkan oleh dua kabar beruntun yang sama-sama menyasar TikTok.

Pertama, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) resmi menjatuhkan denda administratif Rp15 miliar kepada TikTok Nusantara (SG) Pte. Ltd. karena terlambat melakukan notifikasi akuisisi mayoritas saham Tokopedia.

Kedua, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membekukan sementara Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) TikTok Pte. Ltd. akibat tidak memenuhi kewajiban penyerahan data penuh terkait aktivitas siaran langsung (live streaming) selama unjuk rasa pada akhir Agustus lalu.

Dua peristiwa ini terjadi hampir bersamaan. Dan meski berada di ranah yang berbeda—satu soal merger dan akuisisi, satu lagi soal kepatuhan platform digital, keduanya menghadirkan pesan yang sama, Indonesia memasuki era baru pengawasan platform digital.

Tidak ada lagi ruang bagi perusahaan teknologi raksasa untuk memperlakukan negeri ini semata-mata sebagai pasar besar yang bisa ditaklukkan, tanpa menghormati regulasi yang berlaku.

Kasus pertama lahir dari akuisisi yang ramai diperbincangkan sejak awal 2024. TikTok mengambil alih 75,01% saham Tokopedia, sementara sisanya 24,99% tetap dipegang oleh GoTo. Transaksi efektif berlaku sejak 31 Januari 2024, yang berarti notifikasi ke KPPU paling lambat harus masuk pada 19 Maret 2024. Namun, TikTok Nusantara (SG) sebagai entitas resmi pengambil alih saham baru menyampaikan pemberitahuan jauh melewati tenggat waktu itu.

KPPU menilai keterlambatan selama 88 hari kerja ini merupakan pelanggaran administratif. Perusahaan memang sempat mengklaim bahwa pemberitahuan awal sudah dilakukan oleh TikTok Pte. Ltd., tetapi KPPU menolak argumen itu: notifikasi wajib dilakukan oleh entitas yang sah melakukan transaksi, bukan perusahaan induk atau afiliasi yang tidak tercatat secara hukum sebagai pengambil alih.

Meski KPPU sudah memberikan persetujuan bersyarat untuk akuisisi TikTokTokopedia—dengan penilaian tidak ada dampak negatif signifikan terhadap persaingan usaha—putusan denda tetap dijatuhkan. Hal ini menegaskan bahwa persetujuan substansi tidak membebaskan perusahaan dari kewajiban administratif. Transparansi dan kepatuhan prosedur adalah bagian tak terpisahkan dari tata kelola persaingan usaha.

Jika dilihat dari jumlahnya, Rp15 miliar mungkin tampak relatif kecil dibanding nilai transaksi dan skala bisnis TikTok maupun Tokopedia. Namun, di balik angka itu ada pesan strategis, tidak ada pelaku usaha, sekecil atau sebesar apa pun, yang kebal hukum.

Pukulan kedua datang dari Komdigi. Pada akhir September, Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi mengumumkan pembekuan sementara TDPSE TikTok. Alasannya, TikTok dinilai tidak memenuhi kewajiban memberikan data lengkap tentang aktivitas TikTok Live selama periode unjuk rasa 2530 Agustus 2025, termasuk data traffic, siaran langsung, dan nilai monetisasi gift yang diduga terkait judi online.

TikTok memang memberikan sebagian data, tetapi tidak seluruhnya. Komdigi menilai sikap itu sebagai ketidakpatuhan terhadap kewajiban PSE, sebagaimana diatur dalam Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020. Sebagai konsekuensi, status pendaftaran PSE TikTok dinonaktifkan sementara, meski layanan aplikasinya tidak serta-merta diblokir. Publik masih bisa mengakses TikTok, tetapi secara administratif platform ini berada dalam status non-aktif.

Langkah ini berbeda dari KPPU. Jika KPPU menegakkan regulasi antimonopoli, Komdigi menjalankan fungsi pengawasan ruang digital, memastikan platform global tunduk pada kewajiban transparansi data dan perlindungan publik.

Ringan
Jika dibandingkan dengan praktik global, langkah regulator Indonesia masih relatif ringan.

Di Amerika Serikat, kewajiban notifikasi merger diatur dalam Hart-Scott-Rodino Act (HSR). Setiap transaksi di atas ambang tertentu harus dilaporkan sebelum eksekusi. Jika terlambat, denda dikenakan per hari, yang nilainya kini mencapai sekitar US$50 ribu. Dalam kasus seperti TikTok yang telat hampir tiga bulan, denda bisa menembus jutaan dolar.

Uni Eropa bahkan lebih keras. Komisi Eropa kerap menjatuhkan denda ratusan juta euro untuk pelanggaran administratif maupun praktik gun-jumping. Kasus Illumina yang didenda €432 juta menjadi pengingat betapa seriusnya Eropa menjaga integritas prosedural merger. Tidak hanya di ranah merger, aturan baru seperti Digital Services Act (DSA) juga memberi kewenangan regulator memaksa platform membuka data, dengan sanksi denda hingga 6% dari omzet global.

Indonesia mengambil jalan administratif: KPPU menegakkan sanksi denda, sementara Komdigi menekan lewat pembekuan pendaftaran PSE. Sanksinya memang lebih ringan dibanding miliaran dolar di AS atau UE, tetapi yang penting bukan sekadar besarnya angka, melainkan konsistensi. Dua regulator Indonesia telah menunjukkan bahwa mereka siap menegakkan aturan, meski masih dalam tahap awal menuju standar global.

Pesan
Jika disatukan, dua kasus ini memberikan gambaran jelas. TikTok kini menghadapi risiko regulasi ganda di Indonesia, dari sisi persaingan usaha dan dari sisi tata kelola platform digital.

Bagi regulator, ini momentum menunjukkan keseriusan. Bagi TikTok dan platform global lain, ini peringatan bahwa Indonesia bukan lagi wilayah abu-abu yang bisa dilobi atau dipandang ringan. Setiap entitas yang beroperasi di sini wajib menghormati aturan, baik terkait merger maupun data digital.

Dua kasus ini bisa membawa harapan baru. Regulasi yang ditegakkan adil akan menciptakan level playing field, mengurangi risiko monopoli, sekaligus memberi perlindungan dari penyalahgunaan platform digital.

Sekarang tantangannya memastikan bahwa pukulan itu bukan sekadar gertakan, tetapi bagian dari strategi jangka panjang membangun ekosistem digital yang sehat, adil, dan berdaulat.

@IndoTelko